Merayakan suatu pencapaian adalah hak setiap orang. Bagaimana cara merayakannya berbeda antara satu dengan yang lain sebagai bagian dari bentuk ekspresi diri. Misalnya, ada yang melakukan perayaan secara glamor dan ada pula yang memilih perayaan sederhana dengan orang-orang terdekat.Â
Disisi lain, salah satu faktor yang mempengaruhi ekspresi diri di era saat ini adalah sosial media. Kaum muda yang bertumbuh di tengah ledakan perkembangan teknologi, yang diawali oleh Generasi Z adalah buktinya. Kepiawaian mereka mengoperasikan teknologi dan mengakses banyak hal termasuk komunikasi dan inovasi sebagian besar terjadi melalui teknologi. Oleh karenanya, tidak heran apabila cara generasi mereka mengekspresikan diri sangat berbeda dengan generasi sebelumnya.Â
Perlu dipahami bahwa setiap generasi memiliki sejarah dan waktu yang berbeda. Sehingga karakteristik sifat setiap generasi mengalami pembaharuan mengikuti perkembangan zaman. Berpatokan pada konsep tersebut, maka perkembangan dan ekspresi diri generasi muda diwarnai oleh antusiasme membangun koneksi dan komunitas digital. Meskipun mereka juga mampu bersosialisasi secara fisik, hanya saja keterampilan sosial-fisikal lebih tumpul dibandingkan generasi sebelumnya. Hal ini merupakan satu contoh dari banyaknya bahaya teknologi yang telah menjadi sahabat kaum muda.Â
Perbedaan komunikasi sosial antar generasi dapat digambarkan sebagai berikut. Generasi sebelumnya dapat menghabiskan waktu lebih lama berdiskusi topik menarik di tempat tongkrongan, sedangkan jarang menemukan generasi sekarang menghabiskan sebagian besar waktu di tongkrongan dengan tanpa memegang gawai. Kebiasaan ini menandakan bahwa separo kehidupan sosial generasi muda berkembang di lingkungan digital. Variasi media yang ditawarkan seperti facebook, instagram, youtube, tiktok, dan sosial media lainnya menjadi ruang nyaman bagi generasi muda mengakses dan membagikan ragam informasi, serta menyalurkan ekspresi diri. Â
Ekspresi diri generasi muda pun dipengaruhi oleh apa yang ia temukan dalam sosial media. Ambang kenormalan ekspresi diri yang ditolerir masyarakat menjadi bias dikarenakan terjadinya pergeseran nilai, norma, dan budaya pada generasi muda melalui tren perkembangan teknologi. Sebut saja tren/challenge viral di jagat maya untuk menaikkan level popularitas pengguna sosmed.
Hal tersebut dianggap normal karena banyak dari mereka yang melakukannya. "Jika banyak yang melakukan sedangkan saya tidak, maka saya akan tertinggal". Pola pikir demikian yang mencetus konsep FOMO (Fear of Missing Out) pada generasi muda, sehingga kebanyakan dari mereka seperti memakai seragam dan berkeinginan menjadi sama seperti orang lain.
Kebiasaan bersosial media mengubah sikap generasi muda menjadi semakin up to date dalam dua sisi. Pertama, dipemgaruhi oleh informasi dari dunia luar, dan kedua, memperbaharui dunia luar dengan informasi tentang dirinya yang dipublikasikan. Problematika yang terjadi adalah seringkali pengguna tidak mampu membedakan mana informasi yang perlu dibagikan dan tetap dijaga privasinya.Â
Dalam sebuah jurnal "Social Self-Esteem dan Fear of Missing Out Pada Generasi Z Pengguna Media Sosial" oleh Astrid Lingkan Mandas dan  Khoirotus Silfiyah   ditekankan bahwa media sosial menciptakan utopia tetapi juga distopia, artinya media sosial dianggap sesuatu yang baik (utopia) tetapi juga tidak baik (distopia).
Hasil dari penelitian tersebut menemukan bahwa generasi post-milenial memiliki kecenderungan yang besar terjadinya FOMO karena beberapa karakteristik dari generasi ini menjadi dasar pembentuknya seperti under-influence, being always connected, dan digital intuitiveness. Â
Dijelaskan lebih lanjut bahwa generasi post-millenial menunjukkan tingkat dependensi tinggi terhadap teknologi digital dalam memenuhi kebutuhan hidup. Belajar, bekerja, makan, dan aktivitas lain dipenuhi melalui pemanfaatan teknologi digital. Oleh karena itu, mereka cenderung lihai menggali ide dan inovasi berbasis digital supaya instan viral dan mendapatkan pemberitaan.Â