Mohon tunggu...
Selly Mauren
Selly Mauren Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

Writing is my daily journal. Welcome to my little blog. Hope the articles will inspire all the readers.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ekspresi Diri Berlebihan Generasi Post Milenial

19 Juli 2024   15:17 Diperbarui: 19 Juli 2024   17:35 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Merayakan suatu pencapaian adalah hak setiap orang. Bagaimana cara merayakannya berbeda antara satu dengan yang lain sebagai bagian dari bentuk ekspresi diri. Misalnya, ada yang melakukan perayaan secara glamor dan ada pula yang memilih perayaan sederhana dengan orang-orang terdekat. 

Disisi lain, salah satu faktor yang mempengaruhi ekspresi diri di era saat ini adalah sosial media. Kaum muda yang bertumbuh di tengah ledakan perkembangan teknologi, yang diawali oleh Generasi Z adalah buktinya. Kepiawaian mereka mengoperasikan teknologi dan mengakses banyak hal termasuk komunikasi dan inovasi sebagian besar terjadi melalui teknologi. Oleh karenanya, tidak heran apabila cara generasi mereka mengekspresikan diri sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. 

Perlu dipahami bahwa setiap generasi memiliki sejarah dan waktu yang berbeda. Sehingga karakteristik sifat setiap generasi mengalami pembaharuan mengikuti perkembangan zaman. Berpatokan pada konsep tersebut, maka perkembangan dan ekspresi diri generasi muda diwarnai oleh antusiasme membangun koneksi dan komunitas digital. Meskipun mereka juga mampu bersosialisasi secara fisik, hanya saja keterampilan sosial-fisikal lebih tumpul dibandingkan generasi sebelumnya. Hal ini merupakan satu contoh dari banyaknya bahaya teknologi yang telah menjadi sahabat kaum muda. 

Perbedaan komunikasi sosial antar generasi dapat digambarkan sebagai berikut. Generasi sebelumnya dapat menghabiskan waktu lebih lama berdiskusi topik menarik di tempat tongkrongan, sedangkan jarang menemukan generasi sekarang menghabiskan sebagian besar waktu di tongkrongan dengan tanpa memegang gawai. Kebiasaan ini menandakan bahwa separo kehidupan sosial generasi muda berkembang di lingkungan digital. Variasi media yang ditawarkan seperti facebook, instagram, youtube, tiktok, dan sosial media lainnya menjadi ruang nyaman bagi generasi muda mengakses dan membagikan ragam informasi, serta menyalurkan ekspresi diri.  

Ekspresi diri generasi muda pun dipengaruhi oleh apa yang ia temukan dalam sosial media. Ambang kenormalan ekspresi diri yang ditolerir masyarakat menjadi bias dikarenakan terjadinya pergeseran nilai, norma, dan budaya pada generasi muda melalui tren perkembangan teknologi. Sebut saja tren/challenge viral di jagat maya untuk menaikkan level popularitas pengguna sosmed.

Hal tersebut dianggap normal karena banyak dari mereka yang melakukannya. "Jika banyak yang melakukan sedangkan saya tidak, maka saya akan tertinggal". Pola pikir demikian yang mencetus konsep FOMO (Fear of Missing Out) pada generasi muda, sehingga kebanyakan dari mereka seperti memakai seragam dan berkeinginan menjadi sama seperti orang lain.

Kebiasaan bersosial media mengubah sikap generasi muda menjadi semakin up to date dalam dua sisi. Pertama, dipemgaruhi oleh informasi dari dunia luar, dan kedua, memperbaharui dunia luar dengan informasi tentang dirinya yang dipublikasikan. Problematika yang terjadi adalah seringkali pengguna tidak mampu membedakan mana informasi yang perlu dibagikan dan tetap dijaga privasinya. 

Dalam sebuah jurnal "Social Self-Esteem dan Fear of Missing Out Pada Generasi Z Pengguna Media Sosial" oleh Astrid Lingkan Mandas dan  Khoirotus Silfiyah   ditekankan bahwa media sosial menciptakan utopia tetapi juga distopia, artinya media sosial dianggap sesuatu yang baik (utopia) tetapi juga tidak baik (distopia).

Hasil dari penelitian tersebut menemukan bahwa generasi post-milenial memiliki kecenderungan yang besar terjadinya FOMO karena beberapa karakteristik dari generasi ini menjadi dasar pembentuknya seperti under-influence, being always connected, dan digital intuitiveness.  

Dijelaskan lebih lanjut bahwa generasi post-millenial menunjukkan tingkat dependensi tinggi terhadap teknologi digital dalam memenuhi kebutuhan hidup. Belajar, bekerja, makan, dan aktivitas lain dipenuhi melalui pemanfaatan teknologi digital. Oleh karena itu, mereka cenderung lihai menggali ide dan inovasi berbasis digital supaya instan viral dan mendapatkan pemberitaan. 

Aktivitas yang biasanya dilakukan seperti merekam suatu kejadian yang dialami dan mengabadikannya dengan cara mengunggah ke sosial media diikuti dengan narasi ekspresi perasaan sudah tidak dirasa aneh.

Namun, aktivitas tersebut sering dinilai berlebihan oleh publik, khususnya generasi sebelumnya. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan cara pandang dalam hal ekspresi diri.

Generasi post-milenial cenderung aktif membagikan gaya hidup dan pencapaiannya dengan tujuan mendapatkan pengakuan dan validasi dari lingkungan. Sementara itu, generasi sebelumnya memandang bahwa perilaku tersebut overhyped dan oversharing. 

Dibandingkan generasi sebelumnya, generasi post-milenial lebih bebas berekspresi, khususnya di sosial media. Mereka tidak sungkan membicarakan tentang peristiwa psikologis yang menyebabkan trauma, stres, depresi, dan lain sebagainya. Sebenarnya, mereka lebih peka terhadap kebutuhan emosional karena telah memperoleh banyak informasi mengenai kesehatan mental, tetapi cenderung bergantung pada lingkungan eksternal untuk memenuhi kebutuhan psikologisnya tersebut.

Sedangkan, generasi sebelumnya lebih dituntut untuk bertahan (survive) dengan keberadaan diri ditengah tantangan jaman yang belum secanggih sekarang. Generasi sebelumnya seperti bertahan hidup dengan menjadi buku manual untuk dirinya sendiri.  Perbedaan cara pandang ini lah yang membuat jarak antar generasi post-milenial dan generasi sebelumnya. Akibatnya, terjadi pertikaian antar generasi dengan judul "generasi kolot vs generasi lemah". 

Apa Solusinya? 

Ekspresi diri merupakan hak dan kebebasan semua orang tanpa terkecuali. Berkaitan dengan hal tersebut, setiap generasi memiliki kelebihan dan kekurangan yang dapat saling melengkapi satu dengan yang lain. Misalnya, generasi post milenial mengajarkan pemanfaatan teknologi tepat guna kepada generasi sebelumnya. Selanjutnya, generasi sebelumnya dapat berkontribusi menjadi motivator bagi generasi muda untuk meningkatkan daya juangnya atau melatih skill generasi muda supaya memiliki komunikasi lisan yang baik (face-to-face).

Pola hubungan yang dibentuk adalah tidak setara tetapi saling membutuhkan. Perbedaan antar generasi dapat dijembatani dengan adanya aksi saling keterbukaan dan berbagi pengalaman antar generasi. Hal ini dimaksudkan agar dapat saling memahami satu dengan yang lain, alih alih saling membandingkan kualitas antar generasi. Sekian.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun