Mohon tunggu...
Wahyu Fitri
Wahyu Fitri Mohon Tunggu... lainnya -

Absurd, Liar, dan Imajiner (terkadang Irasional)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Inspirasi dari Amazon (Gara-gara Film)

19 Agustus 2011   15:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:38 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Raung buldozer gemuruh pohon tumbang. Berpadu dengan jerit isi rimba raya. Tawa kelakar badut-badut serakah. Tanpa HPH berbuat semaunya.Lestarikan alam hanya celoteh belaka. Lestarikan alam mengapa tidak dari dulu. Oh mengapa? (Iwan Fals)

Aku miris melihat kondisi hutan di pulau Jawa. Hutannya gundul, habis ditebang oleh manusia. Aku mengatakan demikian bukan tanpa sebab. Berdasar pengalamanku melakukan pendakian gunung di pulau Jawa, hutan yang dulu lebat kian hari kini beralih fungsi menjadi hutan palawija.

Aku menyesalkan perbuatan manusia. Tapi aku sedang tidak menyalahkan siapa-siapa, baik itu petani maupun Negara, sama sekali tidak! Namun andai saja pemerintah tanggap dengan persoalan ketenagakerjaan dan banyaknya pengangguran, menurut pendapatku, masyarakat pinggiran gunung-hutan tidak merambah hutan secara massal dan tidak menjadikannya sebagai matapencaharian. Tidak percaya? Mendakilah di gunung-gunung pulau Jawa. Aku berikan contoh, dulu pada tahun 1999, waktu pertama kali aku mendaki Gunung Sumbing, Jawa Tengah. Hutannya masih lumayan lebat, tapi coba bandingkan dengan kondisi hutan saat ini. Bayangkan saja sampai Puncak, masih terdengar deru suara knalpot motor.

Masih sangsi? Berkelilinglah Nusantara. Lihatlah realita apa yang terjadi dengan hutan di Negara ini (baca; Indonesia)? Dari ujung pulau Sumatera hingga ujung pulau Papua. Berapa banyak hutan yang telah rusak dan beralih fungsi menjadi perkebunan dan pertambangan?

Dan anehnya, media massa hanya memberitakan pada kasus-kasus politik yang tak berjuntrung, semisal korupsi para politisi dan kabar selebritis yang kerap menebar sensasi. Sedang kasus perambahan hutan, pembalakan liar atau yang lebih “ngetren” disebut illegal logging jarang sekali diekspos. Ada pemberitaan tentang hutan pun saat terjadi kebakaran hutan yang disebabkan oleh faktor alam dan cuaca, sedang kerusakan hutan yang disebabkan manusia hampir jarang di liput media massa, terkecuali kasus illegal logging yang mengakibatkan kerugian Negara trilyunan rupiah.

Ketika aku melihat banyaknya bencana banjir, tanah longsor dan gempa dahsyat, seolah-olah bencana tak henti-hentinya datang silih berganti. Aku sungguh sangat bersedih. Lagi-lagi media massa hanya menyuguhkan berita-berita statistik kematian manusia dan kerugian yang diderita masyarakat. Tidak solutif, media seakan-akan tidak mengabarkan apa sebab terjadinya bencana?

***

Gara-Gara Film

“…Hanya satu hal yang saya inginkan, kematian saya akan menghentikan impunitas terhadap para pembunuh yang dilindungi oleh polisi Acre…Seperti saya, para tokoh penyadap karet telah bekerja menyelamatkan hutan hujan Amazon, dan membuktikan, kemajuan tanpa penghancuran adalah mungkin”. (Chico Mendes)

Pada suatu hari, di suatu siang yang panas. Cuaca yang sulit ditebak, seharusnya bulan ini, Mei, menurut BMKG (Badan Meterologi Klimatologi dan Geofisika) masih termasuk hitungan musim penghujan, tapi tidak untuk beberapa hari ini, panasnya begitu terik dan membuat tubuh berkeringat di sepanjang siang. Mungkin inilah yang disebut sebagai tahun Pancaroba. Kadang-kadang di benak kita timbul pertanyaan, mengapa iklim tidak mudah diprediksi sebagaimana BMKG begitu mudahnya meramal, tapi pada kenyataanya justru cenderung meleset dari prakiraan. Apa ini yang dinamakan Global Warming? Lalu apa penyebabnya?

Saat itu aku dan adikku, sedang menonton film The Burning Season. Sebuah film berdasar kisah nyata, yang diperankan oleh Raul Julia dengan sutradara John Frankenheimer. Film yang mengisahkan, perjuangan Chico Mendes menjaga hutan dari segala bentuk tindakan pengrusakan hutan. Melanjutkan perjuangan pendahulunya, Wilson Pinheiro, Chico mengorganisir rakyat yang bermukim di sekitar hutan amazon Brazil dan menggantungkan hidup dari hasil hutan non kayu berupa karet, untuk melawan segala bentuk pengrusakan atau pengambilalihan lahan mereka oleh investor asing yang berniat membangun peternakan sapi.

“Aku ingin menjadi sepertimu, Mas!” Kata adikku.

“Maksudnya, dek?” aku berkerut dahi, tak mengerti apa yang baru saja dikatakan Nanda.

“Iya, aku ingin menjadi sepertimu. Ingin naik gunung dan keluar masuk hutan” sambil menunjuk televisi yang masih memutar film.

“Aku belum paham apa yang kamu maksud, Dek?!”

“Aku akan melakukan seperti apa yang pernah mas lakukan. Hmmm, menyelamatkan alam sembari berpetualang”jawabnya singkat.

“Memangnya apa yang kamu tahu tentang kegiatanku di hutan?” aku memancing untuk bercerita.

“Selain mendaki gunung. Mas kerap melakukan reboisasi dan penghijauan hutan. Mas juga melakukan pendampingan masyarakat pinggiran gunung-hutan, menyadarkan mereka akan pentingnya melestarikan hutan. Aku terinspirasi Chico, Mas!” terangnya, menampakkan wajahnya yang polos.

“Alasannya apa kok tiba-tiba ingin menjadi Chico?” akumasih memasang raut muka kebingungan. Dalam hati sebenarnya aku ingin mengatakan “Sok Tahu”.

“Aku kecewa melihat kondisi di negeri ini! Aku ingin menyelamatkan hutan yang habis dibalak, mas” kata adikku seraya menunjukkan rasa patriotiknya.

“Apa kau tidak takut dengan polisi-polisi yang melindungi para cukong pembalak itu?” Kataku, sembari mencibir dan meyakinkan niatan adikku.

“Ah santai saja, mas. Aku pun akan mencari polisi untuk melindungi aktivitasku!” jawab adikku dengan entengnya.

Aku hanya bergeleng kepala. Aku terheran dengan pola pikir Adikku yang masih berumur belasan, sepantasnya dia masih asyik bermain gundu atau petak umpet bersama teman-teman sebayanya. Kok sudah memikirkan penyelamatan hutan. “Kok bisa? Lalu uang darimana untuk membiayainya?”

Nanda menunduk, seolah-olah sedang mengkonsep apa yang ingin dicita-citakannya. Lalu ia menjawab, Kumpulkan saja dana atau meminta sumbangan dari masyarakat dengan alasan untuk menyelamatkan hutan. Coba bayangkan jika dalam satu kecamatan ada 6000 penduduk. Setiap orang memberi sumbangan minimal seribu rupiah per orang? Hanya sekadar mendapat dukungan dari oknum polisi aku kira itu sudah cukup, Mas. Toh apa yang aku lakukan pun demi terjaganya hutan di negeri kita. Menjelaskan dengan berapi-api dan bermimik serius.

Aku hanya mengulum senyum mendengar penjelasan adikku. Seraya memeras otak dan mencari solusi. Aku pikir polisi, entah itu oknum atau institusi, tidak berani untuk memberi perlindungan kepada para bandar, cukong, pembalak ataupun mafia lainnya. Mengingat sekarang lagi musim Markus (makelar kasus), polisi pun tidak akan mau tercoreng nama baiknya untuk yang kesekian kali. “Selama itikadmu baik, aku yakin seluruh lapisan masyarakat akan mendukung. Lakukanlah apa yang terlintas dalam pemikiranmu, demi hutan dan rakyat Indonesia”. Aku memberi semangat walau sebenarnya terpintas rasa ragu.

“Baguslah kalau begitu!” jawabnya mantap. “Akupun akan melakukannya berdasar Undang-undang yang berlaku di negeri kita, Mas”.

“Tapi!” aku terdiam sejenak. “Sebelumnya maaf, aku sedang berandai-andai. Jika kamu mengalami hal yang serupa dengan Chico bagaimana?”.

“Maksudnya?” Nanda membelalak tidak mengerti apa yang baru saja diucapkan tentang pengandaianku.

“Iya, maaf! ini hanya seumpama” aku cengar-cengir seraya meminta maaf atas ucapanku. “Aku takut jika kau mengalami nasib serupa dengan apa yang dalam film itu..”

“Dibunuh oleh pembunuh bayaran?” Nanda melanjutkan ucapanku.

“Iya” aku mengangguk pelan.

Nanda terpingkal mendengar pengandaianku.. “Kuharap, mas masih percaya dengan keyakinanmu, bahwa alam semesta beserta kehidupannya adalah ciptaan sang Khalik” ia masih cekikan “Dengan apa cara kumati, biarlah Tuhan yang memutuskan. Bukankah hidup matinya seseorang sudah digariskan Tuhan?”

“Nanda adikku, membahasakan ide dan gagasan untuk menjadikan bukti reall bahwa kita bisa, tidak semudah membalikkan telapak tangan” aku menasehatinya, meminjam istilah dari seniorku di oraganisasi pecinta alam. “Lihatlah para aktivis lingkungan yang sering kita tonton di televisi,mereka hanya sibuk mengkampanyekan Stop Global Warming, hentikan pengrusakan hutan atau apalah bahasa mereka. Toh para aktivis hanya menggembar-gemborkan slogan-slogan semata, dan hingga detik ini, tidak pernah terlihat secara signifikan apa yang dikampanyekannya. Hanya slogan-slogan kosong saja. Percuma berteriak di jalanan, di depan Istana, kalau hanya sekedar berkoar-koar untuk menghentikan penghentian perusakan hutan, namun pada realitanya di Indonesia, hutan kian hari semakin rusak dan habis di tebang untuk kepentingan industri”. Aku berhenti sesaat sembari menepuk-nepuk pundak Nanda “Apa kamu ingin seperti mereka? Atau kamu sudah siap menjadi seorang Chico?”.

Nanda hanya teranggut-anggut mendengar nasehatku. “Lalu dengan cara apa aku bisa menyelamatkan hutan, Mas?”

Aku berpikir keras agar kata-kataku mudah dimengerti. Lalu aku memulai bercerita, Adikku, perjuangan yang hendak kau lakukan adalah perjuangan yang mulia. Aku sebagai kakakmu akan selalu mendukung. Apabila memang kau ingin melakukan perjuangan seperti Chico Mendes, lakukanlah? Tapi ingat, jangan menggunakan kekerasan. Jika sewaktu-waktu tentara menyerangmu dengan peluru tajam, balaslah tembakan mereka dengan bunga. Apabila kawan seperjuanganmu tewas terbunuh oleh tentara bayaran, janganlah balas membunuh. Larilah ke hutan, galang kekuatan lalu serang kembali dengan bunga. Ingatlah apa yang telah di ajarkan oleh Chico Mendes bahwa, penggunaan senjata bukan cara terbaik dalam melakukan aksi perlawanan karena dengan senjata akan berdampak pada kematian bagi kedua belah pihak yang masing-masing adalah saudara kita sendiri.

Nanda menyepakati usulanku. Namun ia berucap penuh dengan keyakinan, “Untuk saat ini, aku ingin menyelamatkan lingkungan di sekitarku, Mas. Tapi kelak aku akan berjuang seperti Chico Mendes, dan tentunya aku akan mengamalkan nilai-nilai perjuangan yang telah diajarkan oleh dia”.

Adikku, ingatlah kata-kata Chico Mendes, Pada awalnya saya mengira saya berjuang untuk menyelamatkan pohon karet, maka kupikir aku sedang berjuang untuk menyelamatkan hutan hujan Amazon. Sekarang saya menyadari saya berjuang untuk kemanusiaan”. Aku mengakhiri petuahku dengan mengutip Chico Mendes.

Nanda sepertinya memahami penjelasanku. Aku pun melanjutkan cerita. Jika kamu masih ragu. Untuk saat ini, yang bisa kita lakukan bukan hanya berharap Chico Mendes terlahir di Indonesia. Tapi tumbuhkembangkanlah semangat perjuangan yang pernah dilakukan Chico Mendes. Teladanilah perjuangannya. Sederhana saja, dari lingkungan sekeliling atau halaman rumah kita, tanamilah satu atau dua pohon. Kupikir, mereka, kalian, dia, kita, kau dan aku bisa! Mari selamatkan hutan kita, lestarikan pohon untuk keberlangsungan umat manusia.

Di sebuah rumah dekat Bantaran Kali Beji, 01-02 Mei 2010

Catatan

·Ide cerita berawal dari kerapnya saya menonton Film “The Burning Season”, yang diperankan oleh Raul Julia dan disutradarai John Frankenheimer. Dan sering mendengarkan lagu“Isi Rimba Tak Ada Tempat Berpijak Lagi”, pencipta Iwan Fals.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun