Bentuk negara yang awalnya kesatuan berubah menjadi serikat. Dan sistem pemerintahan berubah dari presidensil menjadi quasi parlementer. Kedua, pergantian hukum ketatanegaraan RIS dengan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 pada saat waktu 17 Agustus 1950 hingga dengan 1 Juli 1959.Â
Pada masa pemerintahan ini, bentuk negara berubah kembali menjadi negara kesatuan dan sistem pemerintahan menjadi sistem parlementer. Sehingga bisa disimpulkan bahwa pada periode 1949 hingga 1959, Indonesia menganut demokrasi Parlementer.Â
Pada saat demokrasi parlementer di Indonesia, terdapat perwujudan demokrasi dalam bidang politik yang dapat diketahui, yaitu:
1. Pada proses politik yang bergerak, lembaga perwakilan rakyat atau parlemen memainkan peran yang sangat tinggi sehingga membuat kabinet harus mengundurkan jabatan meskipun pemerintahanannya baru bergerak selama beberapa bulan.
2. Pertanggungjawaban pemegang jabatan dan politisi pada umumnya sangat tinggi
3. Sistem multipartai yang diberlakukan membuat partai mendapatkan peluang yang besar dan dapat berkembang secara maksimal.
4. Pelaksanaan pemilihan umum pada tahun 1955 yang dilakukan dengan prinsip demokrasiÂ
5. Hak-hak masyarakat yang tidak dibatasi, meskipun tidak semua masyarakat bisa menggunakannya dengan maksimal.
6. Daerah-daerah mendapatkan otonomi yang cukup dengan asas desentralisasi sebagai pijakan untuk mengantur hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah
Keenam poin tersebut merupakan ukuran dalam perwujudan demokrasi parlementer. Akan tetapi, perwujudan tersebut hanya dapat bertahan selama sembilan tahun bersamaan dengan dikeluarkannya dekrit oleh Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante dan kembali kepada UUD 1945. Presiden
Soekarno memandang bahwa demokrasi parlementer tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang mempunyai semangat gotong royong sehingga beliau memandang bahwa sistem demokrasi ini telah gagal mengadopsi nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia.Â