Penggunaan biola memungkinkan kata-kata terlarang seperti “Indonesia Raya” dan “Merdeka” tidak terucap, cukup terwakilkan oleh notasi nada yang dimainkan. Karenanya, Polisi Hindia Belanda tidak akan curiga dan Kongres dapat berlangsung hingga akhir.
Nama Wage Rudolf Supratman pun tercatat dalam sejarah.
4. Soenario Sastrowardoyo
Soenario adalah satu-satunya tokoh yang berperan aktif dalam dua peristiwa yang menjadi tonggak sejarah nasional, yaitu Manifesto 1925 dan Kongres Pemuda II. Ketika Manifesto 1925 dicetuskan, ia menjadi pengurus Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging, kelak berganti nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpunan Indonesia) bersama Hatta. Sunario menjadi Sekretaris II, Hatta bendahara I. Pada Desember 1925, ia meraih gelar Meester in de rechten, lalu pulang ke Indonesia.
Pengalamannya di Belanda membuat Soenario aktif membela para aktivis pergerakan yang berurusan dengan polisi Hindia Belanda. Selain itu, pengalaman organisasinya turut membantunya sebagai penasihat sehingga Kongres Pemuda II berjalan dengan lancar. Selain menjadi penasihat, Soenario juga menjadi pembicara dalam Kongres. Judul makalahnya adalah Pergerakan Pemuda dan Persatuan Indonesia.
Sumpah Pemuda, selain membawa dampak bagi perjuangan bangsa Indonesia, ternyata juga membawa dampak bagi kehidupan Soenario. Soenario yang beragama Islam dan berasal dari Jawa Timur ini jatuh cinta dan akhirnya menikahi gadis Minahasa beragama Protestan yang ditemuinya saat Kongres Pemuda II berlangsung.
5. Sie Kong Liong
Sie Kong Liong adalah pemilik sebuah rumah di Jalan Kramat Raya. Rumahnya beralamat di Jalan Kramat No.106 yang menjadi tempat pertemuan Sumpah Pemuda. Atas prakarsa Soenario, rumah Sie Kong Liong dipugar oleh Gubernur DKI kala itu, Ali Sadikin, dan ditetapkan menjadi Gedung Sumpah Pemuda sebelum akhirnya berubah nama menjadi Museum Sumpah Pemuda.
Pada akhirnya, Kongres Pemuda II yang diselenggarakan dua hari, 27-28 Oktober 1928, di Batavia memang membuahkan suatu keputusan yang menajamkan arah perjuangan kebangsaan. Keputusan ini menegaskan cita-cita akan ada "tanah air Indonesia", "bangsa Indonesia", dan "bahasa Indonesia". Keputusan ini juga diharapkan menjadi asas bagi setiap "perkumpulan kebangsaan Indonesia" dan agar "disiarkan dalam segala surat kabar dan dibacakan di muka rapat perkumpulan-perkumpulan".