Mohon tunggu...
Selly Mauren
Selly Mauren Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

Writing is my daily journal. Welcome to my little blog. Hope the articles will inspire all the readers.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Anak Sulit Menghadapi Perpisahan

30 Juni 2023   20:55 Diperbarui: 1 Juli 2023   23:09 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Kampus Production: pexels.com

"Mama bola ku hilang", kata si anak sambil menangis saat bolanya hilang dan masuk ke kolong kursi. Begitu pula dengan orangtua yang sekejap keluar dari jangkauan pandangan anak saat masuk ke dalam kamar mandi. Bagi orang dewasa yang melihatnya mungkin dianggap sebagai masalah kecil dan candaan untuk membuat si anak menangis. Namun, bagi si anak ia merasakan terpisah atau ditinggalkan oleh objek yang disukainya. 

Anak yang rewel, tidak berhenti menangis, dan bahkan sering menolak pergi ke sekolah karena tidak mau meninggalkan rumah. Terlepas dari adanya pikiran "anak ini manipulatif karena malas ke sekolah", ada baiknya sebagai orang dewasa melakukan validasi terhadap perasaannya terlabih dahulu. 

Apakah ia merasa cemas, takut, khawatir, atau menunjukkan gejala psikosomatis seperti sakit perut, sakit kepala, dan lain sebagainya?

Dalam ilmu psikologi, peristiwa tersebut dikenal dengan istilah separation anxiety yang sering terjadi pada anak-anak saat mulai masuk usia sekolah. 

Momen dramatis yang sering terjadi di hari pertama sekolah adalah ketika orangtua harus meninggalkan anak di dalam ruang kelas dan membiarkannya belajar beradaptasi dengan lingkungan yang baru. 

Sebagai pendidik yang melihat dari kacamata anak, saya menyadari bahwa mereka mengalami kesulitan yang sama karena dituntut untuk terlibat dalam lingkungan baru yang mungkin membuatnya merasa terancam dan khawatir tentang apa yang akan ia hadapi dalam ruangan tersebut. 

Oleh karena itu, tidak jarang anak menangis dan menolak pergi ke sekolah karena ia memiliki persepsi-persepsi negatif tentang sekolah baru. Anak yang sejak sebelumnya tidak terbiasa dalam lingkungan asing tentu akan lebih rentan mengalami separation anxiety di sekolah.

Akibatnya, ia cenderung menahan Ibu untuk menemaninya selama belajar di kelas, tidak ingin jauh dari orangtua, sulit bergaul dengan teman-teman sebayanya, dan ekstrimnya tidak ingin disentuh oleh orang lain. 

Separation anxiety merupakan kecemasan yang umumnya ditujukan spesifik terhadap anggota keluarga atau orang terdekat saat anak tidak bersama dengan mereka.

Menurut Schoeder (2002), anak yang mengalami separation anxiety biasanya akan menunjukkan perilaku tertekan dan tidak ingin terpisah dengan figur yang lekat dengan dirinya (orangtua, saudara, atau pengasuh). 

Separation anxiety pada anak terjadi karena pikiran dan perasaannya terhadap perpisahan dengan figur lekatnya seperti sesuatu yang buruk akan terjadi kepada dirinya sendiri atau orang yang disayanginya. Problematika perasaan tersebut tidak bisa diungkapkan oleh anak secara langsung. Oleh karena itu, anak yang sedang berada dalam fase ini cenderung bersikeras tidak mau ditinggal oleh figur lekatnya.

Separation anxiety merupakan hal yang normal dalam masa pertumbuhan dan biasanya terjadi pada anak usia 18 bulan sampai dengan kira-kira 3 tahun. Meskipun normal, namun tetap ada penilaian khusus sebelum mendiagnosis anak anda mengalami separation anxiety. 

Perlu dipahami bahwa anak merasa cemas dan takut adalah hal yang normal selama kadarnya tidak berlebihan. Maksudnya, jika anak anda merasakan kecemasan dan ketakutan berlebihan selama lebih dari 3 minggu, maka anda perlu mempertimbangkan untuk bertemu dengan tenaga profesional. Ditambah dengan munculnya gangguan sakit fisik yang terus-menerus terjadi merupakan gejala lain yang butuh perhatian khusus. 

Sama seperti gangguan kesehatan lain, separation anxiety disebabkan oleh faktor biologis dan lingkungan. Pengaruh gen dari orangtua yang terpapar gangguan kecemasan turut memengaruhi kepada perkembangan emosi anak yang cenderung mengalami separation anxiety. Kondisi biologis lain yang memengaruhi yaitu pengaruh kadar hormon emosi yang tidak seimbang seperti serotonin. 

Disisi lain pengaruh lingkungan memainkan peranan penting. Anak layaknya mesin fotokopi mampu meniru dan menyimpan perilaku orang dewasa di sekitanya. Jika anak dikelilingi oleh  perilaku orang dewasa yang menunjukkan emosi takut dan khawatir berlebihan, maka secara tidak sadar ia pun akan mengikuti perilaku yang sama. Selain itu, pengalaman traumatik juga dapat menimbulkan separation anxiety.

Perpisahan Orangtua-Anak dalam perspektif lain

Perpisahan disini bukan dalam arti yang sebenarnya. Melainkan dalam masa pertumbuhan, anak mengalami masa transisi sesuai tahap perkembangan. Hal ini berarti terdapat tugas-tugas perkembangan yang dijalani olehnya dalam aspek kognitif dan sosial emosional. 

Menikmati setiap tahap perkembangan, anak menyukai kegiatan eksplorasi lingkungan sehingga sering mencoba banyak hal baru yang ia temui entah itu manusia maupun lingkungan lain. Anak akan belajar menemukan koneksi atau hubungan selain dari orangtua. Misalnya, hubungan pertemanan atau dengan dirinya sendiri yang lebih luas dan mendalam. 

Orangtua mengalami masa-masa sulit karena pola hubungan, komunikasi, dan gaya pengasuhan turut berubah mengikuti perkembangan anak.

Akibatnya, orangtua mengalami dilema antara ingin melindungi anak atau membiarkan mereka melakukan kesalahan sebagai bagian dari proses belajar. Mulai usia 5 tahun, anak sudah mampu menyampaikan pendapat pikiran dan perasaannya sendiri, sehingga ia mulai membantah dan berkonflik pendapat dengan orangtua. 

Anak anda mulai menampilkan sisi independen dan peran anda berubah menjadi penasihat. Tentu kecepatan anak berbeda-beda dalam menentukan otoritas atas dirinya sendiri. Hingga saat itu tiba orangtua tetap menjadi kunci penting dalam memberikan pengawasan yang diperlukan oleh anak. 

Dalam kaitannya dengan separation anxiety, pengasuhan orangtua yang otoriter tidak disarankan untuk anak yang mengalami atau menunjukkan gejala separation anxiety. 

Sebaliknya, pola asuh otoritatif yang lebih interaktif dan demokratis dapat membantu anak untuk perlahan menghadapi problem emosionalnya. Orangtua yang terbuka mau mendengarkan dan berkompromi dengan anak akan terbantu untuk lebih memahami apa yang dialami oleh anak.  

Selain sekolah, lingkungan lain yang mungkin dapat menjadi stresor separation anxiety adalah kegiatan menginap di rumah teman atau terpaksa jauh untuk beberapa hari dari orangtua yang sedang dalam perjalanan bisnis pekerjaan. 

Kegiatan yang disukai oleh teman-teman sebayanya, ternyata menjadi kejadian yang mengancam bagi anak. Anak dengan separation anxiety bisa saja mengalami kesulitan tiduran dan mimpi buruk karena emosi negatifnya yang tidak bisa ia kendalikan sehingga tertekan ke alam bawah sadar. 

Menurut saya, kedekatan emosional antara orangtua dan anak adalah elemen penting dalam kecemasan yang timbul. Orang awam, bisa saja berpendapat jika situasinya dibiasakan maka tidak akan menjadi masalah besar di kemudian hari.

Namun, bagi orangtua dan anak dengan separation anxiety yang tidak mendapatkan penanganan tepat sejak dini tentu menjadi tantangan jangka panjang. Dalam kasus ekstrim, separation anxiety bisa berlangsung hingga remaja dan dewasa. 

Karakter orangtua yang suportif dan tegas terhadap momen kecemasan dan ketakutan yang dirasakan oleh anak, bisa menjadi pintu awal keterbukaan komunikasi antar keduanya. Tegas tidak diartikan sebagai memarahi atau menanggapi tantrum anak dengan serius. Lebih daripada itu, validasi perasaan dan bekerjasama dengan mencari solusi adalah jalan terbaik. 

Misalnya, anak takut ke sekolah karena belum menyelesaikan tugas sekolah. Orangtua bisa mencari solusi dengan konsultasi lebih lanjut dengan guru yang bersangkutan guna menyelesaikan masalah tersebut dengan tetap melibatkan anak. 

Sigap mengenali stresor anak jika ia cemas ke sekolah seperti ketakutan pada guru tertentu, tes, bully, dan lain sebagainya perlu dimonitori oleh orangtua.

Saya percaya bahwa para guru juga memiliki strategi jitu untuk membuat anak nyaman di lingkungan sekolah sehingga orangtua terbantu olehnya. 

Kedekatan emosional yang kuat antara anak dengan keluarga dan orang terdekatnya merupakan bukti besarnya rasa sayang dan kepeduliannya. Oleh karena itu, kelebihannya tersebut perlu diapresiasi dan dihargai. 

Di sisi lain, anak rentan tidak mudah percaya pada orang lain diluar dari lingkungan yang aman dan nyaman baginya. Banyak program terapi yang bisa membantu anak dengan separation anxiety yaitu Cognitive Behavioral Therapy (CBT), family therapy, dan konsumsi obat antidepresan dan antikecemasan. 

Dari sudut pandang saya, membantu anak menghadapi serta mengendalikan perasaan takut dan cemasnya merupakan pilihan terbaik untuk kehidupannya jangka panjang.

Oleh sebab itu, peran integral keluarga dan sekolah  sebagai satu kesatuan perlu solid untuk memberikan penanganan ekstra. Sesekali mendorong dan mendampingi anak dalam lingkungan yang berbeda dapat membantunya untuk beradaptasi perlahan sesuai kecepatannya. Perjalanannya memang memakan waktu yang lama tapi sangat berdampak pada kehidupan anak di masa depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun