Berlangsungnya pendidikan dapat terjadi kapanpun dan dimanapun. Lembaga formal, nonformal, dan informal memiliki peran yang sama yaitu mempromosikan edukasi ilmu dan keterampilan penting kepada anak-anak. Oleh karena itu, fungsi dan tanggung jawab semua lembaga pendidikan pada dasarnya adalah sama. Hanya saja yang membedakan adalah sistem pendidikan yang berlaku pada setiap lembaga.Â
Pendidikan nonformal meskipun sifatnya pilihan, tetapi penting bagi perkembangan anak-anak. Khususnya dalam tujuan meningkatkan potensi anak secara spesifik seperti kursus mata pelajaran tertentu, melatih keterampilan di bidang non-akademik, memperkenalkan anak-anak dengan dunia pekerjaan, masak, baking, menjahit, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, pendidikan nonformal melengkapi serta memaksimalkan ilmu dan keterampilan yang anak dapatkan di sekolah formal.Â
Pendidikan nonformal yang saat ini sedang saya ajarkan kepada anak dan remaja adalah tentang bidang agama. Saya mendapatkan panggilan tersebut di tempat peribadahan. Pendidikan nonformal tersebut akrab dikenal sebagai Sekolah Minggu. Sesuai dengan namanya, pendidikan agama yang diberikan hanya satu kali seminggu.Â
Banyak hal yang perlu dipersiapkan selama satu minggu menjelang ibadah. Sebagai pengajar, saya merasa pendidikan nonformal di bidang agama sangat lah penting tujuannya. Karena perkembangan anak dan remaja dengan memahami nilai-nilai agama akan membantu mereka berperilaku lebih baik di lingkungannya. Khususnya dalam hal memperlakukan dirinya sendiri dan orang lain dalam lingkungan sosial.Â
Sekolah minggu tidak hanya mengajarkan soal moral, tetapi lebih banyak tentang anjuran menjadi pribadi yang bijak dan berhikmat sesuai dengan isi Alkitab. Anak dan remaja diperkaya dengan pengetahuan mengenai pengalaman iman para tokoh alkitab, hukum-hukum dalam ajaran Kristiani, konteks peristiwa penting yang dapat dikaitkan dengan kehidupan masa kini, dan bagaimana kita menyikapi tantangan zaman sesuai dengan anjuran dan nasehat yang tertulis dalam kitab.Â
Saya pikir, peran pendidikan agama di tempat keagamaan sangat krusial dilakukan karena bertujuan mempersiapkan anak dan remaja menuju kedewasaan dengan berbekal pengetahuan akhlak dan perkembangan dirinya sebagai manusia dalam eksistensi agama. Mungkin tidak semua anak mendapatkan akses pendidikan agama di sekolah formal, khususnya bagi mereka yang masuk di sekolah negeri. Minimnya fasilitas dan tenaga pengajar untuk agama tertentu merupakan hambatan utama mengisi tangki pengetahuan agama yang dianut.Â
Sisi positif dari problematika tersebut adalah gereja dilibatkan dalam proses pendidikan anak. Tanggungjawab seperti pemberian materi belajar, menyusun soal, dan memberikan penilaian menjadi bagian dari tugas gereja. Hal ini mengindikasikan adanya kerjasama antara gereja dan sekolah menanamkan bibit religiusitas pada diri anak.Â
Sedikit cerita, untuk menjadi pengajar pendidikan agama di gereja tidak menempuh jalur instan. Calon pengajar perlu mengikuti training dan observasi selama kurang lebih 4 bulan. Setelah itu, wajib mengikuti pelatihan khusus dari Dewan Pusat Kategorial Pelayan Anak. Dilanjutkan dengan adaptasi awal menjadi liturgos ibadah sekolah minggu selama 3 bulan. Ketika dinilai sudah layak untuk menjadi pengajar atau pelayan firman, maka akan dipromosikan ke Pendeta.Â
Setiap minggunya, pengajar wajib mengikuti pertemuan reguler dengan Pendeta dan/atau Majelis Jemaat untuk mempersiapkan materi firman yang akan disampaikan. Pada pertemuan tersebut, pengajar lebih banyak dibimbing untuk mengembangkan pemahaman mendalam terkait isi kitab sesuai dengan konteks masa lampau dan masa kini. Alhasil, pengajar juga memeroleh bimbingan Alkitabiah sebelum memberitakannya kepada anak dan remaja yang dilayani.Â
Setelah kurang lebih hampir 2 tahun berkecimpung dalam pendidikan agama melalui lembaga gereja, penulis mendapatkan poin penting dari penerapan pendidikan nonformal ini. Pendidikan agama yang umumnya dinilai kaku karena wajib diikuti oleh semua umat. Ketika disampaikan kepada anak dan remaja, perlu disesuaikan dengan karakteristiknya sehingga mereka tidak dibentuk dengan pemikiran bahwa perilaku dan tindakannya dihakimi dengan keras. Sulit? Pasti. Namun, dalam perjalanannya dimudahkan dengan komunikasi dua arah yang terjadi antara anak dan pengajar.Â