Mohon tunggu...
Selo Sulistyo
Selo Sulistyo Mohon Tunggu... -

Dosen Teknik Elektro dan Teknologi Informasi FT-UGM

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menyejajarkan Diri dengan Singapura dalam Peringkat Perguruan Tinggi Terbaik Dunia Bagaikan Mimpi di Dalam Mimpi

1 November 2016   22:42 Diperbarui: 1 November 2016   23:18 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Data tahun 2016, dari 3 perguruan tinggi terbaik di Indonesia hanya mampu mencapai peringkat 325 UI, 401 ITB dan 501 UGM. Sementara Singapura mampu menempatkan 2 perguruan tingginya pada peringkat 12 dan 13 terbaik dunia. Menduduki peringkat 15 besar perguruan tinggi terbaik dunia atau bisa sejajar dengan negara Singapura, mungkin merupakan mimpi bagi perguruan tinggi di Indonesia.

Mampukah kita menggapai mimpi itu? Sebuah pertanyaan yang tidak mudah dijawab karena menurut saya, mimpi untuk sejajar dengan Singapura dalam hal peringkat perguruan tinggi dunia masih merupakan bagaikan mimpi di dalam mimpi bagi sebagian besar perguruan tinggi di Indonesia. Sangat sulit sekali. Bahkan untuk sama dengan Malaysia dan Thailand pun atau paling tidak, tidak kalah dengan dari Vietnam pun mungkin masih merupakan mimpi di dalam mimpi.

Dalam teori organisasi, biasanya mimpi bisa menjadi dasar bagi suatu organisasi dalam merumuskan visi dan misi organisasinya. Misalnya, bila suatu perguruan tinggi beranggapan bahwa  menduduki peringkat atas dalam daftar perguruan tinggi terbaik dunia adalah mimpi, sah sah saja itu muncul dalam pernyataan sebagai visi dan misinya. Untuk menggapainya, maka visi dan misi tersebut harus disertai dengan rencana strategis (renstra) yang akan dilakukan. Selanjutnya, rencana strategis tersebut dijabarkan lebih detil dalam program-program riil yang disertai dengan target dan indikatornya dalam wujud dokumen renop (rencana operasional), hingga sampai pembuatan rencana kegiatan tahunan (RKT) dan terakhir rencana kegiatan anggaran tahunan(RKAT).

Hal yang telah dijabarkan di atas sebenarnya sudah dilakukan oleh hampir semua perguruan tinggi di Indonesia. Artinya, semua level struktural suatu perguruan tinggi dari level paling bawah program studi sampai ke level atas di rektorat/direktur, sudah mendefinisikan visi dan misi, lengkap dengan renstra dan renopnya. Hanya sayang, umumnya visi dan misi, strategi hingga program-program tersebut hanya berhenti di dokumen yang tertumpuk (atau ditempel) dan baru dibuka kembali pada saat ada akreditasi. Bahkan, sudah menjadi kebiasaan juga dan sering terjadi, pada saat ada pergantian pengurus, dibuatlah program2 baru bahkan visi dan misinya pun ikut berganti.

Seharusnya, setelah suatu perguruan tinggi menentukan visi, misi, renstra dan renop, perguruan tinngi tersebut mestinya perlu memikirkan upaya pemenuhan sarana/prasarana dan kualifikasi SDM yang dibutuhkan untuk melaksanakan program-program dalam rangka mencapai target yang telah ditentukan. Pemenuhan kedua hal ini sangat penting karena menjadi kunci keberhasilan mewujudkan visi dan misi. Artinya, kalau  persyaratan SDM yang memenuhi kualifikasi tidak tercapai dan atau sarana/prasarananya tidak mendukung maka tentu tidak mudah mewujudkan target2 yang telah ditentukan dalam renop.

Sayangnya dalam sistem karir dosen di Indonesia, peraturan yang ada belum memberikan kewenangan kepada perguruan tinggi untuk dapat secara mandiri dan otonom memenuhi kebutuhan SDMnya. Memang beberapa perguruan tinggi yang masuk kategori PTNBH dapat merekrut dan menggaji dosen tetap non PNS sendiri. Akan tetapi tetap saja kepangkatan dan jabatan dosen masih diatur oleh pusat. Dalam peraturan tersebut, untuk pertama kalinya, seseorang dapat diangkat menjadi dosen dalam jabatan Asisten Ahli untuk yang berpendidikan S2 dan Lektor untuk yang berpendidikan S3. Sehebat dan seproduktif apa pun seseorang dalam bidang hal publikasi, paten atau pendidikan, dengan aturan yang ada, tidak mungkin seseorang langsung dapat diangkat jadi lektor kepala apalagi guru besar (profesor). 

Dengan sistem ini, hampir semua pimpinan perguruan tinggi mendorong semua dosen agar segera mengurus kenaikan jabatannya agar cepat menjadi profesor, dan itu tidak mudah. Seakan, menjadikan semua dosen menjadi profesor adalah mimpi hampir semua perguruan tinggi. Oleh karena itu, segala daya dan upaya dilakukan untuk mewujudkannya. Akan tetapi dalam sistem sekarang, biasanya kalau pun upaya seseorang telah berhasil menjadi profesor usianya sudah tidak muda lagi, dan cenderung tidak bisa produkif lagi. Kalau ini benar, bukankah pernyataan mimpi di dalam mimpi benar adanya? Lalu kapan mimpi itu akan tercapai?

Agar menjadi lebih sederhana biarkan perguruan tinggi cukup mewujudkan mimpi menjadi sejajar dengan Singapura dalam daftar peringkat perguruan tinggi terbaik dunia saja. Jangan biarkan perguruan tinggi bermimpi dalam mimpi. Dengan kata lain, penuhi dulu SDM dan sarana prasarannya, bagaimana pun caranya, untuk meraih mimpi tersebut. Atur saja alokasi/jatah jumlah jabatan profesor di masing-masing perguruan tinggi sesuai dengan pemandatan yang diberikan.

Menurut pandangan saya, sistem rekrutmen dosen harus diubah. Berikan kebebasan bagi perguruan tinggi untuk secara otonom memilih dan menentukan apakah seseorang mampu menjalankan tugas-tugas yang telah dijabarkan dalam tupoksi jabatan profesor, lektor kepala, lektor dan asisten ahli. Bukankan visi dan misi perguruan tinggi di Indonesia beragam, dan bukankah hanya perguruan tinggi itu sendiri yang tahu tentang apa yang harus dilakukan seseorang dalam jabatan profesor atau lektor kepala.

Tupoksi profesor, bahkan dosen lain dengan jabatan lebih rendah tidak perlu diatur oleh pusat. Biarkan perguruan tinggi menentukan sendiri tupoksi untuk jabatan profesor, lektor kepala, lektor dan asisten ahli sesuai dengan visi, misi, renstra, dan renopnya. Kan tidak logis kalau seragam wong visi dan misinya lain. Biarkan perguruan tinggi untuk memilih SDM terbaik dan sesuai kualifikasi untuk menggapai mimpi, siapa pun termasuk dosen asing apabila dosen kita belum memenuhi kualifikasi.

Pisahkan mimpi membangun SDM dosen yang berkualitas dengan mimpi untuk menjadikan perguruan tinggi kita sejajar dengan Singapura, agar tidak seperti menggapai mimpi dalam mimpi. Semoga semakin jaya Indonesia.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun