Sineas kembali mewarnai perfilman Indonesia yang sempat redup. Tak jarang film-film tersebut tembus ke kancah internasional berkat alur yang disuguhkan serta sederet nama yang membintanginya. Namun, baru-baru ini film "Like and Share" diboikot massa akibat kasus yang melibatkan salah satu pemerannya. Tidak hanya itu, pernyataan yang diberikan oleh agensi pemeran tersebut seolah menjadi bumerang untuk kian dibanjiri cercaan. Apakah dunia hiburan Indonesia harus segera menerapkan cancel culture? Â Â Â Â
Bagaikan Dewa, Publik Figur Jadi Cerminan Publik Â
Widyatmoko (2011) dalam Dramaturgi Kalangan Publik Figur mendiktekan bahwa hakikatnya publik figur merupakan sosok yang dikenal masyarakat luas melalui karya yang ditorehkannya ke publik.Â
Sejalan dengan penuturan Widyatmoko, Praktiko (1982) memandang terdapat tiga kriteria yang harus dimiliki agar seseorang layak disebut sebagai publik figur. Kriteria tersebut mencakup kepercayaan publik (credibility), kekuatan untuk mempengaruhi atau menjadi tauladan bagi publik (power), serta daya tarik dalam bentuk karakter ataupun fisik (attractiveness).Â
Tentu publik figur pun masih bagian dari manusia biasa yang dapat melakukan kesalahan. Akan tetapi, ada beberapa kesalahan yang dinilai fatal dan tidak ditolerir oleh publik.Â
Oleh karena itu, kini publik mulai marak menggunakan cancel culture sebagai upaya mendisiplinkan tindakan tercela yang diperbuat oleh publik figur. Secara harfiah, cancel culture diartikan sebagai upaya massa memboikot atau menggugat publik figur bersamaan dengan karya yang dihasilkannya akibat kesalahan fatal yang dilakukan publik figur tersebut tidak mampu ditolerir publik, biasanya menyangkut tindakan asusila.
Kesalahan Fatal yang Mengaburkan Segudang Prestasi
Korea Selatan menjadi negara yang paling terkenal dalam melanggengkan fenomena cancel culture. Salah satu drama yang harus mengulang seluruh produksinya adalah River Where The Moon Rises.Â
Skandal pelecehan yang menyeret nama Kim Ji Soo tersebut mengundang respons negatif dari berbagai pihak. Nama Kim Ji Soo dalam sekejap tercoreng, bahkan mendapatkan cancel culture baik dari fans lokal maupun internasional. Tim produksi River Where The Moon Rises akhirnya berani mengambil langkah tegas dengan menggantikan peran Kim Ji Soo demi melanjutkan proses syuting yang sempat molor akibat kasus salah satu pemerannya.
Berkaca dari kejadian tersebut, film Like and Share bernasib sama dengan River Where The Moon Rises. Berbeda dengan langkah yang diambil Yun Sang Ho, Ginatri S. Noer justru tidak acuh pada isu yang sedang menerpa salah satu pemerannya dan memilih melanjutkan penayangannya di seluruh teater Indonesia.Â
Alhasil, banyak netizen yang beramai-ramai mempropagandakan untuk tidak menonton sama sekali film yang mengangkat isu kekerasan seksual tersebut. Kendati isu yang dimuat dalam film tersebut sangatlah esensial, hal itu tidak menghentikan amarah publik pada Arawinda. Film "Like and Share" di-cancel dan sepi peminat.Â
Terbukti dari cuitan @aajenocuy yang berisi, "Kemaren ketemu dia di bioskop, Filmnya sepi sama biasanya kan kalo ada artis filmnya, fans-fansnya pada nungguin ya. Tapi ini sepi. Padahal di belakang dia sampe ada bodyguard nya 2 wkwk" Â
Skandalnya tidak hanya berdampak pada film yang sedang tayang, tetapi juga film terdahulu yang ia perankan turut terkena imbasnya. Rating film "Yuni" menukik tajam setelah netizen berbondong-bondong memberikan dislike. Jumlah penonton yang seret mengakibatkan agensi Arawinda harus turun tangan. Sayangnya bukan meluruskan kejadian sebenarnya, agensi justru berkilah dengan membalikkan fakta sebenarnya.Â
Pernyataan yang sempat dirilis tersebut dihapus lantaran banyaknya komentar pedas yang dilayangkan pada agensi dan talent. Sampai hari ini, polemik Arawinda masih belum surut diperbincangkan di Twitter. Bukan hanya Arawinda, tetapi juga seluruh talent dan agensi KITE Entertainment mulai di-cancel satu persatu oleh publik.Â
Industri Hiburan Indonesia Butuh 'Cancel Culture'Â
Beringasnya cancel culture mampu berdampak besar pada bagian belakang produksi, mulai dari kerja keras kru film hingga membakar hangus dana yang sudah dikeluarkan. Namun, justru itulah yang harus diperhatikan pemeran juga sutradara untuk lebih berhati-hati dalam bertindak.Â
Cancel culture dipandang sebagai pilar dalam meningkatkan kesadaran sineas atau pihak lain seperti pengiklan untuk tidak mempekerjakan publik figur "bermasalah". Selain akan berdampak pada seluruh proses produksi, publik akan menormalisasikan kesalahan-kesalahan amoral yang dilakukan publik figur tersebut, mengingat wajahnya masih eksis di berbagai platform.Â
Cancel culture berlaku di beberapa kasus, terutama yang sudah melibatkan pada kekerasan, persundalan, serta tindak immoral lainnya. Namun publik pun perlu cermat dalam menilai, jangan sampai termakan berita bohong (hoax) dan malah tenggelam dalam mob mentality.Â
Bahaya cancel culture mampu melenyapkan karir yang sudah dibangun publik figur sejak lama hanya dalam sekejap. Budaya cancel culture tidak dapat digeneralisir baik atau buruk. Tidak semua masalah mesti ditangani dengan main hakim sendiri. Tentu ini tergantung dengan konteks permasalahan yang melibatkan publik figur tersebut.Â
Kasus yang disinggung tersebut dapat menjadi pelajaran bahwa sineas harus lebih bersikap profesional. Tidak hanya mengandalkan bakat, tetapi juga perlu adanya pendidikan moral yang diajarkan pada talent-nya. Dunia hiburan Indonesia harus mulai menyeleksi publik figur, sehingga iklim entertainment dapat meminimalisir dinormalisasikannya tindak asusila yang dilakukan publik figur.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H