Viralnya sebuah video pembacokan yang dilakukan oleh salah satu siswa Madrasah Aliyah di kecamatan Kebonagung, Demak, kembali memperlihatkan bagaimana pendidikan kita belum steril dari tindakan kekerasan. Peristiwa itu pastinya bukan yang pertama. Bahkan dalam beberapa bulan ini media sosial dibanjiri dengan berbagai aksi kekerasan di lingkungan sekolah, entah itu dilakukan oleh siswa maupun guru. Kembali pada kasus pembacokan guru yang dilakukan oleh siswanya, motif pembacokan adalah siswa tidak terima kalau dirinya tidak dapat mengikuti Ujian Tengah Semester (UTS) karena tidak mengumpulkan tugas akhir dan mendapatkan nilai yang kurang memuaskan.
Setelah dilakukan penyelidikan, diketahui bahwa alasan siswa tidak mengumpulkan tugas karena ia juga bekerja paruh waktu sebagai pedagang nasi goreng untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Terkait hal ini, Perhimpunan Guruan dan Guru (P2K) berharap agar guru dan kepala sekolah memenuhi semua tahapan pendampingan dan pembimbingan kepada siswa meskipun kekerasan yang dilakukan tidak bisa dibenarkan (Detikedu, 23/9).
Ada juga kasus bulliying pada bulan September 2023, Seorang siswa dipukuli bertubi-tubi oleh siswa lain sambil direkam oleh siswa lainnya. Pelaku dan korban diduga berasal dari SMP Negeri 2 Cimanggu, Cilacap. Terkait hal ini pihak kepolisian cepat melakukan tindakan hukum pada pelaku dengan acuan UU Perlindungan Anak dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (Detikedu, 23/9). Hal yang paling disayangkan dari kasus bulliying ini adalah bagaimana seorang kepala sekolah menyikapi persoalan yang ada. Alih-alih meminta maaf dan memberikan penjelasan untuk menenangkan pulblik, kepala sekolah malah membeberkan prestasi-prestasi pelaku yang jatuhnya malah membela pelaku. Hal ini membuat masyarakat kecewa terhadap peran guru.
Berdasarkan dua kasus tersebut, dapat kita ketahui bahwa peran guru sangat berdampak pada perkembangan karaktek dan mental siswa. Oleh karena itu, guru seharusnya dapat menciptakan pendidikan dan lingkungan pendidikan yang memerdekakan siswa. Kasus pembacokan yang menimpa seorang guru di Demak memang bukan perbuatan yang dapat dibenarkan, namun terlepas dari itu sekolah seharusnya mempunyai profil siswa dan keluarga serta melakukan asesmen diagnostik non akademik terhadap siswa agar dapat memberi perlakuan yang adil dan proporsional terhadap siswa. Selain itu, sebaiknya guru juga mengajarkan pendidikan moral pada siswa sesuai dengan filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara.
Guru dapat menanamkan budi pekerti pada setiap pembelajaran. Mengajarkan bagaimana cara memperlakukan teman, menghargai pendapat saudaranya, menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran untuk rela berkorban terhadap sesama, dsb. Sehingga kasus-kasus seperti bulliying dan kekerasan tidak akan terjadi di lingkungan sekolah. Mempunyai siswa yang berprestasi adalah sebuah asset, namun bagaimana jika siswa tersebut miskin moral dan adap? Lagi-lagi peran guru berdampak besar di sini. Guru dapat memberikan pemahaman pada siswa bahwa ada banyak cara untuk menyalurkan bakat, tidak harus dengan menyakiti teman-temannya. Ada banyak solusi untuk menyelesaikan masalah, karena menyelesaikan masalah dengan kekerasan hanya akan menambah permasalahan.
Pendidik dan calon pendidik diharapkan dapat menerapkan filosofi-filosofi yang telah diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara, seperti menerapkan sistem among serta pendidikan yang menuntun. Ki Hajar Dewantara memberikan definisi berbeda pada kata pengajaran dan pendidikan. Pengajaran merupakan proses Pendidikan dalam memberi ilmu atau berfaedah untuk kecakapan hidup anak secara lahir dan batin. Sedangkan pendidikan (opvoeding) memberi tuntunan terhadap segala kekuatan kodrat yang dimiliki anak agar ia mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai seorang manusia maupun sebagai anggota masyarakat (Kemendikbudistrek, 2022). Di lingkungan sekolah guru akan menjadi orang tua siswa, oleh karena itu guru harus menjadi orang tua yang dapat menimbulkan rasa aman dan nyaman pada siswa.
Indonesia terkenal dengan keberagaman suku dan budaya yang khas, peran guru diharapkan dapat menyampaikan keberagaman ini kepada siswa, agar siswa dapat mensyukuri dan menghargai berbagai perbedaan karakter dan latar belakang saudaranya. Tidak hanya guru, upaya untuk mengatasi dan mencegah kekerasan di lingkungan sekolah dapat dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat mulai dari orang tua, guru, tetangga, dan pemangku jabatan lainnya. Sebagaimana mestinya, kita harus melindungi dan membantu korban yang tentunya berdampak pada psikologisnya, dan memberikan sanksi untuk menimbulkan rasa jera serta memberikan pelajaran bagi masyarakat lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H