Mohon tunggu...
Selo Sulistyo
Selo Sulistyo Mohon Tunggu... -

Dosen Teknik Elektro dan Teknologi Informasi FT-UGM

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Perlukah Impor Profesor?

28 Oktober 2016   23:05 Diperbarui: 29 Oktober 2016   17:25 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dunia pendidikan tinggi Indonesia dibuat galau oleh karena hanya ada 2 dari banyak perguruan tinggi di Indonesia yang dapat masuk dalam daftar 500 besar peringkat perguruan tinggi terbaik dunia yang dikeluarkan oleh QS World University Rankings. Dalam rilis peringkat terakhir 2016, posisi peringkat perguruan tinggi di Indonesia, UI 325, ITB 401 dan UGM 501. Bandingkan dengan Malaysia, Universiti Putra Malaysia 270, Universiti Teknologi Malaysia 288, Universiti Kebangsaan Malaysia 302 atau Singapura dengan National University of Singapore (NUS) dan Nanyang Technological University (NTU) di peringkat 12 dan 13 terbaik dunia.

Perlu diketahui bahwa salah satu kriteria penting yang menjadi pemeringkatan adalah jumlah publikasi yang dihasilkan oleh suatu perguruan tinggi pada jurnal internasional dalam tahun terakhir. Setelah melihat angka jumlah publikasi yang ada, memang secara total jumlah publikasi internasional perguruan tinggi di Indonesia kalah jauh dari perguruan tinggi di negara tetangga. Data dari Scimago JR tahun 2016, Indonesia mempunyai 39.719, Thailand memiliki 123.410, Malaysia 181.251, dan Singapura memiliki 215.553. Jumlah publikasi kita hanya unggul sedikit dari Vietnam 29.238.

Sebelumnya, pada Juni 2016, Menristek Dikti meradang, bahkan sempat menyatakan berniat mengimpor rektor untuk ditempatkan di perguruan tinggi di Indonesia dengan harapan dapat meningkatkan peringkat perguruan tinggi di Indonesia. Pernyataan impor rektor ini pun ditanggapi secara beragam oleh berbagai kalangan, termasuk para dosen di Indonesia. 

Ada pro dan kontra. Sebagian besar yang kontra berargumen bahwa masalah utama rendahnya produktivitas publikasi di jurnal internasional, bukan karena ada masalah dengan manajemen internal perguruan tinggi. Sistem pendidikan kitalah yang belum sepenuhnya mendukung. Adanya aturan administratif penelitian dipercayai banyak pihak menjadi biang mandulnya penelitian dosen di Indonesia. Umumnya hibah penelitian di Indonesia dilaksanakan dalam waktu yang ketat sekitar 7 bulan dan tidak jarang hanya berorientasi administratif. Hal lain, untuk urusan aktivitas dosen pun ikut diatur oleh Dikti dengan kewajiban melaporkan LKD/BKD setiap semesternya. Pada akhirnya, setelah sempat hangat dibicarakan, lambat laun, apa yang dilontarkan oleh Menristek Dikti mulai memudar dan tidak ada tindak lanjutnya 

Setali tiga uang, beberapa bulan kemudian dan didasari oleh alasan yang hampir mirip keluar pernyataan yang hampir serupa. Menristek Dikti berniat untuk mengimpor 500 profesor asing untuk ditempatkan di perguruan tinggi di Indonesia. Masih dengan harapan untuk meningkatkan peringkat perguruan tinggi di Indonesia agar sejajar dengan perguruan tinggi luar negeri, minimal sejajar dengan negara tetangga. Kalau sebelumnya impor rektor tidak berhasil dilaksanakan, Menristek Dikti yang baru berniat akan mengimpor profesor. 

Sekali lagi ada pro dan kontra atas pernyataan Menrsitekdikti tersebut. Tidak seperti sebelumnya, pernyataan Menristek Dikti kali ini tidak banyak dikomentari. Berbagai pihak skeptis terhadap ide impor profesor. Fakta bahwa fasilitas penelitian kita belum memadai menjadi suatu hal yang diyakini menjadi sebab tidak tertariknya profesor luar negeri untuk masuk ke perguruan tinggi di Indonesia.

Muncul berbagai pertanyaan. Benarkah impor profesor merupakan solusi terbaik? Apakah jumlah profesor kita kurang? Apakah profesor Indonesia tidak produktif? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita perlu terlebih dahulu memahami sistem kepangkatan dan karier dosen di Indonesia.

Dosen di Indonesia dibedakan berdasarkan jabatannya. Ada 4 jabatan dosen, yaitu profesor atau guru besar (full profesor), lektor kepala (assosiate profesor), lektor (assistent professor), asisten ahli (Instructure). Sedangkan dosen yang belum memiliki jabatan, biasanya calon dosen, disebut tenaga pengajar. Sesuai undang-undang guru dan dosen yang berlaku saat ini, untuk dapat diangkat sebagai dosen, seseorang harus mempunyai pendidikan minimal S2. Untuk pertama kali, seseorang dengan pendidikan S2 dapat diangkat sebagai asisten ahli, sedangkan seseorang dengan pendidikan doktor dapat diangkat menduduki jabatan lektor.

Dalam sistem pendidikan tinggi kita, semua dosen mempunyai tugas pokok dan fungsi yang sama yaitu melaksanakan kegiatan tridarma (mengajar, meneliti, dan pengabdian kepada masyarakat). Setiap dosen di semua jabatan mempunyai kebebasan dalam melaksanakan kegiatan tridarma tersebut. Seorang profesor, tidak ada bedanya dengan lektor kepala, lektor dan asisten ahli, mempunyai kewajiban untuk melakukan aktivitas mengajar, meneliti dan pengabdian kepada masyarakat. Hanya wewenang dalam membimbing dan mengajar mahasiswa saja yang diatur berbeda. Misalnya, yang berwenang membimbing mahasiswa S3 adalah dosen berjabatan profesor dan pendidikan jenjang doktor. Dosen dengan pendidikan S2 dan berjabatan asisten ahli hanya boleh mengajar dan membimbing mahasiswa S1. Selain mengajar dan membimbing tidak diatur kewenangannya. Demikian juga relasi antardosen, tidak ada keharusan (secara aturan) bahwa dosen berjabatan lektor kepala atau lektor atau asisten ahli harus ikut kegiatan yang dilakukan oleh dosen berjabatan profesor.

Apakah jabatan dosen dapat berubah? Bisa, melalui mekanisme penilaian angka kredit dosen yang aturan terbarunya tertuang dalam Peraturan Menteri PermenPANRB no 46 tahun 2013. Setiap 2 tahun, sesuai jumlah angka kredit yang dikumpulkan dari kegiatan mengajar, membimbing, menguji, meneliti, dan pengabdian kepada masyarakat, seorang dosen dapat mengajukan diri untuk diangkat dalam jabatan yang lebih tinggi. Tentu saja, ada persyaratan minimal yang harus dipenuhi. Misalnya, untuk bisa diangkat dalam jabatan profesor, seorang dosen harus memiliki minimal 1 karya ilmiah yang dipublikasikan dalam jurnal internasional bereputasi dan sudah berpengalaman sebagai dosen selama 10 tahun. Seluruh dosen yang mengajar di suatu perguruan tinggi bisa menjadi profesor dalam bidang tertentu sepanjang memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dalam PermenPANRB tersebut.

Dengan sistem dan aturan yang berlaku saat ini, menjadi profesor adalah pencapaian karier. Meski telah berubah jabatan, tidak ada perubahan tugas pokok dan fungsinya. Sama dengan jabatan sebelumnya, masih mengajar, membimbing dan melakukan pengabdian kepada masyarakat. Tidak ada tantangan baru. Seorang dosen yang telah diangkat menjadi profesor dapat menikmati tunjangan profesor yang ditambahkan ke komponen gajinya, tanpa ada tugas pokok dan fungsi tambahan yang baru. Jabatan struktural lainnya pun menanti. Sungguh kondisi yang banyak diinginkan oleh banyak orang. Namanya bertambah mentereng dan panjang. Bahkan, meskipun di SK jelas-jelas disebutkan, “diangkat dalam jabatan guru besar dalam bidang xxx pada Fakultas yyy” tetap saja gelar profesornya dibawa ke mana-mana. Pindah dari Fakultas yyy ke instansi lain pun gelar profesornya masih ditempelkan. Bahkan, ada yang di batu nisan pun dituliskan. Inilah sistem yang penulis anggap tidak benar. 

Mestinya setiap jabatan dosen baik profesor, lektor kepala, lektor dan asisten ahli mempunyai tugas pokok dan fungsi yang spesifik dan berbeda. Tugas pokok untuk setiap jabatan harus selaras dan merupakan penjabaran strategi pencapaian visi dan misi perguruan tinggi. Tugas pokok tersebut harus disertai dengan target dan indikator kinerja yang jelas. Mestinya, seorang profesor yang baru diangkat menyadari bahwa ada tugas-tugas dan tanggung jawab di balik jabatan itu, misalnya memimpin pengembangan ilmu bersama-sama dengan dosen berjabatan lebih rendah.

Lalu apa sih manfaatnya publikasi? Bukankah yang lebih penting adalah manfaat hasil penelitian perguruan tinggi bagi kehidupan manusia. Tidak harus penduduk dunia, penduduk atau masyarakat yang tinggal di lingkungan perguruan tinggi pun baik, apalagi kalau bermanfaat untuk seluruh masyarakat Indonesia. Hanya saja perlu diperhatikan bahwa ternyata kemajuan suatu negara, ada kaitannya dengan kemajuan institusi pendidikan tingginya. Fakta menunjukkan bahwa perguruan tinggi yang ada di peringkat atas dalam daftar merupakan perguruan tinggi yang berada di negara yang sudah maju. 

Lihat saja  Amerika mempunyai 7 universitas dan Inggris mempunyai 5 dalam daftar 15 besar peringkat terbaik. Atau tidak jauh-jauh, di Singapura ada NUS dan NTU diperingkat 12 dan 13 sebagai universitas terbaik dunia. Memang tidak terlihat kaitan langsung antara perguruan tinggi dengan kemajuan suatu negara. Perlu diperhatikan bahwa, di negara maju perguruan tinggi merupakan partner industri dalam menciptakan inovasi produk industri atau menyelesaikan masalah industri.

Kita sudah menyadari hal ini. Istilah link-match antara dunia industri dengan dunia pendidikan tinggi telah lama kita gaungkan. Akan tetapi, link-match yang kita gaungkan tersebut cenderung masih seputar bagaimana perguruan tinggi mampu menyediakan tenaga kerja yang siap pakai untuk industri, bukan bagaimana perguruan tinggi dapat berperan dalam menyelesaikan persoalan industri yang ada dalam menghadapi tantangan dan kompetisi dunia bisnis.

Apakah sulit untuk publikasi? Agar suatu naskah bisa dipublikasikan dalam jurnal internasional bereputasi, naskah tersebut harus mempunyai beberapa kriteria di antaranya nilai kebaruan atau novelty suatu konsep, metode, algoritme atau pendekatan baru untuk menyelesaikan persoalan industri, sosial, pangan, teknologi dan lain-lain. Jadi semakin banyak publikasi internasional bereputasi yang dihasilkan oleh suatu negara dapat mengindikasikan bahwa semakin banyak persoalan baik itu persoalan industri sosial atau teknologi sebagaimana disebut di depan, yang dapat diselesaikan dengan pendekatan baru yang lebih efisien dan menguntungkan. Inilah mengapa suatu negara yang publikasinya banyak berkorelasi dengan  kemajuan suatu negara.  

Lalu apa peran profesor dalam publikasi?  Di negara mana pun publikasi adalah kerja tim dengan penggerak utama publikasi adalah mahasiswa pascasarjana terutama mahasiswa doktor. Berbasis kompetensi dan pengalamannya, seorang profesor bertugas untuk memastikan bahwa mahasiswa pascasarjana dapat menghasilkan publikasi yang berkualitas. Seorang profesor yang berpengalaman di bidangnya tentu paham betul dalam menilai kebaruan atas penelitian dan atau naskah publikasi yang dihasilkan oleh mahasiswanya. Mungkin profesor yang kita punyai saat ini belum dianggap mampu untuk melakukan hal ini sehingga jumlah publikasinya tidak bisa banyak lalu berpikir untuk impor profesor.

Akan tetapi, sebenarnya kalau hanya untuk meningkatkan jumlah publikasi internasional, sejumlah perguruan tinggi sudah menempuh berbagai cara di antanya melalui joint riset, joint publikasi, atau joint supervisor, dengan universitas di luar negeri yang bereputasi tanpa perlu mengimpor profesor. Akan tetapi agaknya cara tersebut belum dapat meningkatkan jumlah publikasi internasional karena tidak banyak perguruan tinggi di Indonesia yang menerapkannya. Persoalannya masih pada peran profesor di perguruan tinggi di Indonesia yang belum seperti seharusnya, biasanya bekerja sendiri dan tidak dalam tim.

Kembali ke masalah impor profesor. Penulis setuju untuk bangsa kita membuka lowongan profesor bagi warga asing, jika tujuannya tidak hanya untuk sekedar membantu dosen dan mahasiswa kita agar dapat melakukan publikasi naskah ilmiah pada jurnal internasional bereputasi. Akan tetapi lebih dari itu, impor profesor yang diselenggarakan melalui mekanisme terbuka dan transparan di mana semua orang terbaik baik warga asing maupun warga Indonesia diberi kesempatan yang sama untuk melamar jabatan tersebut dapat digunakan sebagai starting point untuk menerapkan sistem karier dosen yang lebih baik. 

Sistem di mana kenaikan pangkat jabatan dosen tidak didasari atas angka kredit yang telah dikumpulkan akan tetapi berdasarkan adanya kesesuaian antara kompetensi seseorang calon profesor dengan kebutuhan jabatan profesor untuk memimpin dosen dengan jabatan lebih rendah yang tergabung dalam sebuah tim, untuk bersama-sama mengembangkan ilmu di suatu perguruan tinggi. 

Sistem di mana di balik jabatan terdapat tugas berat yang harus dilaksanakan oleh siapa pun pemangku jabatan untuk mencapai target yang telah ditentukan selaras dengan visi dan misi perguruan tinggi, disertai dengan indikator keberhasilannya. Mungkin termasuk target jumlah publikasi yang harus dihasilkan oleh tim yang dipimpinnya. Sistem di mana seseorang berjabatan profesor (atau jabatan lainnya) dapat sewaktu-waktu dihentikan apabila tidak mencapai target kinerja yang diharapkan dan diganti dengan orang lain yang lebih kompeten.

Lalu langkah strategis apa yang harus dilakukan? Satu hal yang harus ditekankan adalah bahwa posisi jabatan profesor harus disesuaikan dengan kebutuhan pengembangan ilmu dan teknologi di perguruan tinggi yang diberi mandat pengembangan ilmu/bidang unggulan, yang juga selaras dengan visi dan misi perguruan tinggi. Menurut opini penulis, langkah strategis peningkatan peran perguruan tinggi dalam pembangunan masyarakat di Indonesia dapat dilakukan sebagai berikut:

  • Tentukan bidang-bidang riset unggulan beserta arah riset skala nasional
  • Berikan mandat ke perguruan tinggi yang sesuai untuk fokus pada satu atau beberapa bidang unggulan. Tidak perlu satu perguruan tinggi melakukan riset pada semua bidang unggulan.
  • Hitung berapa SDM yang diberikan untuk melakukan penelitian pada bidang unggulan tersebut. SDM yang dimaksud adalah berapa profesor yang dibutuhkan, berapa mahasiswa S3 yang diperlukan, berapa peneliti bergelar doktor yang diperlukan dan seterusnya. Tidak perlu semua SDM bergelar profesor, idealnya profesor per bidang ilmu di setiap perguruan tinggi. Dosen yang lain cukup lektor kepala, lektor dan atau asisten ahli yang masing-masing mempunyai tugas pokok dan fungsi yang telah ditentukan, disesuaikan dengan tujuan pelaksanaan riset unggulan dan pencapaian target-targetnya. Jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan.
  • Berikan wewenang kepada perguruan tinggi untuk melakukan seleksi secara mandiri. Proses rekrutmennya harus terbuka dan transparan. Siapa saja boleh melamar, termasuk warga asing. Melalui mekanisme ini siapa pun yang paling kompeten untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi yang telah ditentukan akan dipilih. Melalui mekanisme inilah impor profesor sebaiknya dilakukan.
  • Penerapan bantuan/hibah pendanaan riset melalui sistem insentif berbasis output. Setiap publikasi/produk yang dihasilkan oleh suatu perguruan tinggi diberikan insentif yang dapat kembali digunakan oleh perguruan tinggi untuk membangun/menambah fasilitas riset yang lebih baik. Secara alami perguruan tinggi yang baik akan menjadi semakin kuat dan semakin meningkat jumlah publikasinya.
  • Pengawasan dan Evaluasi perlu dilakukan secara ketat.

Semoga, impor profesor dapat menciptakan sistem baru yang lebih baik. Sehingga akan semakin banyak perguruan tinggi di Indonesia yang mempunyai reputasi di dunia Internasional, dan mampu menjadi problem solver bagi berbagai permasalahan yang ada di semua sektor kehidupan berbangsa dan bernegara yang pada akhirnya dapat memajukan bangsa Indonesia sejajar dengan negara lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun