The mother-child relationship is paradoxical and, in a sense, tragic. It requires the most intense love on the mother's side, yet this very love must help the child grow away from the mother, and to become fully independent (Erich Fromm)
Hubungan ibu anak adalah paradoks dan, dalam arti tertentu tragis. Hal ini membutuhkan cinta paling intens di sisi ibu, namun cinta ini yang harus membantu anak tumbuh jauh dari ibu, dan menjadi sepenuhnya independen.
Kata-kata Erich Fromm di atas seolah mewakili perasaan saya kala itu, saat harus melepas anak bungsu kuliah di tempat yang cukup jauh dari rumah. Awalnya setelah dia lulus SMA, saya mengira dia akan melanjutkan kuliah S1 di Bandung atau Jakarta, atau di kota lainnya, yang pasti masih di Indonesia.Â
Namun jalan nasib berkata lain. Sebuah beasiswa dari  negeri sakura seolah menariknya untuk bisa mengenyam pendidikan S1 di sana. Meski saat akan berangkat ada sedikit keraguan, kebetulan dia juga diterima di sebuah kampus di jalan Ganesha Bandung, dan banyak teman-teman SMA-nya yang juga melanjutkan kuliah di kampus itu.
Sementara di kampusnya di Jepang, dia hanya sendirian. Belum ada teman yang dikenalnya, kecuali seorang kakak kelas yang 2 tahun di atasnya saat SMA.
Setelah membulatkan niat dan tekat, akhirnya kampus di negeri sakura menjadi pilihannya.
Maka mulailah kami mengurus segala sesuatunya. Dia mengurus semuanya sendiri, dari dokumen-dokumen, visa dan surat-surat penting lainnya.
Saya hanya melihat, mengingatkan deadline atau kadang mengantarnya. Eh, saya hanya sekali mengantarnya, yaitu saat tes tulis dan wawancara dengan profesor dari kampusnya di Jepang, yang datang langsung ke Indonesia.Â
Selebihnya dia mengurus semuanya sendiri. Melihat kemandirian dan tanggungjawabnya, saya berharap dia akan bisa survival di sana. Karena setelah di sana nanti, dia akan melakukan semuanya sendiri. Saya berdoa semoga dia bisa beradaptasi dan dapat menjalani kuliahnya dengan lancar.
Sementara saya juga mulai mengurus visa, mencari tiket pesawat dan penginapan. Nah saat mengurus visa itu saya baru tahu, bahwa saya tidak dikenakan biaya tambahan. Saya bertanya pada petugas mengapa free, dan petugas pun menjawab bahwa khusus untuk daerah Sendai, Okinawa, Fukushima dan lain-lain free, saya lupa daerah mana saja yang disebutkan.
Hati saya mulai tidak nyaman. "Oh apakah karena itu daerah-daerah rawan bencana ya, Pak?" tanya saya, tiba-tiba teringat gempa besar yang terjadi di Jepang pada tahun 2011.
Petugas itu tersenyum sambil mengangguk, membuat persendian saya terasa lemas tiba-tiba. Oh ya Allah, bismillah, sepertinya harus lebih banyak berdoa dan mempertebal keikhlasan.
Akhirnya urusan visa selesai dan kami mulai bersiap-siap membawa barang apa saja yang harus dibawa. Kebetulan kuliah dimulai saat musim gugur menjelang dingin, jadi perlu membawa beberapa baju dingin.
Oya, PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) di sana juga banyak membantu memberikan list barang yang disarankan untuk dibawa. Dan mereka pun sudah menjadwalkan melakukan penjemputan untuk mahasiswa yang baru datang dari Indonesia. Sungguh suatu bentuk kekeluargaan yang indah dan perlu dipertahankan.
Begitulah waktu berlalu. Tiba masanya si bungsu bersilaturahim ke guru-gurunya di SD, SMP dan SMA. Berpamitan, mohon doa sekaligus berterima kasih karena atas bimbingan para guru itulah si bungsu bisa mencapai mimpinya untuk melanjutkan kuliahnya.
Ini adalah foto saat mereka berempat berpamitan ke guru-guru di SMA-nya. Kebetulan anak 4 ini semuanya melanjutkan kuliah ke Jepang, tapi berlainan kota.
Oya si bungsu diterima di Tohoku University, yang terdiri dari 4 kampus, yaitu Kampus Katahira, Kawauchi, Aobayama dan Seiryo. Semester 1 perkuliahan banyak dilakukan di kampus Kawauchi, untuk selanjutnya kuliah dilaksanakan di Kampus Katahira. Dari asrama Kampus Aobayama ke Kawauchi ada transportasi subway yang berhenti langsung di depan kampus masing-masing.
Ya, pada akhirnya semua ada waktunya, sayapun harus belajar mengikhlaskan si bungsu untuk kuliah dan melewatkan masa mudanya di sana. Semoga banyak hikmah dan manfaat yang akan didapat. Membuatnya tumbuh makin kuat. Berproses menjadi seorang hamba yang senantiasa memperbaiki diri dan menjadi cahaya bagi semesta.
Jakarta, 24 Mei 2021
Seliara Melukis Senja (Perjalanan 4): Mengantar si Bungsu Kuliah di Jepang
Serial "Melukis Senja" adalah rangkaian kisah tentang perjalanan yang pernah saya lalui, ingin dirajut dalam sebuah lukisan jemari, semoga bermanfaat dan menginspirasi
Karena senja adalah fenomena alam yang indah, yang membuat hati bahagia sekaligus sedih
Bagi yang ingin membaca kisah perjalanan saya lainnya, silakan klik label "seliara melukis senja"
Terima kasih
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H