Remaja hanya butuh didengar dan dimengerti karena sesungguhnya mereka juga bingung dengan dirinya sendiri - SM, 2023
Kesehatan mental telah menjadi perhatian kita bersama sejak beberapa tahun terakhir. Terhitung sejak pandemi mulai, kesehatan mental menjadi hal yang krusial dan rentan mengalami gangguan. Gangguan mental adalah tanda ketidakmampuan manusia menghadapi kenyataan yang ada dalam hidupnya. Gangguan mental terjadi karena berbagai faktor internal maupun eksternal seperti genetik, riwayat kesehatan fisik, ekspektasi yang tidak tercapai, hingga kurangnya kecakapan mengelola emosi.Â
Berbicara tentang gangguan mental berarti terkait dengan proses mental manusia. Dalam ilmu psikologi, proses mental diartikan sebagai peran kognitif yang mengarahkan perilaku manusia seperi pengambilan keputusan, memori, perasaan, persepsi, dan lain sebagainya. Bisa dibayangkan jika seseorang mengalami gangguan mental maka ia berada dalam situasi tidak stabil secara kognitif sehingga membutuhkan bimbingan dan dukungan dari orang lain.Â
Remaja Rentan Mengalaminya
Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) dalam laporan surveinya pada tahun lalu melampirkan temuan utama sebanyak satu dari tiga remaja (34,9%) setara dengan 15,5 juta remaja di Indonesia memiliki satu gangguan kesehatan mental dalam 12 bulan terakhir. Temuan lainnya yang tidak kalah mengejutkan yaitu sebanyak satu dari dua puluh remaja (5,5%) setara dengan 2,45 juta remaja mengalami satu gangguan kesehatan mental dalam 12 bulan terakhir.Â
Survey dilakukan pada anak usia 10-17 tahun dengan gangguan kecemasan sebagai gangguan kesehatan mental yang dominan dialami remaja laki-laki dan perempuan. Gangguan kecemasan sebagai gangguan kesehatan umum dialami remaja berdampak pada hidup mereka yang lain seperti kesulitan berteman, sulit konsentrasi dan fokus belajar, hilangnya motivasi, sulit tidur, dan mengembangkan self-image negatif terhadap diri sendiri.Â
Menurut Erik Erickson, pencetus teori psikososial terdapat 6 tahapan yang dilewati oleh anak yaituÂ
- Percaya vs Curiga
- Otonom vs Ragu-Ragu
- Inisiatif vs Rasa Bersalah
- Percaya Diri vs Rendah Diri
- Identitas vs Kekacauan Peran
- Keintiman vs Isolasi
Dijelaskan bahwa kesuksesan pada setiap tahapan menentukan keberhasilan di tahap selanjutnya. Menggunakan pandangan teori ini, anak usia remaja berada di tahapan Identitas vs Kekacauan Peran.
Pada masa ini, anak remaja anda sedang dalam proses mencari jati diri yang berarti ia rentan melakukan kesalahan, trial error, mengalami kegagalan, frustasi, stres, dan lain sebagainya. Peran teman sebaya dalam kelompok usianya menjadi sangat kuat bahkan tidak jarang melebihi peran orangtua. Anak remaja anda cenderung ingin diterima dan diakui keberadaan dirinya sebagai remaja yang mampu bertanggungjawab dan bisa dipercaya. Sedangkan, anda sebagai orangtua sering mengalami pergolakan batin berhadapan dengan anak remaja yang berdasarkan pandangan anda sebagai orangtua rentan melakukan kenakalan dan sulit diatur.Â
Masa-masa transisi anak dari usia anak-anak menuju remaja tidak mudah bagi mereka. Pengaruh hormonal karena masa pubertas menyebabkan mereka rentan tidak stabil secara emosional. Selain itu, remaja anda mulai mengembangkan ekspektasi dan harapan terhadap dirinya sendiri. Ekspektasinya tersebut dipengaruhi oleh nilai-nilai yang ia internalisasikan dari pola asuh keluarga yang menimbulkan konflik ketika dipadukan dengan nilai-nilai sosial pergaulan yang bertolakbelakang. Disinilah muncul pergolakan emosi yang dan batin pada remaja. Disatu sisi mereka ingin mendapatkan kebebasan dan disisi lain terikat dengan ekspektasi dan harapan orangtua, keluarga, dan lingkungan pergaulan.Â
Kondisi Remaja dengan Disabilitas MentalÂ
Menurut World Health Organization (WHO), disabilitas mental adalah bentuk dari lemahnya kondisi mental seseorang ditandai dengan gejala stress, masalah psikososial, dan timbulnya perilaku beresiko. Jika anak remaja anda sering mengeluh sakit fisik dan pemeriksaan dokter tidak menunjukkan adanya gangguan, maka itu adalah tanda remaja anda membutuhkan bantuan kesehatan mental.Â
Tanda lainnya seperti mudah merasa cemas, takut berada di lingkungan sosial, kondisi emosi yang berubah-ubah dalam intensitas tidak wajar, menarik diri dari lingkungan, dan mudah panik tiba-tiba. Pada hakikatnya, remaja yang mengalami gejala-gejala diatas tidak ingin mengalaminya dan mereka juga berusaha untuk mengontrolnya. Jadi, pastikan untuk tidak menghakimi atau menganggap enteng kondisi emosional mereka tersebut.Â
Misalnya, remaja yang mengalami gangguan kecemasan diasosiasikan dengan rasa takut dan khawatir yang tidak normal dan terlampau batas. Jika ditanya, mereka juga kesulitan menjelaskan apa yang menyebabkan mereka merasakan hal demikian. Kembali lagi pada tahap psikososial Erikson, remaja sedang mencari jati diri dan mengalami kekacauan peran. Kemiripan gejala-gejala emosional dengan intensitas tidak wajar juga dapat memberikan informasi kepada orangtua mengenai gejala gangguan kesehatan mental yang berbeda seperti depresi, gangguan bipolar, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, orangtua perlu mempertimbangkan sejauh mana kondisi anak remaja anda membutuhkan bantuan tenaga profesional alih-alih melakukan diagnosis sendiri yang sesat pikir.Â
Remaja Membutuhkan Orang Dewasa
Remaja dalam masa pencarian jati diri cenderung nekat melakukan hal-hal yang menantang dan menggugah adrenalin karena mereka akan merasa puas dan senang. Banyak hal baru yang ingin mereka coba untuk membuktikan bahwa dirinya bukan lagi anak-anak.Â
Menghadapi anak remaja yang labil mengharuskan kita sebagai orang dewasa untuk tetap tenang. Tantangan yang berat bukan? Yang bisa orang dewasa lakukan adalah berada di sekitar remaja, bertindak minimal, dan tetap mengawasi.Â
Jadikan peran orang dewasa sebagai lingkungan yang aman dan tidak mengintimidasi guna untuk membangun rasa percaya dan keterbukaan remaja. Dalam masa-masa transisi masa remaja, anak dan orangtua sama-sama mengalami kebingungan bagaimana cara menghadapi satu dengan yang lain. Pola komunikasi yang kacau dan sulitnya keterbukaan rentan terjadi.Â
Kesimpulannya, lingkungan sosial yang mendukung dan memfasilitasi perkembangan remaja mengeksplor dirinya sendiri sangat penting untuk menunjang keberhasilan pencarian jati dirinya. Peran sekolah sebagai lembaga pendidikan disarankan mulai mempertimbangkan untuk mengajarkan strategi coping stress kepada anak-anak sejak dini sebagai salah satu tools yang dapat membantu remaja meregulasi emosinya sendiri.Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H