Mohon tunggu...
Selly Mauren
Selly Mauren Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

Writing is my daily journal. Welcome to my little blog. Hope the articles will inspire all the readers.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Perdebatan Parenting yang Tidak Ada Akhirnya

7 September 2023   07:14 Diperbarui: 7 September 2023   18:48 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto dari instagram @indipriw

Gaya pola asuh yang diterapkan oleh orangtua, tentunya berbeda satu dengan yang lain. Antara Suami dan Istri dengan latar belakang pengasuhan berbeda sejak kecil, juga turut berpengaruh pada perbedaan pola asuh yang diterapkan terhadap anak-anak. 

Prinsip pola asuh adalah menjadi contoh yang baik bagi anak. Kasarnya, jika Anda sebagai orangtua ingin agar anak Anda bertumbuh menjadi pribadi yang baik, evaluasi kembali diri Anda. Hal ini dikarenakan orangtua adalah role model dan guru karakter terbaik bagi anak. 

Pola asuh yang diterapkan kepada anak Anda tidak harus sama dengan Nikita Willy atau artis lain meskipun mereka bisa dijadikan contoh. Namun, perlu digarisbawahi bahwa tantangan mengasuh anak berbeda bagi setiap orangtua karena bergantung pada karakter anak masing-masing. Pengalaman saya selama kurang lebih lima tahun menjadi guru lower elementary (kelas 1-3 SD) sangat terasa lelah-letihnya mendidik murid yang hanya beberapa jam di sekolah. Tidak terbayang oleh saya bagaimana orangtua di rumah yang berhadapan langsung dengan anak-anak dari pagi hingga malam. 

Banyak ilmu parenting yang bermunculan tentang bagaimana seharusnya orangtua mendidik anak. Dari yang saya pelajari dan telah saya terapkan adalah membuat anak merasa aman dan nyaman terlebih dahulu. Ibarat masa PDKT dengan pasangan, sebelum bisa jatuh cinta harus merasa nyaman dulu kan? Nah, kurang lebih hal yang sama juga bisa orangtua terapkan dalam parenting

Saya setuju bahwa tidak semua parenting dengan cara halus akan berhasil. “Anak saya terlalu pintar, Miss, untuk dibaik-baikin. Semakin dibaikin malah ngelunjak.” Terlibat langsung dalam pendidikan anak membantu saya lebih memahami posisi orangtua yang merasa serbasalah dengan cara parenting-nya. Biasanya mereka akan puas ketika anak berperilaku sesuai dengan yang orangtua harapkan. Karena pendapat mereka sebagai orangtua adalah “saya tahu apa yang terbaik bagi anak saya”. Tidak salah, tapi juga tidak benar. Mengapa? 

Saya punya beberapa alasan untuk menjawab ini berdasarkan pengalaman saya: 

Pertama, anak usia SD (sekitar 6 tahun) sudah punya pendapat dan penilaiannya sendiri terhadap sesuatu yang perlu dipertimbangkan oleh orang dewasa. 

Kedua, anak pada usia tersebut membutuhkan ruang untuk mengekspresikan dirinya. Hal ini berdampak pada peningkatan rasa percaya diri dan motivasi belajar di sekolah. 

Baca juga: Sudahi Overthinking

Ketiga, tidak ada salahnya membiarkan mereka melakukan banyak kesalahan dan belajar dari proses tersebut.  Sebagian besar orangtua yang saya temui terlalu melindungi anaknya yang sedang bereksplorasi. Akibatnya, anak menjadi mudah takut dan cemas saat bersosialisasi di sekolah. 

Keempat, orangtua perlu bersikap tegas supaya anak segan, bukan takut. Menurut saya, menjadi orang dewasa yang tegas lebih efektif membuat anak menghormati dan mendengarkan kita. Khusus poin ini, saya terapkan menggunakan strategi konsekuensi perjanjian mengenai perilaku yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama anak berada di lingkungan sekolah. Selama ini, saya pun mengalami masa di mana hanya mendapatkan larangan dan tidak diberi tahu mengenai apa yang boleh dilakukan. Contoh aplikasinya adalah; kamu boleh bermain bola di lapangan saat jam istirahat. Tidak boleh dimainkan dalam kelas karena mengganggu teman-teman yang lain.  Jika suatu saat murid diperbolehkan bermain di dalam kelas, perlu diberikan syarat pengecualian yang jelas. Misalnya, karena di luar sedang hujan kalian boleh main bola di dalam kelas selama 30 menit saja. 

Kelima, let them be. Saat terjadi masalah, dorong mereka untuk problem solving. Biarkan mereka menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri, alih-alih orangtua menghabiskan energi dengan marah-marah. Orangtua hanya perlu memberikan pengawasan dan pendampingan yang minim. Tujuannya melatih anak bertanggung jawab atas konsekuensi dari setiap perilaku mereka. 

Akhir kata, lima hal di atas saya peroleh dengan mempertimbangkan sudut pandang anak dan orangtua. Berdasarkan pengalaman saya sebagai guru sekaligus konselor, saya berharap semoga artikel ini dapat bermanfaat bagi kompasianer dan orangtua di luar sana. 

Apakah kompasianer punya pendapat lain? 

Silahkan berbagi di kolom komentar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun