Mohon tunggu...
Selsa
Selsa Mohon Tunggu... Administrasi - blogger

aku wanita biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Monolog Perempuan Srinthil

10 Februari 2015   17:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:29 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14235391251691003365

[caption id="attachment_368132" align="aligncenter" width="480" caption="foto dok. pribadi "][/caption]

Aku perempuan dusun, tak goyah saat beberapa teman mengajakku untuk menjadi tenaga kerja wanita ke negera jiran atau tanah gurun Meski nanti bergepok-gepok uang kan aku dapatkan, meski  penyalur tenaga kerja sampai berbusa-busa merayuku, aku tak gentar, tak ingin langkahku meninggalkan dusun ini

Aku perempuan dusun, yang mencintai lembah dengan kepekatan kabut yang terbiasa menyelimuti di kedinian hari dan juga kala senja menapak bumi. Tak pernah aku mengumpat kabut yang terlalu setia menyambangi dusunku, karena kabutlah salah satu penentu keberhasilan panen raya dusunku.

Yah...kabut membantu membuat tembakau rajangan menjadi tinggi harga, dan itu artinya senyum sumringgah dari petani, calo, tauke mengembang di bibir mereka. Bukan mereka saja yang berbahagia, namun juga para pedagang, dari pedagang sapi hingga bakul jamu gendong. DI binar mata warga dusunku terpancar sebuah kepuasan jiwa.
Dari dusunku lah tembakau terbaik negeri ini tumbuh, dan srintillah dambaan petani.
Terbayang betapa dusunku menjadi meriah, tatkala panen raya tiba, jalanan lengang menjadi ramai, dusunku sunyi menjadi sumringah. Celoteh petani di ladang membahana warnai syahdunya sebuah pengharapan, pengharapan akan hidup yang lebih baik
Semarak dusunku dimulai saat petani memulai mencangkuli tanah harapan, di lembah hijau di kegagahan antara sumbing, sindoro, dan perahu dimulailah tradisi tanam tembakau, si emas hijau.

Aku, tentu saja bersorak riang, terbayang dalam benakku, segepok uang akan memenuhi dompet lusuhku di tiga bulan mendatang. Sebagai tenaga harian lepas, para penggarap tembakau pastilah menuai berkah. Tanganku kan menata rajangan-rajangan tembakau lalu kujemur, aku bolak balik dibawah terik mentari yang terkadang terasa pelit, karena tak sampai tengah hari, mentari kan bersembunyi di balik hujan. Ah…romansa ritualnyaterasa harum, seharum aroma tembakau yang memenuhi semesta dusunku, temanggung terkasih.

Lalu, bisakah aku hidupi kehidupanku haya dengan tembakau? Sedang tembakau datangnya semusim sekali?Mungkinkah aku tak goyah tatkala panen tak kudapat? Ah..rasanya tetrlalu saying aku tinggalkan dusun hijau ini, sebab di sini aku berjiwa, di sini aku mampu hidup, hidup sebagai perempuan, perempuan dusun, perempuan srintil.

****

Sindoro, 10 2 15

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun