Tahap ini telah diberi label, dengan tepat, "honeymoon stage" (Oberg, 1960). Keberadaan tahap bulan madu inilah yang membuat industri pariwisata tetap berjalan. Namun, seperti bulan madu lainnya, pada suatu saat kesenangan dan kegembiraan biasanya akan berakhir. Setelah tahap bulan madu ini, sebagian besar pengunjung berbalik arah dan mulai memiliki pandangan yang semakin negatif tentang budaya tuan rumah. Faktanya, dalam beberapa bulan berikutnya-khususnya, dalam data Lysgaard, antara 6 hingga 18 bulan, migran biasanya mengalami perasaan paling negatif selama masa tinggal mereka dalam tahap yang disebut sebagai tahap "crisis" atau "culture shock" (Oberg, 1960). Pada tahap ini, sensasi mendapatkan pengalaman baru dan eksotis mulai memudar dan pengalaman-pengalaman ini menjadi melelahkan dan sulit.Â
Pada tahap ini, para imigran baru sering kali menyadari bahwa kemampuan bahasa mereka belum cukup baik untuk dapat berfungsi secara penuh di lingkungan yang baru. Ini adalah saat dimana rasa rindu akan kampung halaman dapat menjadi sangat kuat, karena orang-orang merindukan semua teman dekat dan keluarga mereka. Ini adalah gejala-gejala culture shock.Â
Culture shock adalah perasaan cemas, tidak berdaya, mudah tersinggung, dan secara umum, rindu akan kampung halaman yang dialami seseorang saat pindah ke budaya baru (Church, 1982). Culture shock dapat menjadi sangat bermasalah sehingga beberapa orang memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan mereka; beberapa orang dapat memiliki kenangan yang sangat negatif tentang pengalaman mereka.Â
Setelah berkubang selama beberapa bulan dalam tahap krisis ini, sebagian besar migran mulai menyesuaikan diri dan mulai menikmati pengalaman mereka. Tahap ini, yang diberi label fase "adjustment", cenderung berlangsung selama beberapa tahun, dan seiring berjalannya waktu, orang-orang menjadi semakin mahir dalam berfungsi dalam budaya baru mereka.
Pengalaman akulturasi cukup beragam sehingga kita tidak dapat memprediksi seberapa baik seseorang menyesuaikan diri dengan budaya barunya hanya berdasarkan berapa tahun yang telah dihabiskan oleh individu tersebut di sana (Rhee, Uleman, Lee, & Roman, 1995). Faktor yang mempengaruhi bagaimana seseorang akan menyesuaikan diri dengan pengalaman akulturasi mereka diantaranya:
1. Jarak Budaya
Dalam akulturasi, orang harus mempelajari gaya hidup budaya baru. Seberapa sukses mereka akan memperoleh informasi yang diperlukan untuk berkembang dalam budaya baru dipengaruhi oleh seberapa banyak pembelajaran yang perlu mereka lakukan. Bayangkan seseorang pindah ke konteks budaya baru dimana segala sesuatunya berbeda. Situasi seperti ini akan membutuhkan banyak sekali pembelajaran, dan kebanyakan orang akan merasa sangat kesulitan. Sebaliknya, jika seseorang pindah ke budaya baru yang sangat mirip dengan budaya asalnya, maka pembelajaran yang perlu dilakukan akan lebih sedikit dan kesulitan yang dihadapi juga lebih sedikit. Jadi, salah satu faktor yang dapat memprediksi keberhasilan seseorang dalam menyesuaikan diri dengan budaya baru adalah jumlah jarak budaya antara budaya warisan dan budaya tuan rumah. Jarak budaya adalah perbedaan antara dua budaya dalam keseluruhan cara hidup mereka. Kita dapat membuat hipotesis bahwa semakin jauh jarak budaya yang harus ditempuh seseorang, semakin sulit orang tersebut untuk berakulturasi.
2. Kesesuaian Budaya
Kecocokan budaya adalah sejauh mana kepribadian seseorang lebih mirip dengan nilai-nilai budaya yang dominan dalam budaya tuan rumah. Tampaknya, semakin besar kecocokan budaya seseorang dengan budaya tuan rumah, semakin mudah ia berakulturasi dengan budaya tersebut. Hipotesis ini telah dieksplorasi dengan berbagai cara. Secara umum, imigran yang sangat ekstrovert akan lebih baik dalam hal kesejahteraan ketika mereka berimigrasi ke negara dengan tingkat ekstraversi yang lebih tinggi secara keseluruhan (Fulmer et al., 2010). Demikian juga, orang dengan konsep diri yang lebih mandiri telah ditemukan menderita lebih sedikit tekanan dalam berakulturasi ke Amerika Serikat daripada orang dengan konsep diri yang lebih saling bergantung (Cross, 1995), dan orang yang memiliki pola emosi yang lebih mirip dengan budaya tuan rumah melaporkan mengalami kesejahteraan relasional yang lebih besar (De Leersnyder, Mesquita, Kim, Eom, & Choi, 2014). Secara umum, akulturasi akan lebih mudah terjadi jika perasaan diri seseorang cocok dengan lingkungan budaya tuan rumah.
3. Strategi Akulturasi
Banyak penelitian psikologis yang berfokus pada strategi akulturasi seseorang. John Berry dan rekan-rekannya (misalnya, Berry & Sam, 1997) telah mengusulkan bahwa ada dua masalah yang sangat penting bagi hasil akulturasi seseorang. Yang pertama adalah apakah orang berusaha untuk berpartisipasi dalam masyarakat yang lebih besar dari budaya tuan rumah mereka. Apakah orang-orang memiliki sikap positif terhadap budaya tuan rumah mereka, dan apakah mereka secara aktif berusaha untuk menyesuaikan diri di dalamnya? Masalah ini mencerminkan seberapa besar motivasi orang untuk memperoleh identitas yang konsisten dengan budaya tuan rumah. Isu kedua adalah apakah orang-orang berusaha untuk mempertahankan budaya warisan mereka sendiri dan identitas mereka sebagai anggota budaya tersebut. Apakah orang-orang memiliki sikap positif terhadap budaya warisan mereka, dan apakah mereka secara aktif mencari cara untuk melestarikan tradisi budaya warisan mereka? Mereka yang memiliki sikap positif terhadap budaya warisan mereka dikatakan mempertahankan identitas etnis (Phinney & Ong, 2007). Empat strategi akulturasi yang berbeda yang mungkin dimiliki oleh seseorang ditunjukkan secara grafis pada gambar 2.