Autism dan Down Syndrome adalah gangguan perkembangan yang sering disalahpahami sebagai kondisi yang sama. Padahal, keduanya memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Pertama-tama, perlu dipahami bahwa Autism dan Down Syndrome adalah kondisi gangguan perkembangan sehingga membutuhkan pendampingan khusus sejak dini untuk membantu individu penyandang Autism dan Down Syndrome berfungsi secara optimal. Jenis gangguan perkembangan ini dapat diidentifikasi sejak dalam kandungan hingga anak berusia sekitar 2-3 tahun.Â
Penyebab terjadinya Autism dan Down Syndrome pun berbeda. Down Syndrome terjadi karena kelebihan satu kromosom yang dikenal dengan istilah medis Trisomy 21. Kelebihan kromosom tersebut menyebabkan terjadinya perbedaan bentuk tubuh, wajah, hingga proses mental seseorang.Â
Trisomy 21 ini lah yang membuat individu penyandang Down Syndrome memiliki perawakan yang serupa. Disisi lain, hingga saat ini masih terus dilakukan pengembangan penelitian terkait dengan Autism Syndrome Disorder (ASD). Oleh sebab itu, belum dijelaskan secara pasti penyebab terjadinya Autism. Sebagai gantinya disebutkan ada beberapa faktor yang berperan, yaitu genetik dan lingkungan (konsumsi obat-obatan saat kehamilan).Â
Anak yang terlahir dengan kondisi Autism dan Down Syndrome sering dipahami memiliki kekurangan dan dianggap tidak normal. Sesungguhnya mereka adalah anak istimewa yang juga diberkahi dengan talenta, bakat, dan kemampuan layaknya manusia lain secara umum. Apa yang membuat mereka unik dan berbeda adalah cara mereka berhubungan dengan sesama manusia. Keluarga yang memiliki anak Autis dan Down Syndrome dituntut berusaha ekstra dalam merawat dan memberikan perhatian khusus kepada anaknya.Â
Oleh karena itu, jika anak penyandang ASD dan Down Syndrome memiliki saudara kandung, maka penting untuk mengkomunikasikan kondisi kesehatan dan mental anak istimewa kepada saudaranya sejak awal. Hal ini perlu dilakukan karena kerja sama antara semua anggota keluarga sangat amat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan anak istimewa.Â
Berikut ini adalah beberapa mitos yang saya temukan dalam masyarakat terkait dengan stereotipe terhadap anak istimewa penyandang Autis dan Down Syndrome:Â
Penyakit yang bisa disembuhkan
Gangguan Jiwa/Mental
Perawakan yang serupa (tidak semua penyandang DS mengidap Autism dan sebaliknya)
Tingkat intelegensi rendah
Tidak memahami lingkungannya
Tidak bisa berkomunikasi
Gangguan jiwa
Tidak bisa bersosialisasi
Hanya cocok di sekolah khusus
Tidak bisa diajari/dilatih skill baruÂ
Individu penyandang ASD, DS, dan gangguan perkembangan lainnya memiliki spektrum bervariasi mulai dari ringan hingga berat. Oleh karena itu, kecenderungan kemampuan anak istimewa juga luas sesuai dengan spektrumnya termasuk level kecerdasan, kemampuan sosialisasi, kemampuan komunikasi, dan lain sebagainya. Namun, bukan hal mustahil bagi mereka untuk memiliki keterampilan baru. Anak istimewa yang dibekali dengan latihan dan terapi sejak dini terbukti mampu mengerjakan tugas yang diberikan.Â
Misalnya, anak istimewa yang terlambat bicara (speech delay) melalui program terapi wicara yang dilakukan bersama terapis maupun mandiri (keluarga berperan penting) dapat membantu meningkatkan kemampuan komunikasi bahasa (verbal atau non-verbal). Kesulitan komunikasi anak istimewa terbatas secara verbal dikarenakan perkembangan otot-ototnya yang lemah untuk membantu ia berbicara. Program terapi khusus untuk memperkuat ketahanan fisik (koordinasi motorik-sensorik) dan melibatkan anak istimewa dalam situasi sosial (keluarga, komunitas, lingkungan tempat tinggal) akan mengoptimalkan pertumbuhan mentalnya termasuk rasa percaya diri serta pengendalian emosi.Â
Banyak anggapan yang memandang kondisi anak istimewa sebagai gangguan kejiwaan serius. Faktanya, kondisi mereka adalah bagian dari gangguan perkembangan yang terjadi sejak masa kehamilan hingga kelahiran. Umumnya, terjadi gangguan pada sistem neuron yang menyebabkan mereka kurang mampu berkomunikasi verbal (perkembangan bahasa terlambat) dan kecerdasan emosional rendah termasuk kecakapan sosial. Kabar baiknya, proses kognitif anak istimewa masih bekerja baik dengan keunikannya dibandingkan manusia pada umumnya. Umumnya, secara kognitif mereka memahami apa yang terjadi di lingkungannya. Hanya saja, mereka mengalami kesulitan untuk mengekspresikan dirinya (pikiran dan perasaan).Â
Keunikan dari sisi kognitif adalah cara berpikir yang sangat teratur seperti memiliki SOP. Oleh karena itu, jika terjadi sedikit perubahan mereka mudah cemas dan stres. Hal ini saya temukan pada anak istimewa penyandang ASD. Rekayasa lingkungan menjadi bagian dari proses terapi untuk membantunya mengendalikan emosi. Disisi lain, anak istimewa yang saya berinteraksi langsung memiliki kelebihan lain dalam bidang numerik dan seni. Ia mampu berhitung cepat dan membedakan gradasi warna. Kesulitan pada anak istimewa hendaknya tidak dipandang sebagai kekurangan.Â
Melainkan, dapat dijadikan sebagai informasi untuk bagaimana semua pihak yang terlibat melakukan pendekatan yang efektif untuk membuat anak istimewa merasa dimengerti dan dihargai. Ketika mereka sudah mendapatkan koneksi (bonding), maka akan lebih mudah untuk berkomunikasi dengan mereka.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H