Aktivitas yang biasanya dilakukan seperti merekam suatu kejadian yang dialami dan mengabadikannya dengan cara mengunggah ke sosial media diikuti dengan narasi ekspresi perasaan sudah tidak dirasa aneh.
Namun, aktivitas tersebut sering dinilai berlebihan oleh publik, khususnya generasi sebelumnya. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan cara pandang dalam hal ekspresi diri.
Generasi post-milenial cenderung aktif membagikan gaya hidup dan pencapaiannya dengan tujuan mendapatkan pengakuan dan validasi dari lingkungan. Sementara itu, generasi sebelumnya memandang bahwa perilaku tersebut overhyped dan oversharing.Â
Dibandingkan generasi sebelumnya, generasi post-milenial lebih bebas berekspresi, khususnya di sosial media. Mereka tidak sungkan membicarakan tentang peristiwa psikologis yang menyebabkan trauma, stres, depresi, dan lain sebagainya. Sebenarnya, mereka lebih peka terhadap kebutuhan emosional karena telah memperoleh banyak informasi mengenai kesehatan mental, tetapi cenderung bergantung pada lingkungan eksternal untuk memenuhi kebutuhan psikologisnya tersebut.
Sedangkan, generasi sebelumnya lebih dituntut untuk bertahan (survive) dengan keberadaan diri ditengah tantangan jaman yang belum secanggih sekarang. Generasi sebelumnya seperti bertahan hidup dengan menjadi buku manual untuk dirinya sendiri. Â Perbedaan cara pandang ini lah yang membuat jarak antar generasi post-milenial dan generasi sebelumnya. Akibatnya, terjadi pertikaian antar generasi dengan judul "generasi kolot vs generasi lemah".Â
Apa Solusinya?Â
Ekspresi diri merupakan hak dan kebebasan semua orang tanpa terkecuali. Berkaitan dengan hal tersebut, setiap generasi memiliki kelebihan dan kekurangan yang dapat saling melengkapi satu dengan yang lain. Misalnya, generasi post milenial mengajarkan pemanfaatan teknologi tepat guna kepada generasi sebelumnya. Selanjutnya, generasi sebelumnya dapat berkontribusi menjadi motivator bagi generasi muda untuk meningkatkan daya juangnya atau melatih skill generasi muda supaya memiliki komunikasi lisan yang baik (face-to-face).
Pola hubungan yang dibentuk adalah tidak setara tetapi saling membutuhkan. Perbedaan antar generasi dapat dijembatani dengan adanya aksi saling keterbukaan dan berbagi pengalaman antar generasi. Hal ini dimaksudkan agar dapat saling memahami satu dengan yang lain, alih alih saling membandingkan kualitas antar generasi. Sekian. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H