Mohon tunggu...
Selasar.com
Selasar.com Mohon Tunggu... -

Selasar adalah Platform tanya jawab, tempat Anda memperluas jejaring pengetahuan. Selasar, tanya, tahu, terhubung.

Selanjutnya

Tutup

Politik

5 Alasan Penolakan bagi Pengungsi Suriah-Irak

11 September 2015   21:59 Diperbarui: 11 September 2015   22:12 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pengungsi Suriah dan Irak menjadi pembicaraan dunia saat ini. Kekacauan dalam negeri memaksa para penduduknya untuk mengungsi ke daerah lain yang lebih aman, tentunya di luar teritori kedua negara yang saat ini sarat konflik ISIS.

Saat ini, para pengungsi mengarahkan perjalanannya ke Eropa sehubungan dengan komitmen Jerman, Swedia, Yunani, dan Inggris untuk menerima mereka. Begitu juga dengan Austria yang biasanya bersikap dingin terhadap para pengungsi. Namun, tak semua negara mau menerima mereka.

Di tengah krisis pengungsi yang saat ini melanda Eropa, negara-negara Teluk berada di bawah kritik karena dianggap tidak melakukan banyak hal lebih jauh untuk membantu para imigran, misalnya dengan memberikan penampungan di wilayah mereka. Padahal secara geografis, mereka adalah yang terdekat bila dibandingkan dengan Eropa. Pun mereka memiliki kemampuan ekonomi yang relatif baik.

Hal ini tentu menimbulkan kritik yang tajam. Kritik berasal terutama dari para aktivis HAM internasional. Salah satunya ialah dari Nadim Houry, Wakil Direktur Human Rights Watch untuk Timur Tengah dan Afrika Utara. Melalui media sosial twitter, Houry mengungkapkan aspirasinya.

“Negara-negara lain harus melakukan lebih banyak,” cuit Nadim Houry. Ia menyebut negara-negara kaya itu “memalukan.”

Di media sosial, kritik dari netizen bagi negara kaya raya di Timur Tengah muncul misalnya dengan tagar #Menerima_Pengungsi_Suriah_adalah_Tugas_Negara_Teluk dalam bahasa Arab juga telah dicuit ulang puluhan ribu kali.

Tidak hanya oleh negara-negara Teluk, penolakan juga dilakukan oleh sebagian negara Eropa seperti Denmark. Penolakan ini tentu bukan tanpa alasan. Apakah sebenarnya alasan yang mendasari penolakan terhadap pengungsi tersebut?

 

1. Potensi Konflik Sunni-Syiah

 

Menurut pengamat Timur Tengah dari The Middle East Insitute, Zuhairi Misrawi, salah satu alasan utama negara Arab tak membuka pintu mereka bagi pengungsi adalah konflik geopolitik yang terjadi di negara-negara Teluk sejak berabad-abad silam.

"Di Timur Tengah, selalu ada konflik Sunni-Syiah. Ketika datang pengungsi dari Suriah yang mayoritas Syiah, negara-negara Arab, seperti Qatar, Mesir, Uni Emirat Arab, takut ada infiltrasi ideologi yang bergeser dari Syiah," ujar Zuhairi kepada CNN Indonesia, Selasa (8/9).

 

2. Risiko Stabilitas Keamanan

 

Abdulkhaleq Abdulla, seorang pensiunan profesor dari Universitas Uni Emirat Arab mengatakan keengganan negara Teluk menerima pengungsi di tanah mereka adalah karena kekhawatiran akan keamanan.

Hal-hal yang bersifat mendasar seperti perbedaan ideologi, perbedaan budaya, dan desakan kebutuhan hidup cukup mampu untuk menimbulkan risiko keamanan. Meski begitu, risiko ini sebenarnya mampu diminimalisasi dengan regulasi (hukum) yang tepat dan antisipasi dari negara penampung pengungsi.

Menurut Abdulla, negara-negara Teluk adalah negara yang paling stabil di kawasan Timur Tengah. Jika negara-negara ini terlalu terlibat dengan urusan pengungsi, ini akan berisiko terhadap kestabilan negara mereka.

 

3. Menguntungkan ISIS

 

Dilansir CNN, Abdulla mengatakan bahwa ada keyakinan di antara negara Arab bahwa menerima warga Suriah yang melarikan diri dari ISIS justru hanya memberi keuntungan kepara kelompok teror. Abdulla menilai tindakan ini seperti memberi umpan "kekerasan di wilayah yang sudah menjadi wilayah paling kejam di Bumi."

Senada dengan pernyataan Abdulla, Perancis mengingatkan bahwa penerimaan negara Eropa terhadap imigran yang melarikan dari ISIS di Suriah dan Irak adalah sebuah kesalahan. Penerimaan terhadap mereka juga berarti merupakan kemenangan bagi ISIS.  Sikap Perancis ini diserukan saat sekitar 60 negara, termasuk para menteri dari Irak, Yordania, Turki dan Libanon, bertemu di Paris pada Selasa (8/9) untuk menyetujui pendekatan demi mempermudah para pengungsi yang ingin kembali.

"Ini sangat sulit, tetapi jika semua pengungsi ini datang ke Eropa atau ke tempat lain, maka Daesh (ISIS) telah memenangkan pertandingan," kata Menteri Luar Negeri Perancis Laurent Fabius di radio RTL, Selasa (8/9).

Selain itu, Perancis juga menyerukan rencana untuk memastikan keragaman di Timur Tengah meski sedang diterpa krisis. Langkah ini termasuk mendorong pemerintah regional untuk melibatkan kelompok minoritas ke panggung politik dan memastikan tak ada impunitas bagi mereka yang bersalah atas kejahatan kemanusiaan.

"Tujuan (dari konferensi ini) adalah bahwa Timur Tengah tetap Timur Tengah, yang berarti wilayah keanekaragaman di mana ada orang-orang Kristen, Yazidi, dan lain-lain,” tambahnya.

Meski begitu, Perancis menyatakan diri untuk menampung pengungsi selama dua tahun. Selain itu, mereka juga memberikan bantuan finansial dengan nominal tertentu. Ini tentu kontradiktif dengan pernyataan Fabius.

 

4. Ketiadaan Sistem Hukum

 

Abdulkhaleq Abdulla secara implisit mengungkapkan bahwa negara-negara Teluk belum siap untuk menerima pengungsi terutama dalam jumlah besar. Abdulla mengatakan bahwa ‘kekurangan’ dari Arab Saudi, Kuwait, dan negara-negara Teluk lainnya adalah ketiadaan hukum yang memungkinkan mereka untuk memiliki ‘program pengungsi rumit’ seperti yang dimiliki negara-negara Eropa.

"Kami belum secanggih itu,” kata Abdulla.

Akibat dari ketiadaan hukum ini berdampak pada poin kedua di atas, yaitu risiko keamanan. Tanpa dasar hukum yang jelas, menerima para pengungsi dipandang sebagai penambahan masalah baru terutama bagi negara-negara penampung pengungsi.

 

5. Kondisi Geografis dan Ekonomi

 

Kondisi geografis dan ekonomi menjadi alasan penolakan terakhir terkait lonjakan gelombang pengungsi dari Suriah dan Irak. Setidaknya, faktor inilah yang melatari penolakan dari Israel dan Rumania. Bagi Israel, luas wilayahnya dianggap tidak memungkinkan untuk menerima pengungsi Suriah-Irak.

Dalam pernyataannya pada rapat kabinet, Netanyahu berujar bahwa Israel "bukannya masa bodoh" terhadap para pengungsi Suriah. Ia pun menekankan rumah sakit di Israel terus merawat korban perang sipilnya hingga kini.

"Namun, negara ini sangat kecil. Kami tak memadai secara geografis maupun demografis," kata pemimpin sayap kanan itu. Menurutnya, membawa masuk pengungsi Arab juga akan mengganggu keseimbangan Israel yang didominasi orang Yahudi. Saat ini, sekitar seperlima dari 8.3 juta populasinya adalah orang Arab.

Hal ini merupakan tanggapannya terhadap seruan pemimpin partai oposisi utama Serikat Zionis, Isaac Herzog, meminta para pemimpin Israel untuk "menyerap pengungsi konflik Suriah", negara tetangga yang dianggap musuh oleh Israel.

Meskipun belum ada seruan internasional agar Israel membuka perbatasannya bagi pengungsi Suriah, Herzog berpendapat bahwa Netanyahu punya tugas moral untuk menerima mereka.

"Perdana Menteri orang Yahudi tidak akan menutup hati dan gerbangnya saat orang-orang, dengn membawa bayi, berlari menyelamatkan diri mereka dari penganiaya," imbuh Herzog.

Sementara itu, Uni Eropa memberlakukan kuota bagi negara-negara anggotanya untuk menanggulangi masalah banjir imigran belakangan ini. Bagi Rumania, kuota itu terlalu berat. Menurut Presiden Rumania, Klaus Iohannis, negaranya hanya mampu menampung 1.785 orang imigran. Padahal dalam rencana Uni Eropa, seharusnya Romania bisa menampung sampai 6.351 pengungsi.

"Kami bisa melakukan ini dengan tenang, bertanggung jawab, dan penuh simpati kepada negara dengan jumlah pengungsi yang besar (Suriah dan Irak). Tapi, saya tidak berpikir kuota wajib itu adalah solusinya," kata Iohannis, Senin (7/9), sebagaimana dikutip oleh Reuters.

Jumlah 1.785 imigran merupakan angka maksimal bagi negaranya, menurut sang presiden. Rumania, sebagaimana negara tetangganya, Bulgaria termasuk negara miskin di antara 28 negara anggota Uni Eropa lainnya.

Iohannis menambahkan, imigran tidak begitu saja bisa mendatangi Rumania. "Kami bukan bagian dari Schengen, zona bebas paspor Uni Eropa. Imigran harus memenuhi beberapa aturan jika mereka ingin masuk ke Rumania," tutur Iohannis menjelaskan.

Rumania tak sendiri dalam penolakan kuota yang diberlakukan Uni Eropa. Negara bagian timur Eropa lainnya pun melakukannya, termasuk Hungaria. Polisi sampai menggunakan semprotan merica untuk menghalau keriuhan pengungsi di sana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun