Mohon tunggu...
Seliara
Seliara Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Dentist

Bahagia berkarya dan berbagi sebagai wujud rasa syukur

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Momiji, Diary Cinta dari Negeri Sakura (1)

2 Desember 2021   08:41 Diperbarui: 2 Desember 2021   08:49 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemandangan alam saat musim gugur dengan latar belakang Gunung Fuji | sumber: liburankejepang.com

Dear Diary,

Aku tak menyangka bahwa detik demi detik melepas si bungsu kuliah, sangat beda rasanya dengan saat aku melepas si sulung. Setelah aku pikir-pikir, mungkin karena lokasi kuliah si sulung di Bandung, masih relatif mudah terjangkau. Selain itu si sulung tidak sendiri, di kampusnya ada banyak teman sekolahnya dulu yang kuliah di kampus yang sama. Dan satu lagi, saat si sulung pergi, di rumah masih ada si bungsu yang mesti kami urusi.

Sementara kali ini, kegalauanku mungkin karena si bungsu akan kuliah di tempat yang cukup jauh. Si bungsu diterima kuliah di Tohoku University, Sendai, Jepang. Kebetulan dari sekolahnya hanya dia yang akan berangkat, jadi dia akan benar-benar sendiri. Dan dengan kepergian si bungsu kali ini, lengkaplah kepergian kedua anakku. Telah datang masanya bagi anak-anakku untuk terbang tinggi, mengepakkan sayap menembus cakrawala, membangun sarangnya sendiri. Jauh dari sarang sederhana yang telah membesarkannya selama ini. Sudah saatnya mereka mandiri, belajar bertanggungjawab mengurus dirinya sendiri.

Masa peralihan itu cukup menimbulkan galau yang mendera. Sementara aku tahu, aku harus mulai menata hati menjalani hari-hari tanpa anak-anak di sisi. Tak ada pilihan lain, akhirnya aku mencoba untuk menguatkan hati. Tepat sebulan sebelum si bungsu pergi, secara spontan aku curhat pada seseorang yang belum lama aku kenal tapi terasa begitu dekat. Seorang sahabat baik dari sahabat baikku. Beliau seorang penulis yang sudah menulis 53 buah buku dalam rentang waktu 6 tahun. Benar-benar seorang penulis yang produktif. Beliau adalah Uni Rita Audriyanti. Ternyata Uni Rita pernah punya pengalaman yang sama persis dengan yang sekarang aku alami. Kesedihan dan hujan air mata saat putra bungsu beliau akan melanjutkan sekolah pilot di Melbourne. Segala warna rasa ikut merona, baik saat melakukan persiapan-persiapan, mengantar keberangkatan sang putra, menemani tinggal beberapa hari di sana sampai pulang kembali ke Malaysia (keluarga Uni Rita tinggal di Malaysia). Semua kesedihan, rasa kehilangan, kesadaran melepaskan, tertuang indah dalam buku beliau “Hati yang Selesai, Catatan dari Melbourne.” Dan jujur pertemuan dengan Uni Rita itu sangat membantuku menata hati.

Kadang aku heran sendiri, sejak mendengar kabar si bungsu diterima kuliah di Jepang, ada rasa campur-campur di hatiku. Tiba-tiba aku bisa merasa melow sendiri, nangis sendiri, sedih, hampa, sepi,  rasanya aku tak ingin berpisah dengannya, rasanya begitu cepat dia pergi. Rasanya baru kemarin mengajarinya membaca dan menulis, menemani mengerjakan PR, mengecek hafalan juz 30, nonton film bersama, praktek masak bersama serta keseruan-keseruan lain yang sering kami lakukan bersama.

Seharusnya aku lebih kuat karena selama tiga tahun ini si bungsu sekolah berasrama. Paling tidak aku sudah terbiasa tidak bertemu dengannya setiap hari. Tapi tetap saja beda. Saat di asrama aku masih bisa menemuinya kapan saja. Bila dia menelepon sedang sakit, dengan cepat aku bisa mengunjunginya. Sementara ini? Jakarta-Tokyo butuh waktu 7 jam, Tokyo-Sendai perlu 2-3 jam tergantung tranportasi apa yang kita gunakan. Tidak ada pesawat yang direct ke Sendai, minimal transit satu kali.

Ketika aku tanya, nanti kalau sakit bagaimana? Dengan santai dan tertawa dia menjawab, “Sakit ya berobat, kan di sana banyak dokter,” jawabnya tanpa beban. Oh ya Allah, bahkan anakku sudah jauh lebih siap daripada aku.

Di satu sisi harusnya aku bahagia dan bersyukur, anakku sudah punya pilihan untuk masa depannya. Dan dia juga sudah bekerja keras dan berjuang dengan sekuat tenaga untuk menggapai cita-citanya itu. Setelah beberapa kali mengalami kegagalan, setelah satu demi satu kekecewaan menghampiri dirinya. Saat itu anakku dengan gigih berjuang apply ke beberapa universitas di luar negeri yang menjadi pilihannya. Sebagai orang tua, aku dan suami hanya mendukung dan mendoakan yang terbaik. Hasil dari semua usahanya itu kami kawal dengan doa-doa tanpa henti, dalam kepasrahan memohon diberikan universitas yang terbaik demi masa depan dunia dan akhiratnya.

Rasa sedih dan air mata masih kerap mendera. Bukannya aku tidak bersyukur dan bahagia, anakku pergi demi cita-cita mulia, menuntut ilmu mewujudkan mimpi-mimpinya menjadi manusia yang lebih bermanfaat. Mungkinkah ini cara Allah menjawab doa-doa kami? Mengingat kemauan si bungsu untuk kuliah di luar negeri sangat kuat, meski dengan syarat yang relatif berat. Si bungsu sudah paham, untuk bisa mewujudkan kuliah di luar negeri dia harus berjuang mendapatkan full scholarship. Sementara mendapatkan beasiswa penuh untuk program S1 bukanlah hal mudah. Alhamdulillah si bungsu berhasil mendapatkannya dari MEXT selama 4 tahun (sampai lulus) tanpa ikatan. Nah, beasiswa ini pun membuat aku bangga dan sedih. Sedih … ada rasa yang hilang, karena anakku sekarang bukan kami orangtuanya yang membiayai. Dari sisi orang tua, bisa mencukupi kebutuhan anak adalah rasa syukur dan kebahagiaan tersendiri. Sementara dari sisi anak, bisa mendapatkan beasiswa artinya bisa meringankan beban orang tua, dan itu pun menjadi kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri.

Si bungsu bilang dia akan hemat, akan masak dan menabung. Aku pesan boleh hemat tapi harus jaga kesehatan dan makan bergizi. Aku juga bilang meski semua keperluan si bungsu sudah ditanggung beasiswa, kami orangtuanya setiap bulan tetap akan menyisihkan dana untuknya. Saat mendengar itu si bungsu langsung memelukku. Hatiku tiba-tiba merasa sedih dan berlinang air mata, mengingat beberapa  hari lagi aku tak bisa setiap saat memeluknya dan mencium harum tubuhnya. Owalah Nak … tiba-tiba air mata berhamburan tak tertahankan, tak terelakkan kesedihan kembali memenuhi rongga dadaku.

Sebenarnya jauh di lubuk hatiku, aku sangat yakin semua yang terjadi di dunia ini sudah atas seijin Allah SWT. Demikian juga dengan anakku. Jika Allah sudah mengijinkan anakku kuliah di Jepang, aku yakin Allah akan menjaganya, akan memberi kemudahan, kelancaran dalam kuliah dan kehidupannya di sana kelak. Aamiin ya Allah. Semua pasti ada hikmahnya. Termasuk beasiswa yang diterima anakku, semua adalah rezeki dari Allah yang harus kami syukuri, karena jalan rezeki itu luas dan banyak sekali, rezeki bahkan bisa datang lewat jalan yang tidak kita sangka-sangka. Rezeki juga yang membawa anakku punya cita-cita, keinginan yang kuat dan bersiap kuliah jauh di negeri orang. Semoga perjalanannya bernilai ibadah dan dicatat Allah sebagai amal saleh. Aamiiiin.

Momiji, Diary Cinta dari Negeri Sakura … di sini ingin kutulis sebuah kenangan tentang cita-cita si bungsu, tentang perjuangannya, tentang semua persiapan kepergiannya ke negeri sakura. Buku ini kutulis dengan segala rasa, dengan untaian air mata dan doa. Biarlah semua kenangan itu terangkum indah dalam buku ini. Teriring doa semoga Allah SWT selalu menjaga dan melindungi si bungsu dimana pun berada. Memberikan ketenangan saat hatinya resah, memberikan pertolongan saat dia memerlukan bantuan, memberikan jalan keluar atas semua permasalahannya. Karena dimana pun kehidupan selalu sarat dengan tantangan dan perjuangan, semoga kita semua kuat dan semangat menjalaninya. 

Oya momiji adalah kata yang sering terucap di musim gugur. Sebuah kata untuk menggambarkan daun-daun berwarna-warni merah dan kuning yang menghiasi pohon-pohon di musim gugur. Si bungsu berangkat ke Jepang saat negeri sakura itu memasuki awal musim gugur, akhir September.  Apa yang kutulis di sini adalah berdasarkan pengalaman mengantar si bungsu, apa yang aku rasakan, lihat dan alami. Mungkin orang lain akan merasakan hal yang berbeda. Mohon maaf jika tidak sama.

Akhirnya … Perpisahan tidak pernah mudah, tapi bagaimanapun harus tetap menguatkan hati, mengantar yang pergi dengan senyuman dan doa. Perpisahan akan membuat pertemuan kembali menjadi berarti, perpisahan akan mengajari kita betapa berharganya sebuah kebersamaan, saat rindu melanda, hanya bisa memeluk dengan doa dan air mata.

“Terkadang, pertemuan dan perpisahan terjadi terlalu cepat. Namun kenangan dan perasaan tinggal terlalu lama.” (Fiersa Bestari)

Jakarta, September 2019

Seliara

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun