Kecil kecil caberawit
Istilah ini tepat menggambarkan karakteristik anak batita saat ini. Pengetahuan dan kemampuan mereka berkembang pesat dibanding generasi orangtuanya saat seusia mereka.Â
Berbagai pertanyaan maut secara tiba-tiba diajukan oleh anak. Orangtua pun jadi bingung dibuatnya, entah apa yang harus dikatakan untuk menjelaskan jawaban yang memuaskan mereka.Â
Mengapa matahari sangat panas? Mengapa aku tidak boleh menangis? Mengapa mama sedih? Mengapa harus sikat gigi? dan lain sebagainya.Â
Suatu waktu, saya mendapatkan pertanyaan dari keponakan yang cukup mengagetkan. Usianya pada saat itu masih duduk di kelas TK. Ia bertanya tentang "apa itu hubungan suami isteri?". Dalam kondisi kaget, saya berusaha menjaga ekspresi agar tetap terlihat santai sembari merangkai kata-kata yang tepat untuk memberikan jawaban aman.Â
Terkadang menghadapi pertanyaan-pertanyaan anak di luar prediksi membuat saya berkisah balik tentang kondisi saya pada usia mereka. Apa yang saya amati, pikirkan, dan kesenangan saya pada usia tersebut tampak berbeda dengan kebiasaan anak-anak sekarang. Mungkin ada kompasianer yang melakoni peran sebagai orangtua juga pernah terpikir hal yang sama?Â
Melalui obrolan santai dengan beberapa teman yang sudah menjadi orangtua, mereka juga sering menemui situasi yang sama. Ditengah lelah tubuh dan pikiran, mereka disambut dengan berbagai pertanyaan anak-anaknya yang mindblowing sehingga membuat mereka berpikir "kok bisa anak sekecil ini berpikir seperti itu?". Sepertinya masih terlalu dini untuk mulai memikirkan hal-hal lebih rumit dari usia mereka.Â
Nah, dalam artikel ini akan dibahas bagaimana proses anak, khususnya pada usia toddler yang sering mengajukan pertanyaan WHY secara berulang. Bagaimana memaknai pertanyaan WHY dari anak kepada orangtua dan strategi orangtua menghadapi anaknya pada situasi demikian.Â
Bertanya sebagai sarana membentuk kognisi