Rambut adalah salah satu bagian tubuh yang dibanggakan, baik oleh laki-laki maupun perempuan. Kebebasan untuk berkreasi dengan gaya rambut terbukti mampu meningkatkan rasa percaya diri seseorang. Sayangnya, tidak semua lingkungan memperbolehkan individu berkreasi dengan tampilan rambut, misalnya lingkungan pendidikan dan pekerjaan. Alasannya sederhana, karena ingin mengajarkan kedisiplinan dan kerapihan dalam berpakaian. Pertama-tama, mari kita definisikan bersama bagaimana disiplin kerapihan berpenampilan.Â
Ada sebuah kalimat yang mengatakan "penampilanmu mencerminkan siapa dirimu". Penampilan yang dimaksudkan disini tidak hanya secara fisik, tetapi juga cara bertutur kata, cara berjalan, dan perilaku lainnya yang dapat mencerminkan kepribadian manusia. Setidaknya begitulah menurut para pakar pembaca bahasa tubuh dan psikolog. Jadi, sekolah sebagai institusi pendidikan diharapkan dapat seimbang dan bijak dalam mendefinisikan kembali kedisiplinan berpenampilan yang ingin diajarkan kepada para muridnya.Â
Indonesia yang mengadopsi budaya timur kental dengan aturan ketat tentang kesopanan dan kesantunan dalam bermasyarakat. Oleh sebabnya, lebih banyak muncul peraturan yang bersifat melarang daripada negosiasi atau sedikit memberikan kebebasan bagi individu untuk memilih. Dalam kaitannya dengan peraturan berpakaian di sekolah, ada beberapa peraturan yang masih relevan dan penting untuk dipertahankan seperti panjang rok di bawah lutut, celana seragam melewati tumit, dan menggunakan ukuran seragam lebih besar agar tidak memperlihatkan bentuk tubuh. Para murid akan terlihat lebih rapi dan santun di sekolah dengan ketentuan di atas, serta menghargai norma yang berlaku di masyarakat. Â Â
Apa tujuan razia rambut?Â
Sejujurnya, saya memiliki pertanyaan yang sama sejak dulu. Hingga saat ini, saya gagal paham dengan peraturan sekolah tentang gaya rambut. Murid laki-laki dilarang gondrong, murid perempuan dilarang menggerai rambut, dan tidak boleh mewarnai rambut selain hitam. Peraturan mewarnai rambut mungkin masih bisa diwajarkan, namun untuk dua peraturan lainnya masih tidak masuk dalam akal. Karena seperti yang telah dikatakan di awal, gaya rambut mempengaruhi rasa percaya diri. Alih-alih mencukur rambut murid secara sepihak, sebaiknya sekolah dapat menerapkan peraturan yang spesifik.Â
Contohnya seperti ini; bagi para murid laki-laki yang berambut gondrong dan murid perempuan yang berambut panjang, diwajibkan mengikat rambut rapi selama belajar di dalam kelas. Kalian boleh menggerai rambut saat jam istirahat atau selesai pelajaran. Esensi dari peraturan ini adalah agar saat pelajaran berlangsung, murid bisa lebih fokus dan tidak terganggu dengan rambutnya yang tergerai. Sederhana bukan?
Apakah razia rambut efektif mendisiplinkan murid?Â
Pertanyaan diatas  penting diajukan kepada sekolah dan para guru.  Mendisiplinkan murid bisa dengan cara lain yang lebih sehat seperti membuka peluang ruang diskusi dua arah. Toh, alangkah indahnya jika murid juga dapat menyampaikan pendapatnya terhadap peraturan sekolah yang membuat mereka merasa terbelenggu. Bukankah masalah akan bertambah jika murid lebih memilih bolos atau menentang guru sebagai bentuk perlawanannya terhadap peraturan?Â
Hal lain yang dikhawatirkan dari peraturan razia rambut adalah perkembangan emosi murid dengan sekolah. Perasaan negatif seperti kesal, kecewa, dan marah karena terpaksa merelakan rambutnya dicukur oleh guru. Mungkin hasilnya akan sedikit lebih baik jika hasil cukurnya estetik, bagaimana kalau berantakan? Murid terpaksa harus mengeluarkan uang untuk merapihkan rambutnya ke tempat cukur rambut. Â Akumulasi masalah-masalah kecil seperti ini, tentunya berkontribusi dalam membentuk persepsi murid yang tidak menyenangkan terhadap sekolahnya. Â
Peraturan Sekolah vs Tren Budaya