Dari Sebuah Tanya
“Jika Tuhan Sang Maha Kuasa, apakah Ia dapat menciptakan makhluk yang lebih Maha Kuasa dari-Nya?”
“Jika Tuhan ada, di mana ia bertempat-tinggal?”
“Di mana surga?”
“Jika Tuhan nyata, lantas seperti apa rupa-Nya?”
Dalam bidang pemikiran seperti filsafat, dengan sifat berpikirnya yang radixt, tentu kita tahu sendiri ada banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang ‘aneh’.
Pertanyaannya beragam, mulai dari yang paling simpel tapi cukup menyengat di otak. Hingga pada taraf transenden yang akibatnya seringkali malah mengkritisi ke-eksis-an Tuhan itu sendiri.
Tak heran, seringkali hal ini menimbulkan konotasi negatif terhadap bidang filsafat. Dan stigma sesat kendati melekat dalam filsafat.
Salah satunya adalah pertanyaan tentang takdir, serta free will atau kehendak bebas manusia menjadi topik yang acap kali diperdebatkan di setiap zaman.
Meski pertanyaannya bisa dibilang ‘nyeleneh’, tetap saja, selalu ada orang-orang yang mempertanyakannya. Entah tujuannya apa, mungkin hanya sebatas “gaya-gayaan” biar bisa disebut seorang filsuf, ataupun bisa jadi ia tengah mengalami pergolakan batin dalam hidupnya.
Seperti, jika kita memiliki kehendak bebas untuk melakukan apa pun yang kita inginkan. Namun, mengapa Tuhan sudah terlebih dahulu menetapkannya di Lauh Mahfuz?
Jadi mana yang lebih tepat; kita tidak memiliki free will, dan hidup bak hewan ternak yang tinggal menunggu takdirnya; ataukah kesalahannya terletak pada Tuhan, yang sudah memberi —katanya— kehendak bebas, tapi Dia sendirilah yang membuatnya bertentangan dengan takdir yang sudah dituliskan, sederhananya: membebaskan tapi sekaligus mengekang, begitu bukan?
Bagaimana?
Dalam istilah Islam, takdir dikualifikasi ke dalam dua hal. Pertama, takdir yang bisa diubah oleh kita sendiri (qadar). Dan terakhir, takdir atau ketetapan pasti yang mana sudah ditentukan adanya oleh Tuhan, tak bisa diganggu gugat, yang kita mafhum sebagai qada.
Seperti, jodoh, rezeki, dan kematian.
Tapi keduanya baik yang bisa diubah ataupun tidak, sudah tertulis di Lauh Mahfuz sana.