Lantas untuk apa repot-repot merubah nasib. Dan untuk apa kita semua menjalankan hidup seperti biasanya lagi. Toh, semuanya sudah tertulis dan ditetapkan bukan?
Ternyata tidak semudah itu kita memasrahkan semuanya.
Meski sudah ditetapkan, apa kita tahu apa yang ditulis?
Jawabannya, tidak sama sekali.
Maka kita temukan kesimpulan awal, bahwa takdir bersifat ghaib. Artinya, kita sendiri yang menjalaninya tidak tahu menahu terhadap hal itu.
Lalu, untuk apa kita berusaha?
Jawabannya, jika kita tidak berusaha, apakah kita tahu jawabannya selain kita menjemputnya?
Kita ambil contoh, si A memiliki keinginan untuk masuk universitas idamannya; UGM. Tapi dia tidak mau mengambil usaha untuk ujian atau seleksi yang sudah ditetapkan —seperti SBM, Ujian Mandiri, dsb.—
Kata dia percuma melakukan itu, jika ia tidak berhasil lolos.
Lantas, kembali kepada jawaban awal. Berhasil atau tidak urusan belakang, yang penting kita sudah memaksimalkan usaha. Seperti kata Cak Nun, kurang lebih seperti ini “Tuhan gak nyuruh kita untuk ‘selalu’ menang, sehingga kalah pun bukan sebuah dosa. Yang dilihat Tuhan, adalah bagaimana orang itu berusaha.”
Saya berpikir, mungkin inilah hikmah yang dihadirkan Tuhan dengan membuat takdir seperti itu adanya; “remang-remang. Sebab jika saja takdir sudah dijelaskan secara terperinci segalanya, maka akan aneh jika kita berusaha untuk merubahnya, bukan?