Disusun Oleh: Falah Selanti dan Inarotul Ma'rifah Mahasiswa FE Universitas Islam Sultan Agung Semarang Drs. Osmad Muthaher, M.Si,
Dosen FE Universitas Islam Sultan Agung Semarang
Pertumbuhan lembaga keuangan syariah di Indonesia khususnya bank syariah saat ini mulai diminati oleh masyarakat karena Karakteristik sistem perbankan syariah yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil memberikan alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan bagi masyarakat dan bank, serta menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi, investasi yang beretika, mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, dan menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan.
Namun ,Pangsa pasar (market share) keuangan syariah masih kecil dibandingkan perbankan konvensional. Masalah ini menjadi perhatian dari pemerintah, berdasarkan data dari OJK (Otoritas Jasa Keuangan ) untuk data terakhir Juni 2018, market share keuangan syariah memang sempat mencapai 8,47% atau setara US$83,62 miliar dari total aset keuangan Indonesia. Total capain ini
diperoleh dari kontribusi perbankan syariah sebesar 5,7%, IKNB syariah sebesar 4,69%, dan pasar modal syariah sebesar 15,28%.
Akan tetapi, hingga awal 2019, market share perbankan syariah nasional hanya mampu mencapai 5,94%. Faktor utama penyebab keterlambatan perkembangan keuangan syariah ini, ialah dari segi Non Performing Financing (Rasio Kredit Bermasalah/NPF) yang tinggi dan mesti diselesaikan terlebih dahulu.
Melihat fakta bahwa pangsa pasar perbankan syariah kita masih jauh tertinggal, maka dibutuhkan upaya maksimal dan serius. Menurut Hermansyah Kahir (2014), ada beberapa jurus yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pangsa pasar (market share) perbankan syariah.
1. Komitmen Pemerintah. Dalam pengembangan perbankan syariah pemerintah tidak bisa lepas tangan. Dukungan dari pemerintah sangat dibutuhkan agar industri perbankan syariah negeri ini pertumbuhannya semakin cepat dan tidak stagnan. Indonesia perlu mencontoh Malaysia di mana intervensi pemerintah di sana cukup besar. Berkat dukungan pemerintah, kini Malaysia cukup diperhitungkan dalam percaturan keuangan syariah di tingkat global.
2. Perbaikan Kualitas SDM. Masa depan perbankan syariah sangat bergantung pada pemenuhan SDM, baik secara kualitas maupun kuantitas. Fakta di lapangan menyebutkan, setiap tahunnya industri perbankan syariah membutuhkan SDM kurang lebih 11.000 sementara lembaga pendidikan saat ini hanya mampu memasok SDM sekitar 3.750 per tahun. Disini terjadi ketimpangan antara permintaan pasar dengan SDM yang tersedia. Akhirnya, untuk memenuhi SDM sebesar 11.000 itu dilakukan secara instan dengan cara memberikan pelatihan singkat kepada SDM konvensional dan kemudian disalurkan ke industri perbankan syariah. Untuk
mencetak SDM yang berkualitas tentu diperlukan dukungan dari dunia pendidikan untuk membuka lebih banyak lagi program atau jurusan ekonomi dan perbankan syariah sehingga
ketimpangan SDM ini dapat teratasi
3. Meningkatkan Pelayanan. Pelayanan prima perbankan syariah perlu ditingkatkan lagi untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat luas sehingga pada gilirannya mampu memengaruhi masyarakat lain untuk menggunakan produk dan jasa perbankan syariah. Layanan prima (service excellence) ini dapat dilakukan dengan menyediakan lebih banyak lagi layanan ATM, internet banking, dan memperluas jaringan kantor sehingga dapat dijangkau masyarakat dengan mudah.
4. Sosialisasi dan Edukasi. Keengganan masyarakat untuk menggunakan produk dan jasa perbankan syariah salah satu penyebabnya adalah karena minimnya pengetahuan mereka tentang keuangan syariah. Untuk meningkatkan pengetahuan tersebut, dibutuhkan sosialisasi dan edukasi secara maksimal dan berkesinambungan.
Daftar Pustaka
Muthaher, Osmad. 2017. Keuangan Perbankan Syariah. Semarang: CV EF Press Digimedia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H