Memahami kembali maknah Islam dan Implikasinya Terhadap Tindakan
Banyak orang yang menganggap bahwa Islam hanyalah sebuah terma yang bersifat statis yang tidak mempunyai keterkaitan secara langsung dengan tingkatan perbuatan. Dengan kata lain, mereka berpendapat bahwa Islam hanyalah nama sebuah agama tanpa ada derivasi berupa tafsiran lain tentangnya. Ada pula sekelompok orang yang memaknahi Islam ini sebagai suatu 'ideologi' tertentu yang bersifat tertutup, oleh karena ketertutupannya itu, Islam tidak menerima tafsiran-tafsiran lain atas dirinya. Padahal sesungguhnya jika kita mau jujur dan bertanggung-jawab dalam menjelaskan atau berkata-kata tentang hal ini, maka akan terlihat dengan jelas bagaimana maknah Islam ini mempunyai pengertian yang sangat luas dan mendasar serta tidak dibatasi oleh ruang dan waktu dalam implementasi tafsirannya.
Membatasi tafsiran tentang maknah Islam itu ibaratnya kita sedang menyembelih seekor ayam yang bertelurkan emas. Jika Islam dibatasi maknahnya dengan mengatakan bahwa ia hanyalah sebuah nama Agama belaka tanpa mempertimbangkan aspek yang lainnya, maka itu sebenarnya secara tidak sadar kita telah memasukan Islam itu kedalam suatu ruang gelap lagi sempit sehingga kita menjadi kesulitan dalam bergerak dan memandang ke dunia luar yang sebenarnya sangat luas.Â
Begitu pula jika kita memandang Islam sebagai suatu ideologi alternatif dalam meredam kekacauan sosial maupun individual yang tengah terjadi pada kehidupan, maka sebenarnya kita sedang memenjarakan Islam dalam sebuah penjara ideologis sehingga berimplikasi pada suatu kekakuan dan kebekuan maknah serta tafsiran Islam yang sebenarnya sangat luas. Islam bukan hanya merupakan sekedar sebuah nama dari suatu agama tertentu, bukan pula sebuah ideologi tertentu, tetapi Islam mempunyai implikasi maknah yang begitu kaya ketimbang hal-hal semacam itu.
Islam adalah suatu konsekuensi logis dari ciptaan. Sebagai sebuah ciptaan dari Sanga Maha Pencipta (Allah Swt), maka yang diciptakan itu bersifat tunduk kepada Penciptanya, dan setiap yang tunduk itu disebut Islam tanpa memandang bentuk dan jenis serta identitas lain yang melekat padanya. Di dalam Al-Qur'an Allah Swt. Berfirman yang artinya "Apakah ada jalan (dien) lain selain dien Allah yang mereka cari, padahal segala sesuatu yang ada baik di langit maupun di bumi semuanya Islam (tunduk) kepada-Nya baik secara taat maupun dengan terpaksa, dan hanya kepada-Nya mereka dikembalikan" (Q.S 3:83).
Kata 'Dien' dalam Bahasa Arab selalu diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai 'Agama'. Dan ketika digugat kembali dengan pertanyaan, 'apakah devenisi dari kata 'agama' itu sendiri ?' maka setiap orang punya jawaban masing-masing tergantung pada sumber referensi yang dimiliki. Padahal sebenarnya, kata 'Dien' itu memiliki beragam maknah. Oleh karena kata 'Dien' ini mempunya beragam maknah, maka dengan begitu penafsiran darinya juga akan menjadi beragam adanya. Dan hal semacam ini tidak bisa kita hindari begitu saja dari kemungkinan-kemungkinan adanya penafsiran lain yang juga mempunyai rujukan dan argumentasi yang memadai.
Maknah Islam tidak boleh dikungkung dalam sebuah tafsiran yang baku alias tidak menerima kemungkinan ada tafsiran alternative yang lain. Sebagaimana yang telah kita katakana pada bagian sebelumnya, bahwa ketika Islam itu dibatasi maknahnya atau dikapitalisasi tafsirannya oleh seseorang atau sekelompok orang, maka yang akan terjadi adalah adanya ekstremisme berupa sikap ke-Aku-an yang begitu tinggi dalam kehidupan kolektif serta sikap saling curiga diantara sesama.
Lalu bagaimana seharusnya kita melihat hal ini ?
Dalam Al-Qur'an, Allah Swt. Berfirman yang artinya "Kemudian Dia (Allah) bersemayam di langit yang ketika itu masih berupa asap dan kemudian Dia berfirman kepadanya (langit) dan kepada bumi 'datanglah kalian berdua (wahai Langit dan bumi) kepada-Ku dalam keadaan patuh ataupun secara terpaksa' keduanya berkata 'kami datang dalam keadaan patuh" (Q.S 41:10). Maka ketaatan langit dan bumi itu merupakan tindakan ketundukan dan kepasrahan keduanya terhadap perintah Allah (yang dalam istilah Al-Qur'an disebut sebagai Islam). Sehingga dari hal ini, kita bisa menyimpulkan bahwa sebenarnya langit dan bumi adalah Islam sebagaimana maknah jenerik Islam itu sendiri yang berarti ketundukan dan kepatuhan.
Setelah kita mengetahui sifat langit dan bumi (alam semesta) yang sangat patuh dan tunduk atas setiap perintah Allah kepada keduanya, maka selanjutnya adalah kita memperhatikan asal-usul penciptaan manusia sebagai suatu cara dalam melihat adanya potensi ketundukan itu dan juga potensi pembangkangan pada diri manusia. Potensi pembangkangan terhadap perintah Allah ini juga-lah yang menyebabkan terjadinya perbedaan dalam setiap aktifitas manusia, baik dalam bentuk orientasi pemikiran, perkataan maupun dalam hal mengambil sikap.
Firman Allah Swt dalam beberapa ayat berikut akan mengungkap dengan jelas tentang informasi Ilahiyah serta kecenderungan manusia dalam hal-hal tertentu sebagaimana yang telah kita sebutkan tadi. "Dia-lah  (Allah) yang telah memperbagus segala sesuatu yang telah diciptakan-Nya, dan Dia memulai penciptaan manusia (Adam) dari tanah; Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina; Kemudian Dia menyempurnakanya dan meniupkan ruh (ciptaan)-Nya kedalam tubuhnya, dan Dia menjadikan pendengaran, penglihatan dan hati bagimu (tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur" (Q.S 32:7-9).