Tone deaf yang jika diterjemahkan secara harafiah berarti tuli nada. Istilah ini menjadi ramai diperbincangkan kala suatu isu yang sedang viral diperdebatkan oleh berbagai kalangan.Â
Dalam istilah gaul, tone deaf merujuk pada perilaku nirempati dan masa bodoh terhadap isu yang dianggap genting. Sederhananya, tone deaf bermakna serupa dengan perilaku apatis yaitu sikap tidak peduli dengan apa yang sedang terjadi di sekitar hingga cakupan lingkungan lebih luas.Â
Berkomunikasi dengan mereka yang tone deaf membutuhkan banyak energi karena tidak akan mudah bertemu di titik yang sama. Seumpama mengelilingi bundaran di jalan tanpa henti, kira-kira begitulah gambaran komunikasi dengan mereka.Â
Menanggapi fenomena tone deaf yang saat ini sedang merebak dalam masyarakat, maka penulis ingin berbagi penyebab sulitnya komunikasi dengan tone deaf berdasarkan perspektif pribadi. Selamat membaca.Â
1. Perbedaan kepentinganÂ
Kelompok apatis cenderung mengutamakan kepentingan pribadi. Apabila ia tidak terdampak akan suatu masalah, maka ia cenderung memilih diam dan pasif mencari tahu mengenai isu penting yang sedang berkembang. Disisi lain, mereka yang tidak apatis cenderung memperjuangkan kepentingan bersama karena didasari oleh perasaan yang sama.Â
2. Perspektif berbedaÂ
Maksud dari perspektif adalah bagaimana seseorang merespon situasi dan memprediksi dampaknya di masa depan. Berdasarkan pengamatan, penulis menemukan bahwa tone deaf cenderung puas dengan situasi saat ini.Â
Pemikiran seperti "saya baik baik saja sekarang", menjadi alasan mereka memilih untuk santai. Sedangkan, mereka yang vokal menyampaikan pendapat cenderung memikirkan nasib mereka di masa depan apabila tidak bertindak dari sekarang.Â
3. PasrahÂ
Pasrah dengan keadaan dan menganggap bahwa upaya akan berakhir sia-sia. Dalam ragam konteks, perilaku apatis dipengaruhi banyak faktor seperti daya juang seseorang yang rendah dan berada dalam situasi terjepit sehingga diam menjadi pilihan paling aman. Apalagi, ketika berada dalam posisi yang tidak memiliki hak kekuasaan seperti hubungan antara pekerja dan atasan.Â
4. Merasa terlalu amanÂ
Selanjutnya, adalah faktor emosi yang berlebihan seperti merasa aman dan nyaman. Terlalu nyaman dalam satu situasi sehingga mengabaikan hal nyata yang terjadi di sekitar dapat menyebabkan seseorang tone deaf.Â
Hal ini dikarenakan kenyamanan dan kemanan yang dirasakan beresiko membutakan mereka dari fakta-fakta penting yang dilihat orang lain. Sebagai contoh, seseorang yang berada dalam hubungan toxic dan dependen terhadap pasangan akan sulit melepaskan diri dari hubungan tersebut meskipun telah sering dinasihati oleh orang terdekat.
5. Mekanisme bertahan diri
Menunjukkan sikap tidak peduli terhadap sesuatu bisa jadi merupakan perwujudan dari mekanisme bertahan untuk melindungi diri dari sesuatu yang tidak diharapkan.Â
Mungkin saat berkomunikasi dengan tone deaf anda akan menilai bahwa mereka keras kepala dan berpendirian keras sehingga sulit menembus tembok tinggi yang sudah mereka bangun.Â
Oleh karenanya, berkomunikasi dengan tone deaf memerlukan teknik khusus. Anda boleh saja mengajak mereka berdebat secara sehat dan tidak menyerang pribadi disertai dengan fakta-fakta reliabel yang anda temukan.Â
Sebagai penutup, tone deaf yang terlanjur dilabeli negatif menyebabkan penilai negatif pula dari orang sekitarnya. Namun, hendaknya perlu diingat bahwa menghadapi tone deaf jangan sampai membuat kita bersikap nirempati terhadap kondisi mereka.Â
Mengingat ada banyak faktor yang mengakibatkan mereka berperilaku demikian. Selain itu, vokal menyampaikan pendapat yang membangun dengan cara yang dapat diterima perlu tetap dilakukan sebagai bentuk kewajiban empati terhadap sesama. Sekian.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H