Ohana means Family and Family means nobody gets left behind or forgotten ...Â
Istilah Ohana menggambarkan bonding atau keterikatan keluarga dalam tradisi Hawai. Budaya Hawai mengutamakan Keluarga di atas segalanya. Hubungan sedarah atau tidak sedarah, akan dianggap menjadi keluarga ketika sudah terjalin hubungan saling mengasihi antar mereka. Teman, rekan kerja, tetangga, dan orang terdekat lain tanpa ikatan darah akan menjadi bagian keluarga yang saling mendukung membentuk support system ketika telah terjalin ikatan emosional didalamnya.Â
Hubungan antara orangtua dan anak adalah jenis  hubungan yang melibatkan banyak emosi didalamnya. Saling bercanda, serius, berselisih paham, namun saling memahami satu dengan yang lain. Keduanya belajar cara mengembangkan pola komunikasi yang sesuai dengan karakteristik masing-masing. Meskipun banyak faktor perbedaan paham dan persepsi, tetapi pada akhirnya menemukan polanya sendiri dalam meredakan konflik.Â
Perbedaan paham dan cara pandang terhadap banyak hal sering menjadi jurang pemisah antara anak dan orangtua. Orangtua merasa lebih banyak tau tentang hidup, sedangkan anak merasa pemikiran orangtua tidak relevan dengan perkembangan jaman di era modern. Hal inilah yang memicu banyak benturan antara anak dan orangtua dalam pengambilan keputusan, khususnya berkaitan dengan  masa depan anak.Â
Selain pengambilan keputusan, hubungan orangtua dan anak juga berdampak pada pembentukan kemandirian. Sebuah jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini oleh Zawaqi Afdal Jamil, Miari Edlin Kuswardani, Hidayat menemukan fakta ilmiah bahwa faktor-faktor seperti kurangnya pemahaman orang tua terhadap kelekatan dan urgensinya, minimnya waktu anak bersama ibu, dan koordinasi yang kurang optimal antara guru dan orangtua mempengaruhi kemandirian anak. Analisis hasil temuan ini menunjukkan anak kurang mandiri (baca disini).Â
Berdasarkan penemuan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan kelekatan termasuk didalamnya gaya pengasuhan sangat berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian anak.Â
Kecakapan Komunikasi
Pentingnya komunikasi orangtua dan anak menjadi cikal bakal keterbukaan dan rasa percaya anak kepada dunianya. Seorang pakar dalam kutipannya menyampaikan pesan tentang komunikasi yang berbunyi:
"Tetapi, komunikasi sehat yang baik tidak mungkin terjadi tanpa keterbukaan, kejujuran, dan kerentanan" - Paul Kendall
Penulis setuju dengan kutipan di atas karena memahami orang lain sulit tercapai tanpa adanya konflik atas perbedaan yang berhasil didamaikan melalui komunikasi.Â
Meskipun dalam prosesnya terdapat banyak kendala untuk menyatukan persepsi atau minimal adanya kompromi dibutuhkan sebagai perantara orangtua dan anak mengkomunikasikan kebutuhannya.Â
Kebutuhan OrangtuaÂ
Dalam berbagai teori parenting, ada dua dimensi penting yang merujuk pada gaya pengasuhan yaitu Interaksi dan Bimbingan. Dua dimensi tersebut mendasari kebutuhan orangtua menentukan gaya pengasuhan yang diterapkan pada anaknya.Â
Terdapat 4 jenis gaya pengasuhan, yaitu Otoritatif, Suportif, Permisif, dan Mengabaikan. Setiap gaya pengasuhan memberikan efek berbeda bagi perkembangan kematangan pribadi anak sebagai individu.Â
Untuk waktu yang lama, studi tentang gaya pengasuhan cenderung diteliti berdasarkan sudut pandang orangtua. Di mana orangtua menunjukkan dua sikap berbeda dalam pengasuhan, yaitu bagaimana mereka berespon (responsiveness) dan menuntut (demanding). Orangtua yang responsif (tanggap) dijelaskan sebagai orangtua yang aktif mendorong perkembangan anak dengan memberikan dukungan kepada anaknya.Â
Di sisi lain, orangtua yang menuntut (demanding) dikaitkan dengan perilaku memberi kontrol berlebihan terhadap anak yang bertujuan untuk memastikan mereka mengikuti aturan-aturan yang terintegrasi dalam keluarga, sehingga tidak ada ruang untuk negosiasi terhadap anak yang tidak patuh.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kebutuhan orangtua dalam menerapkan pola asuh adalah kontrol dan suportif terhadap kebutuhan anak.Â
Memastikan kebutuhan anak terpenuhi adalah tanggung jawab orangtua, baik kebutuhan materi dan imateri. Oleh karena itu, kebutuhan orangtua mengontrol dan mendukung terpenuhinya kebutuhan anak menjadi hal utama meskipun dalam wujud perilaku yang berbeda.Â
Kebutuhan AnakÂ
Setelah membahas kebutuhan orangtua, rasanya tidak lengkap tanpa membahas tentang kebutuhan anak. Perlindungan terhadap anak dijamin secara hukum dan tradisi yang berlaku dalam masyarakat. Mendapatkan makanan bernutrisi, tempat tinggal yang nyaman, pendidikan yang layak, pakaian bersih, dan terlindung dari ancaman merupakan hak-hak dasar anak sebagai manusia.Â
Selain kebutuhan fisik, ternyata kebutuhan emosional tidak kalah penting peranannya dalam masa perkembangan anak. Kebutuhan psikologis seperti dihargai, didengarkan, dimengerti pikiran dan perasaannya merupakan hal krusial yang mampu memberikan rasa hangat dan memunculkan bibit harmonis dalam hubungan orangtua dan anak.Â
Anak membutuhkan orangtua yang tanggap terhadap kebutuhannya. Orangtua yang tanggap dan peka terhadap kebutuhan anak bermanfaat meningkatkan kompetensi sosial dan akademik anak. Hal ini menunjukkan bahwa orangtua yang kompeten dalam hal pengasuhan, berdampak positif terhadap perkembangan diri anak.Â
Miskonsepsi antara Anak dan Orangtua
Abraham Maslow, seorang tokoh psikologi yang terkenal dengan teori Hirearki Kebutuhan menjelaskan bahwa terdapat 5 kebutuhan dasar manusia, yaitu Physical, Safety, Belonging, Esteem, dan Self-actualization.Â
Awalnya, Maslow berpendapat bahwa kebutuhan pada tingkat selanjutnya akan dipenuhi apabila kebutuhan di tingkat sebelumnya telah terpenuhi. Namun, seiring berjalannya waktu ia melakukan revisi pada teorinya dengan menekankan 3 poin penting yang intinya adalah sebagai berikut:Â
Kebutuhan manusia sifatnya sangat individualis dan personal karena dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya. Selain itu, ia juga menambahkan jenis kebutuhan transendens lainnya seperti spiritual, seksual, estetika, dll sebagai kebutuhan yang turut mendorong perilaku seseorang.Â
Berdasarkan teori kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow, maka dapat dikatakan bahwa kebutuhan anak dan orangtua berbeda. Pengaruh kebudayaan melalui perkembangan zaman juga turut memengaruhi perbedaan kebutuhan. Dorongan dan motivasi yang berbeda antar orangtua dana anak menimbulkan perilaku yang berbeda pula untuk memenuhi kebutuhannya.Â
Sebuah penelitian terhadap 160 ayah, 160 ibu, dan 160 anak dengan tujuan menggambarkan persepsi anak dan orangtua terhadap gaya pengasuhan dilakukan oleh K. Mayuri, V. Divya, Kavitha Kiran (baca disini).Â
Hasil penelitian menemukan fakta bahwa orangtua yang menilai dirinya demokratis, ternyata dinilai berbeda oleh anak. Sementara itu, orangtua dan anak yang menetap di daerah pedesaan ditemukan perbedaan persepsi yang mencolok, demikian juga dengan orangtua dan anak yang menetap di daerah perkotaan. Secara umum, hasil temuan menunjukkan bahwa lebih sedikit orangtua yang merasa dirinya otoriter dibandingkan dengan persepsi anak-anaknya.Â
Miskonsepsi antara anak dan orangtua sering terjadi bahkan telah dibuktikan secara ilmiah melalui studi tentang gaya pengasuhan. Perbedaan persepsi yang tidak dijembatani melalui komunikasi dan keterbukaan, semakin menghambat terjalinnya interaksi yang sehat antara orangtua dan anak.Â
Gaya pengasuhan yang diadopsi oleh orangtua, terbukti memiliki persepsi yang bertentangan dengan anak. Hal tersebut mempengaruhi hasil interaksi anak terhadap orangtua dengan konsekuensi pengaruh persepsi anak lebih besar terhadap perkembangan perilaku dan pola komunikasinya di masa depan.Â
Dilansir dari Nuonline, Psikolog anak dan keluarga, Najelaa Shihab, mengatakan bahwa hubungan erat dan hangat antara ibu dan anak dapat menghindarkan anak dari perilaku negatif. Hubungan yang erat juga dapat mengurangi risiko anak untuk memiliki hubungan yang tidak sehat di masa depannya.
Akhir kata, artikel ini ditulis dengan harapan bagi orangtua dan anak agar dapat memahami hal dasar bahwa mereka memiliki kebutuhan yang berbeda. Cara orangtua dan anak dalam memenuhi kebutuhannya pun berbeda karena dipengaruhi oleh banyak faktor internal dan eksternal.Â
Oleh karena itu, saling mengkomunikasikan apa yang dibutuhkan dan bekerja sama menentukan strategi yang disetujui bersama adalah jalan keluar untuk menyatukan persepsi antara orangtua dan anak. Sekian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H