"Dengan ini diberitahukan bahwa penghentian sementara (moratorium) pembangunan Proyek Reklamasi Teluk Jakarta (sebagaimana dalam surat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Nomor : 27.1/Menko/Maritim/IV/2016, tanggal 19 April 2016), dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi."- Luhut Binsar Panjaitan
Masih ingatkah Anda tentang proyek "Pulau Pulau Palsu" di Jakarta yang jumlahnya bahkan setara dengan tanggal jadi Republik ini?
Pembangunan pulau-pulau palsu yang menimbulkan polemik seru bak Superman vs Batman ini memang tidak ada habisnya. Dimulai dari rencana pembangunannya lalu pencabutan izin pembangunan sampai izin itu dikeluarkan lagi, hingga munculnya dugaan korupsi yang baru-baru ini muncul dipermukaan. Reklamasi 17 pulau palsu ini akan memiliki total luas sekitar 5.153 hektar hal ini berarti ada 124 juta meter kubik volume air yang harus berpidah tempat, atau setara dengan sekitar 49.000 kolam renang ukuran Olimpiade, bisa bayangkan seberapa banyaknya?
Saat penolakan pembangunan WALHI menyatakan bahwa reklamasi sudah dapat dipastikan akan merusak dua wilayah sekaligus. Yaitu wilayah laut yang akan direklamasi dan juga wilayah dimana material uruk reklamasi akan ditambang. Setiap hektar pulau reklamasi akan membutuhkan pasir sebanyak 632.911 meter kubik. Jika dikalikan luas pulau reklamasi yang direncanakan 5.153 hektar, maka akan membutuhkan sekitar 3,3 milyar meter kubik pasir bahkan pasir biasa di depan halaman rumah anda hanya sepersekian dari 3,3 milyar meter kubik. Ingat bahwa aturannya adalah tidak boleh mengambil pasir dari pulau-pulau kecil.
Lebih dalam lagi WALHI menyatakan bahwa dengan adanya reklamasi di Teluk Jakarta, timbul potensi konflik dengan sedikitnya 7.000 nelayan di Kamal Muara, Muara Angke, Muara Baru, Kampung Luar Batang dan pemukiman depan Taman Impian Jaya Ancol dan Marunda Pulo, dan ya hal ini memang benar terjadi. Tigor Hutapea dalam CNN menyatakan bahwa "Pemerintah telah berikan karpet mewah pada pengembang.Â
Terbukti hari ini mereka bahkan bertemu untuk membuat keputusan yang akan mengubah masyarakat Jakarta, khususnya nelayan di Pantai Utara, tanpa mengajak nelayan itu sendiri" lebih tegas lagi Tigor menyatakan bahwa selama ini pemerintah justru hanya mendengarkan keluh kesah pihak Pemprov dan Pengembang tanpa memperdulikan nelayan. Ingat trisakti dalam KKP yang salah satu poinnya adalah kesejahteraan dan memiliki strategi "Memberikan perlindungan kepada nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam"
Keputusan Luhut Binsar Panjaitan untuk mengizinkan diteruskannya kembali pembangunan reklamasi Teluk Jakarta dinilai kontradiktif oleh beberapa pihak. Terutama saat Luhut menyatakan bahwa tidak ada masalah di proyek reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta. Sebanyak 1.325 alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB) atas nama pribadi mengisi petisi yang berisi permintaan kepada Presiden Joko Widodo agar membatalkan proyek pembangunan pulau buatan atau reklamasi di Teluk Jakarta.Â
Dilansir dari Media Tata Ruang , Pakar kelautan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Muslim Muin mempertanyakan hasil kajian yang jadi alasan Luhut menyatakan Pulau G tidak bermasalah, karena hasil kajiannya yang tidak segera dipublikasikan ke masyarakat. Menambahkan lagi Muslim Muin menyatakan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan.
Dilansir dalam media tata ruang, Ketua Umum Ikatan Ahli Perencana (IAP) Bernardus Djonoputro berendapat bahwa  Tata ruang Jakarta standarnya rendah, di samping memang ego sektoral masih kental Akibat pendekatan komprehensif belum dilakukan secara maksimal untuk tidak dikatakan jalan sendiri-sendiri. Kekosongan hukum dan produk perencanaan laut yang tidak dimiliki oleh DKI Jakarta menjadi salah satu penyebab carut marutnya reklamasi ini. Sehingga keputusan hanya ada ditangan penguasa tanpa pelibatan masyarakat dan tanpa aturan yang jelas dan mengikat. Bagaimana mungkin provinsi Ibukota Republikku ini tidak memiliki RZWP3K? sangat miris.
Sebenarnya konsep reklamasi ini sudah dianggap kuno oleh negara-negara maju lainnya. Bagi negara-negara maju, seperti Belanda, pendekatan hard infrastructure, seperti reklamasi pulau dan pembuatan tanggul besar semacam itu, telah lama ditinggalkan. Yang aneh, justru proyek reklamasi di Jakarta dan Giant Sea Wall dibantu perusahaan dan konsultan asal Belanda. Saat ini pertahanan pesisir di Belanda dilakukan dengan cara "sand nourishment" yaitu pembuatan jebakan-jebakan pasir di wilayah yang rawan abrasi, bukan dengan membuat tanggul raksasa di tengah laut.Â
Selain itu, upaya mitigasi banjir di Belanda justru dilakukan dengan merobohkan tanggul-tanggul sungai yang sudah ada dan menggantinya dengan konsep "Room for the River". Dua metode tersebut terbukti jauh lebih murah, lebih efektif, dan ramah lingkungan dibandingkan dengan upaya hard-infrastructure, seperti reklamasi pulau dan pembuatan tanggul raksasa. Negara maju sudah mulai sadar bahwa pertahanan pesisir itu tak bisa dibebankan kepada tangan-tangan manusia dengan pembentukan hard infrastructure.