Mohon tunggu...
Sella Nur Fauziah
Sella Nur Fauziah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

menulis adalah suatu kenikmatan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Transformasi Demokrasi Digital

11 Februari 2022   02:21 Diperbarui: 11 Februari 2022   02:34 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semenjak diperkenalkannya mesin cetak di Eropa pada per-tengahan abad ke-15, teknologi komunikasi yang menggunakan mesin telah memengaruhi pembentukan identitas politik . Perkembangan teknologi komunikasi yang kemudian diikuti dengan kemajuan dalam teknologi informasi memberikan warna baru. 

Menurut Leggewie dan Bieber, kebebasan memperoleh atau memberikan informasi secara efektif lebih penting daripada potensi mendapatkan akses dalam proses politik digital. Keberadaan media dan teknologi dinilai sebagai pembaharuan atas "demokrasi langsung ala Athena." 

Demokrasi Athena memerlukan suatu komitmen umum terhadap prinsip kebijakan kewarganegaraan: pengabdian kepada negara kota republik dan ketundukan kehidupan pribadi terhadap masalah-masalah publik dan kebaikan bersama. Ranah publik dan privat terjalin berkelindan. Rakyat (demos) terlibat dalam fungsi-fungsi legislatif dan pengadilan, sebab konsep kewarganegaraan Athena menuntut keikutsertaan mereka dalam fungsi-fungsi ini, dengan berpartisipasi langsung dalam masalah - masalah negara.

Bagi kehidupan politik di berbagai negara. Teknologi informasi dan komunikasi menyediakan akses lebih luas terhadap informasi dan kemampuan warga negara dalam merefleksikan aspirasinya di luar lingkup individu. 

Masyarakat informasi yang dihasilkan oleh kemajuan teknologi mulai bergerak membentuk ruangruang publik virtual sebagai sarana merepresentasikan kehendak dan menyatakan eksistensi mereka. Keberadaan teknologi-teknologi baru tersebut mengundang kita berpikir ulang mengenai demokrasi di era digital, yang akan dibahas dalam paparan berikuT. kehidupan demokrasi telah termediasi sedemikian rupa. 

Tidak lagi hanya termediasi oleh media massa konvensional, seperti media massa cetak dan elektronik, namun demokrasi telah termediasi oleh new media, Internet. Misalnya even 101 Pilkada Serentak 2017. 

Kehadiran media baru (new media) telah mengubah moda berbagai aspek kehidupan manusia secara cukup signifikan, mulai dari aktivitas politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. 

Dalam kehidupan politik misalnya, kehadiran media baru telah menyodorkan fenomena baru, yaitu apa yang dikenal sebagai demokrasi digital. Bahkan dalam banyak kasus diakui bahwa kehadiran internet misalnya, telah menjadi salah satu faktor diterminan terhadap proses demokratisasi politik.

 Fenomena politik di kawasan Timur Tengah misalnya, terjadi hembusan demokratisasi yang dikenal dengan istilah "Musim Semi" demokrasi, yang ditandai tumbangnya rezim otoriter mulai dari Muammar Khadafi di Libia, Husni Mubarak di Mesir, dan Sadam Husein di Irak serta beberapa negara lain seperti Tunesia, Aljazair, dan Syria yang masih terus bergolak. Kehadiran internet terbukti memberikan kontribusi cukup signifikan terhadap runtuhnya rezim otoriter dan sekaligus menghembuskan harapan baru percepatan demokratisasi.

Di Indonesia internet juga cukup berperan dalam mengakhiri pemerintahan otoritarian era Orde Baru, yang kemudian menjadikan Indonesia masuk dalam jajaran negara yang mengalmi transisi demokrasi. Berkat internet pula yang kemudian memberikan sumbangan terhadap upaya-upaya penerapan good gacernance, atau tata kelola pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan paritisipatif. 

Dalam perkembangan lebih lanjut, internet pula yang kemudian mendorong kelas menengah tampil sebagai lokomotif demokrasi dengan tampil sebagai netizen yang mengawal demokrasi. APJII (2016) mencatat adanya kenaikan masif pengguna internet sebesar 88,01 juta jiwa dari sekitar 250 juta jiwa penduduk In donesia. Mayoritas internet diakses melalui perangkat bergerak, seperti telepon pintar sebesar 85 persen berbanding 13 persen dengan laptop/komputer.

Pada awalnya cyberdemocracy dibayangkan beroperasi pada seluruh ruang cyber. Hal itu didasari oleh asumsi optimisme bahwa internet pada hakikatnya merupakan ruang publik, yakni, ruang di mana kebebasan informasi lahir dan hadir dengan kondisi sehat, universal dan kuat. 

Hanya saja, terkait dengan mulai berlangsungnya proses pembagian atau 'pengkavlingan' ruang cyber pada macammacam situs dan kanal atau kolom dengan berbagai kategorinya, seperti situs jenis organisasi layanan publik, komersial, politik, komunitas, dan jejaring sosial, cyberdemocracy lahir, hadir dan berkembang dalam karakteristik ruang yang berbedabeda pula. 

Misalnya, cyberdemocracy yang hadir dan berkembang di situs jejaring sosial, seperti Facebook dan Twitter, akan memiliki perbedaan dengan konfigurasi cyberdemocracy yang hadir dan berkembang pada situs politik, seperti situs pemeritah, situs legislatif dan situs partai politik.

Bila merujuk pada konsep demokrasi di ruang offline, persoalan tidak berhenti dan selesai di sana, malah semakin problematis. Hal itu terutama bila dikaitkan dengan konsep demokrasi apa, mana dan siapa yang dirujuknya. Namun demikian, lepas dari konsep apa, konsep mana dan konsep siapa yang menjadi rujukan, pengetahuan yang bisa diambil dan digunakan di sini, merujuk pada Jean Boudrillard (1983), adalah bahwa cyberdemocracy sebagai representasi demokrasi offline. 

Hal sebaliknya bila dikatakan bahwa cyberdemocracy tidak merujuk pada realitas dan konsep apapun, namun merujuk pada dirinya sendiri, maka cyberdemocracy merupakan sebuah simulasi atau simulakrum. 

Cyberdemocracy yang berbeda dengan rujukan awalnya di ruang offline itu, ataupun tidak merujuk pada apapun, Menurut Mark Poster, sebagaimana disinggung terdahulu, sebagai "sesuatu yang lain". Memang banyak sekali konsep demokrasi di ruang offline, ia cenderung bermakna konotatif, variatif, evolutif, dan dinamis. 

Oleh sebab itu, demokrasi sebetulnya bukanlah konsep yang mudah dipahami. Demokrasi bermakna variatif karena sangat bersifat interpretatif. Sedangkan demokrasi sebagai konsep evolutif dan dinamis, artinya konsep demokrasi selalu mengalami perubahan, baik bentuk-bentuk formalnya maupun subtansialnya sesuai dengan konteks dan dinamika sosio historis di mana konsep demokrasi lahir dan berkembang. 

Karena argumen inilah, dari waktu ke waktu, demokrasi senantiasa diperdebatkan, terutama dalam perkara: Apakah demokrasi bersifat 'universal' ataukah 'partikular/ local Berbagai model demokrasi komunikatif yang didukung sarana virtual atau digital bermunculan dewasa ini, mulai dari web partai, kampanye online, hingga m-voting. 

Apapun bentuknya, demokrasi digital tersebut bermaksud menyediakan akses informasi dengan beragam rupa, menyediakan ruang publik yang menjadi prasyarat bagi sebuah tatanan demokrasi, dan interaksi memadai antara warga negara dengan pemerintah, maupun antarsesama warga negara. 

Walaupun kehadiran demokrasi digital seolah bisa mendeterminasi kelemahan cara demokrasi manual, bukan berarti model ini tanpa kekurangan sama sekali. Patut dipertimbangkan aplikasinya dalam masyarakat kelak.

Apakah informasi yang tersedia di dunia maya benarbenar berkualitas dan dapat diakses tanpa kendala oleh setiap individu dimana dan kapan saja? Atau apakah ruang publik virtual yang dihadirkan oleh media digital justru akan menjadi potensi konflik baru? 

Hal lain yang juga perlu diperhatikan dalam penerapan demokrasi digital adalah aktor-aktor sosial dan budaya politik setempat. Penerapan teknologi informasi di satu sisi memungkinkan terjadinya perluasan partisipasi lewat komunikasi politik yang terjalin. 

Tetapi di sisi lain kesuksesan penerapannya juga bergantung pada kapasitas pihak-pihak yang terlibat di dalamnya dan kemampuan negara untuk mengontrol keberadaan saluran demokrasi digital. Secara umum dapat dikatakan bahwa keberadaan teknologi informasi dan komunikasi merupakan bentuk dinamis yang merespon budaya demokrasi di suatu negara. 

Oleh karena itu komitmen yang sungguhsungguh dari setiap elemen diperlukan untuk mendukung keberadaan demokrasi digital demi mewujudan tatanan kehidupan bernegara yang lebih demokratis. yang tidak semata dilihat dari perspektif literasi digital, tapi juga etika.

Perhatian secara luas telah diberikan oleh para sarjana dan masyarakat sipil di Indonesia terkait dengan literasi digital sebagaimana diprakarsai diantaranya oleh Japelidi, tapi tidak demikian dengan etika media sosial. 

Oleh karena itu, dua jalur pemberdayaan para pengguna media sosial melalui literasi digital dan etika adalah keharusan untuk menciptakan suatu tatanan komunikasi di media sosial yang jauh lebih positif. Studi-studi etika komunikasi di media sosial karenanya harus berjalan seiring dengan studi-studi dan gerakan literasi digital. Hal itu karena baik literasi digital maupun etika mempunyai tujuan yang berbeda. 

Tujuan literasi demi meningkatkan kapasitas pengguna dalam menggunakan media sosial secara kritis, sedangkan etika menuntun pengguna untuk selalu reflektif dalam berkomunikasi. Etika memandu para pelaku komunikasi untuk selalu mempertimbangkan komunikasi apakah sesuai dengan norma dan memberi manfaat ataukah tidak

DAFTAR PUSTAKA

  • LITERASI DIGITAL DAN ETIKA MEDIA SOSIAL DI ERA POST-TRUTH . Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 8, No. 2, Desember 2019, pp.24 - 35 ISSN 2310-6051 (Print), ISSN 2548-4907
  • Lihat Habermas, J, 2010, Ruang Publik: Sebuah Kajian Tentang Kategori Masyarakat Borjuis, Yogyakarta: Kreasi Wacana. 9 Hartley, J., 2010, Communication, Cultural, & Media Studies: Konsep Kunci, Yogyakarta, Jalasutra., hal. 268-269
  • Suhelmi, A, 2001, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hal. 297
  • Held, David. 2004. Demokrasi dan Tatanan Global Dari Negara Modern hingga Pemerintahan Kosmopolitan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
  • Leggewie, Claus dan Christoph Bieber. Demokrasi Interaktif. Komunikasi Politik melalui Online dan Proses- Proses Politik Digital

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun