Mohon tunggu...
Selly Mauren
Selly Mauren Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

Writing is my daily journal. Welcome to my little blog. Hope the articles will inspire all the readers.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kuliah Tidak Wajib, Tetapi Pilihan!

22 Mei 2024   10:36 Diperbarui: 22 Mei 2024   11:09 519
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemendikbud menghebohkan publik dengan pernyataan, "Pendidikan di Perguruan Tinggi adalah tersier", sehingga sifatnya tidak wajib didanai penuh oleh Pemerintah. Entah apa maksud sebenarnya dibalik pernyataan tersebut, tetapi yang jelas banyak pihak yang menolak tegas. Kalimat pendek yang diucapkan oleh Sekjen Dikti, tanpa disadari juga berefek pada anak muda yang masih bersemangat menimba ilmu hingga pendidikan lanjut, seperti dipatahkan niatnya oleh negara. Khususnya mereka dengan latar belakang kurang beruntung.  

Berkaca dari negara lain, seperti Jerman dan Kanada yang sangat menjunjung tinggi pendidikan yang layak kepada warga negaranya dengan berbagai upaya seperti layanan biaya pendidikan murah hingga gratis biaya sekolah. Bahkan tidak jarang ada beberapa negara Eropa memberikan biaya pendidikan tinggi secara penuh kepada murid internasional. Melihat perbandingan ini, penulis berpikir bahwa negara tercinta kita ini memang lah berbeda.

Apakah pendidikan tinggi tidak wajib?

Pendidikan tinggi adalah layanan satuan pendidikan yang mencakup jenjang diploma, sarjana, magister, doktor, spesialis. Dimana setiap lulusannya diyakini memiliki keterampilan dalam bidang keilmuan tertentu yang dibutuhkan dalam dunia kerja. Dibandingkan dengan sekolah menengah, sudah pasti lulusan pendidikan tinggi akan lebih dilirik oleh pencari tenaga kerja karena kapasitas kompetensinya yang berbeda.

Layanan pendidikan tinggi menawarkan fokus pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan pengembangan negara. Program sarjana berkutat pada kegiatan akademisi yang kemudian berlanjut pada jenjang magister profesi atau sains.  Selanjutnya, program doktor dikhususkan pada mereka yang ingin memperdalam keabsahannya sebagai peneliti akademis mandiri dan pengadaan program spesialis yang bertujuan untuk memperkaya kompetensi seseorang dalam bidang tertentu. Disisi lain, program diploma mempersiapkan lulusannya memiliki keterampilan praktek di bidang wirausaha dan industri. Namun, sangat disayangkan program diploma masih dipandang sebelah mata oleh sebagian besar masyarakat.

Menjawab pertanyaan diatas, Apakah pendidikan tinggi wajib?  Berdasarkan sudut pandang penulis, pendidikan tinggi sifatnya wajib karena merupakan hak asasi manusia yang dijamin dalam hukum nasional dan internasional. Namun, tidak salah juga disebut sebagai pilihan. Artinya, jika berminat pada ilmu pengetahuan dan akademik maka dapat memilih melanjutkan pada program sarjana. Sebaliknya, apabila berminat pada kegiatan praktik langsung di lapangan maka dapat menempuh jalur pendidikan vokasi atau diploma.  

Pernyataan diatas menggambarkan "kondisi ideal" bagaimana seharusnya sistem pendidikan kita berjalan. Tetapi pada realita di lapangan, berbanding terbalik. Tuntutan permintaan kerja minimal ijazah S1, regulasi penyerapan tenaga kerja SMA dan SMK yang belum memadai, upah yang diperoleh berdasarkan level pendidikan dinilai belum cukup layak, gengsi masyarakat terkait level pendidikan tanpa memperhatikan kebutuhan pasar kerja dan biaya pendidikan yang semakin meroket menjadi faktor utama anak bangsa terhambat lanjut ke pendidikan tinggi. Pada akhirnya, banyak lulusan yang bekerja tidak sesuai dengan bidang keilmuan, meskipun hal ini mulai dianggap biasa sebagai cara bertahan hidup.

Oleh karena itu, dibandingkan mengatakan Pendidikan Tinggi tidak wajib, penulis lebih setuju dengan pernyataan "Pendidikan tinggi adalah pilihan program pengembangan kompetensi diri yang wajib diperoleh sebagai modal generasi muda memasuki usia produktif kerja". 

Data

Dilansir dari databoks.id (diunggah Februari 2024), jumlah pekerja dengan persentase tertinggi yaitu sebanyak 36.54% merupakan lulusan SD ke bawah. Disusul dengan SMA (20.55%), SMP (18.15%), SMK (12.09%), Diploma IV/S1/S2/S3 (10.28%), dan Diploma I/II/III (2.39%).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun