Lagi asyik nonton bareng pertandingan Timnas U-20 Indonesia versus Vietnam, salah satu tetangga saya tiba tiba nyeletuk. "Ganjar gak diundang Puan lagi tuh di Semarang". Nadanya nyinyir.
Saya mengangkat bahu dan membalas tawa kecil. Bukannya berhenti dan fokus pada pertandingan sepak bola yang menegangkan, dia masih saja membahasnya.
"Apa Ganjar nggak kecil hati dengan sikap dedengkot dan antek Puan Maharani di PDIP yang terus mengucilkannya? Masak di rumah sendiri, untuk kedua kalinya dia nggak diundang sih?"
"Padahal itu semua kepala daerah yang dari PDIP diundang lho. Ada daftar undangannya. Tapi gak ada nama Ganjar. Bener-bener nggak dianggep tuh gubernur".
Persis dia berhenti nyerocos, Marselino berhasil menggolkan bola ke gawang Vietnam. Hip hip, hore! Meski enam menit kemudian harus kembali deg-degan karena terjadi gol bunuh diri yang menyamakan kedudukan Indonesia vs Vietnam.
Di tengah pertandingan yang memanas, komentar tetangga malah bikin makin gerah. Akhirnya saya merasa harus menanggapinya. Karena dia bilang, paling nanti Ganjar pindah partai tuh buat nyapres.
Ganjar nggak akan pindah, dia loyalis PDIP. Tegak lurus pada Megawati. Nah yang bikin dia dikucilkan ya karena nyata kerjanya. Makanya masyarakat pun jatuh cinta dan bikin dia jadi mentereng. Sinar itu menyilaukan bagi Puan. Ya kira-kira gitu argumen saya.
Buktinya Ganjar tenang-tenang saja dan fokus bekerja. Sangat gentleman. Tidak goyah. Dia tegak berdiri sekokoh karang. Meski deburan ombak kencang menghantam. Padahal sah-sah aja kalau dia mau caper dan playing victim setelah dibegitukan.
Suasananya sama seperti ketika pertama kali Ganjar tak diundang dalam acara pengarahan Puan Maharani kepada seluruh kader di Jawa Tengah untuk penguatan soliditas menuju Pemilu 2024.
Acara pada bulan Mei lalu itu, juga  seluruh kepala daerah di Jateng dari PDI Perjuangan, anggota DPR tingkat pusat, provinsi hingga kabupaten/kota.