Mohon tunggu...
Sellyn Nayotama
Sellyn Nayotama Mohon Tunggu... -

Siswa SMP kelas 2 (thn 2018), suka membaca dan menulis. Novel pertama "Queen Kendzie" (terbitan Kompas Gramedia); cerpen "Jam Weker Shabby" dalam antologi (Penerbit Mizan). Baca juga di akun: www.kompasiana.com/sellynnayotama

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Elden dan Eglantine

6 November 2018   13:37 Diperbarui: 6 November 2018   15:21 781
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bacakan ceritaku |pixabay.com

Sepulang sekolah, Elden hendak menyeberang di Jalan Merah Jambu Muda, tempat tragedi ayah dan ibunya dulu. Elden menghela napas, teringat kejadian 3 tahun lalu. Memang ia tak melihatnya secara langsung, namun hanya dengan memikirkannya, Elden sudah pusing. Ia tak mau kejadian serupa terjadi pada orang lain. Sebelum menyeberang, ia menoleh ke kiri dan ke kanan. Ada seorang nenek yang hendak menyeberang, dan ia buru-buru berlari ke arah nenek itu.

"Nek, mari saya bantu!" dan tiba-tiba, air muka nenek itu menjadi cerah. Mereka menyeberang dengan hati-hati. Namun sayangnya ... BRAKK ..!

Ada sebuah mobil yang tidak melihat mereka menyeberang. Elden terkulai di jalan raya. Nenek itu berusaha membantunya. Syukurlah, nenek yang dibantu Elden tersebut tidak terluka sedikitpun. Ia mengangkat Elden dengan tangannya ke ujung jalan. Nenek itu langsung menelpon ambulans untuk memberikan pertolongan pada Elden. Untuk kedua kalinya, Elden pergi ke sana.

Untunglah luka Elden tidak serius, tidak seperti mendiang orangtuanya dulu yang tertancap kaca di wajah mereka, dan itu lebih baik. Saat Elden siuman, teman-temannya dan pengurus panti, Bu Tian menatapnya lega. Nenek yang tadi dibantunya menatap Elden penuh arti. "Terima kasih, nak, terima kasih," katanya terharu.

Sahabat Elden, Kelsey, menatapnya. "Untunglah kamu siuman, soalnya aku ingin kau mengantarku jalan-jalan ke tempat yang jauh, seperti janjimu dulu," katanya datar.

"Hah.. rasanya, tempat ini ..." ia berkaca-kaca. Sekarang ia disini, dengan nasib yang sama seperti orangtuanya.
Eglantine disana, memegang tangannya. "Kak, maaf ... permintaan Eglantine terlalu aneh. Kakak nggak usah belikan Elie kue dan es krim. Cukup doa dari kak Elden saja," katanya tulus. Elden masih pusing.

Namun yang membuat ia kaget adalah nenek yang ia bantu tadi. Beliau menghilang. Keesokan harinya, Elden beristirahat di panti, tidak pergi ke sekolah. Diam-diam ia juga senang karena mendapatkan perlakuan istimewa dari anak-anak lain. Memang tradisinya seperti itu di sana, saling membantu. Hari itu, Elden tidak kedapatan tugas menyikat toilet.

Hari itu, ia masih memikirkan bagaimana caranya membahagiakan Eglantine. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula, batinnya. Namun buru-buru ia menghilangkan pikiran itu dari benaknya. Elden justru sangat bersyukur karena nyawanya tidak pergi, masih bertahan di tubuhnya.

Elden memutuskan untuk tetap membuat kue hari itu, dan menjajakannya di alun-alun kota, mungkin bisa membantu. Ia tidak akan membuang waktu sedikitpun demi membahagiakan adiknya yang berharga.

Sepulang dari berjualan di alun-alun kota, para penghuni panti langsung kaget melihatnya, darimana dia? Dengan santai Elden menjawab, bahwa dia barusan bekerja lembur bagai kuda.

Bu Tian pun melongo, dan memarahinya karena malah pergi bekerja, bukannya beristirahat. "Lagipula, kalaupun kau memutuskan untuk tidak beristirahat di rumah, harusnya kau ke sekolah saja, Elden," nasihat Bu Tian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun