Mohon tunggu...
Harun Al Rasyid Selano
Harun Al Rasyid Selano Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Sorong, Komisariat UNIMUDA.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mengapa Manusia Beragama? (Bagian 7)

1 Juni 2020   09:26 Diperbarui: 1 Juni 2020   12:12 1184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesimpulan, lmu Pengetahuan (Sains) Dan Fenomena Atheisme

Pada bagian pembahasan kami yang sebelumnya kompasiana.com/selano260695, kita telah mengangkat berbagai pembicaraan terkait dengan alasan-alasan rasional mengapa manusia beragama ditinjau dari beberapa perspektif, yang pada akhirnya, kesimpulan dari semua pembahasan terkait alasan-alasan mengapa manusia beragama itu adalah manusia tidak mampu untuk menjawab segala sesuatu yang berkaitan dengan kejadian-kejadian alam, baik yang terjadi secara internal dari dirinya, dan kejadian-kejadian atau fenomena alam yang terjadi diluar dari darinya.

Dari semua pembahasan dan penalaran itu, kita pada akhirnya akan bermuara pada suatu daratan yang rasional dan filosofis kemudian menyimpulkan bahwa sesungguhnya manusia membutuhkan sebuah kekuatan yang bersifat misteri yang berasal dari luar dimensi dirinya untuk memberitahukan setiap apa yang terjadi pada diri dan lungkungan serta alam semesta yang penuh dengan keanehan dan ketakjuban ini. 

Manusia membutuhkan misteri untuk menjadi tempat bergantung dan bersandar dari segala kejadian yang melibatkan psikologinya, manusia juga membutuhkan sebuah misteri untuk dapat membantunya tentang segala sesuatu yang tidak mampu dijangkau oleh dimensi kognitifnya. 

Segala yang dibutuhkan dan kemudian dijadikan tempat bergantung dan bersandar, serta apa yang menjadi pusat pemberitaan kepada dirinya berupa kekuatan misterius itulah yang kemudian disebut dan dinamakan sebagai tuhan, dewa, sang hyang widi, dan sebutan-sebutan lain tergantung pada keyakinan agama masing-masing. 

Manusia sejatinya tidak bisa hidup tanpa adanya kekuatan-kekuatan yang bersifat misterius, karena sebagai seorang yang mempunyai daya intelektual, dia akan senantiasa bertanya-tanya tentang segala sesuatu kejadian yang jawabannya itu melibatkan dimensi kognitifnya, namun karena disisi lain dimensi kognitifnya ini bersifat terbatas, sehingga mau tidak mau dia harus mencari sumber lain untuk menjawab semua pertanyaan yang muncul dari rasa keingin-tahuan yang ada pada dirinya. Dimensi yang dicarinya itulah adalah tuhan yang kemudian disakralkan dalam sebuah aturan institusi agama. 

Seiring dengan pergantian waktu dan perkembangan zaman, muncul berbagai macam aneka peralatan yang dapat memudahkan segala pekerjaan manusia baik secara fisik maupun psikis. Fenomena munculnya segala alat-alat canggih ke permukaan dunia inilah yang kemudian dinamakan dengan Revolusi Industri. 

Revolusi industri sebagaimana yang kita ketahui merupakan sebuah kejadian yang sangat besar dalam sejarah umat manusia selama hidup di dunia, dan memiliki andil yang sebesar-besarnya bagi peradaban kehidupan manusia serta mampu memberikan suatu arah berupa tatanan dunia baru bagi kelangsungan hidup manusia. 

Revolusi industri memiliki sumbangan yang sangat mengejutkan bagi pengetahuan manusia dalam berbagai hal, diantaranya adalah ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan, sains, teknologi, pertanian, pertambangan, kelautan, militer, dan lain sebagainya. 

Dari sumua cakupan dengan adanya dunia teknikalisme itu, salah satu faktor yang menjadi bahan perbincangan kita dalam tulisan ini ialah Sains atau Ilmu Pengetahuan. Sebagaimana yang telah kami katakan dalam bagian-bagian sebelumnya, bahwa manusia sebagai homo-religious (makhluk yang memiliki kecenderungan beragama) dan sebagai homo-intelectual atau selalu mempunyai rasa ingin tahu (sense of cariousity), selalu menggantungkan pengetahuannya terhadap segala sesuatu yang bersifat misteri sebelum datangnya Sains. 

Misalnya, jika pada suatu saat terjadi sebuah bencana alam berupa gempa bumi, maka manusia sebagai mahluk yang memiliki kesadaran bertuhan akan menyandarkan segala sesuatunya kepada hal-hal yang bersifat misteri untuk meminta perlindungan dan keamanan dari rasa ketakutan. Kemudian, sebagai mahluk yang mempunyai dimensi kognitif atau intelektual, maka rasa ingin tahunya akan mendorongnya kepada sesuatu yang bersifat misteri dan pengetahuannya kemudian terbatas hanya dengan kesimpulan-kesimpulan yang bersifat parsial semata. 

Jika terjadi gunung meletus, manusia akan selalu menggantungkan pengetahuannya kepada segala sesuatu yang bersifat misteri, bahkan terkadang manusia menuhankan gunung tersebut karena ketidak-mampuannya dalam memecahkan teka-teki yang ada dibalik kejadian yang aneh itu, yang sebelum datangnya Sains kejadian gunung meletus seperti itu adalah dianggap sebagai kejadian yang bersifat supra natural. Demikian juga dengan fenomena alam yang lain, misalnya seperti terjadinya gerhana matahari, gerhana bulan, tsunami, tanah longsor, dan seterusnya, termasuk juga dengan segala kejadian yang menimpa diri manusia sendiri baik secara fisik maupun psikis.

Akan tetapi dengan datangnya Sains atau Ilmu Pengetahuan moderen, jika kita bertanya kepada seorang ahli gunung (ahli geologi) tentang kejadian gempa gunung meletus seperti itu, maka dia akan berkata sesungguhnya itu adalah fenomena alam yang biasa saja. Kemudian, jika terjadi gerhana dan kita tanyakan kepada seorang ahli astronomi, maka dia pun tidak akan kaget dengan semua itu, sebab dia sudah mengetahuinya tanpa rasa ragu sedikitpun, dan bahkan dia bisa memprediksi waktu terjadinya gerhana yang berikutnya. Demikian juga ketika kita tanyakan kepada seorang ahli psikologi mengapa manusia disaat sedang berada pada ketinggian bisa muncul rasa takut, maka dia akan mengemukakan alasan-alasan tertentu yang berasal dari sisi keilmuannya tentang karakter manusia. Begitupun seterusnya. 

Singkatnya, dengan datangnya Ilmu Pengetahuan atau Sains, maka misteri itu menjadi tersingkap. Dengan datangnya Sains, segala sesuatu yang tadinya bersifat misteri, kini berubah menjadi sebuah Ilmu Pengetahuan baru (Sains). Dengan datangnya Sains, manusia menjadi tahu bahwa apa yang dahulu diyakini sebagai tuhan-tuhan yang misterius itu adalah salah, karena misteri itu tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada pada saat itu secara meyakinkan dan ilmiyah.

Nah, karena kepalsuan dari misteri-misteri itu telah tersingkap, maka muncul sebuah aliran keagamaan jenis baru dalam sejarah umat manusia seperti saat sekarang ini, yaitu Agama Sains (Scientific Religion) yang berlandaskan pada nilai-nilai materialisme, dari sinilah muncul gagasan Atheisme. 

Mereka yang mengatas namakan diri mereka sebagai penganut Atheisme (orang-orang yang tidak mengakui keberadaan tuhan) adalah sebuah fenomena yang tidak sewajarnya terjadi bagi seorang manusia. Hal ini karena memang pada dasarnya manusia secara alami adalah homo-religious (makhluk yang berkepercaan), sehingga pada saat seseorang yang "mengklaim" dirinya tidak memiliki satu keterikatan tertentu dengan suatu agama, maka sebenarnya dia sedang keluar dari jalur kemanusiaannya. 

Fenomena Atheisme merupakan sebuah fenomena yang sangat tidak masuk akal, fenomena yang bertentengan dengan semangat kemanusiaan, seseorang yang mengaku menjadi pengikut paham atheisme adalah sesungguhnya hanyalah klaim kosong belaka yang tidak bisa dipertanggung-jawabkan keabsahan pernyatan tersebut. 

Seorang yang mengaku sebagai pengikut atheisme adalah dia yang sebenarnya berada dalam keadaan frustasi tingkat tinggi dikarenakan ketiadaan pilihan dari suatu bentuk keagamaan, yang pada akhirnya ketiadaan pilihan tersebut mendorongnya untuk melakukan sebuah tindakan derasionalisasi (merasionalisasikan ulang) segala bentuk pengetahuan yang hampa dari semanngat kemanusiaannya. 

Orang yang mengaku dirinya sebagai atheis ini sebenarnya secara tidak sadar dia telah memeluk suatu bentuk agama baru, yaitu agamanya adalah Sains. Dimana dia percaya bahwa dengan adanya Sains dia dapat melakukan dan mengetahui segalanya. Pada saat dia mempercayai Sains sebagai sumber inspirasi keilmuannya, maka secara tidak langsung dia telah menuhankan Sains tersebut. Jika seorang yang mengaku berpaham Atheisme itu menganggap dia tidak beragama dan tidak bertuhan, maka itu hanyalah pernyataan kosong yang tidak dipahaminya, karena dia hanya menerjemahkan agama itu bersifat formal, sementara ada juga agama yang bersifat non-formal sebagaimana yang sedang dianutnya itu, yaitu Agama Sains. 

Oleh sebab itu, dari pemaparan yang kami sajikan mulai dari bagian pertama tulisan ini hingga bagian terakhir ini, kita bisa menarik sebuah kesimpulan umum yang bersifat sederhana dan sekaligus rasional, bahwasanya tidak ada satu manusiapun di dunia ini yang tidak mempercayai adanya sesuatu dimensi lain diluar dirinya untuk memberitahuakannya tentang segala apa yang tidak dipahaminya, tidak ada seseorang pun yang tidak  memiliki sandaran hidup untuk menggantungkan setiap harapan dalam kehidupannya dikala dia sedang berada dalam situasi yang mengacaukan psikologisnya, dan tidak ada seorang pun yang tidak memiliki dan pempercayai agama tertentu. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun