Mohon tunggu...
Harun Al Rasyid Selano
Harun Al Rasyid Selano Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Sorong, Komisariat UNIMUDA.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mengapa Manusia Beragama? (Bagian 6)

31 Mei 2020   09:06 Diperbarui: 1 Juni 2020   12:38 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendekatan Sosiologis 

Tidak bisa dipungkiri oleh siapapun bahwa manusia adalah salah satu makhluk yang memiliki insting kebersamaan dalam suatu komunitas. Dengan adanya komunitas, manusia bisa dengan segala kemampuannya melakukan hal-hal besar yang diinginkan sebagai sebuah upaya untuk menebarkan nilai-nilai yang ada dan disepakati dalam komunitas tertentu, sebgai upaya untuk mengimbangi dan menjalani kehidupan secara bersama. 

Seorang sosiolog asal Prancis, Emile Durkheim, menyatakan pernyataan tentang alasan mengapa manusia beragama ini dengan menyebutkan bahwa alasan manusia beragama salah satunya adalah karena adanya faktor sosial berupa satu platform hidup yang disepakati secara bersama-sama dalam kehidupan manusia secara sosial. 

Jadi menurut Durkheim, karena adanya suatu pandangan hidup yang dianut secara bersama baik berupa perintah dan larangan, maka masyarakat kemudian akan membentuk komunitas-komunitas tertentu yang berfungsi sebagai sebuah institusi untuk menampung, mengayomi, dan menjalani apa yang menjadi platform hidup tersebut seraca bersama-sama. 

Yang mana kemudian jika platform hidup itu dijalani secara konsisten, maka hal tersebut akan mengkristal menjadi sebuah kebiasaan, dan kebiasaan itu kemudian perlahan berubah menjadi sebuah budaya, dan selanjutnya budaya itu bermetamorfosa menjadi suatu peradaban dan yang paling puncaknya adalah peraban tersebut berubah menjadi suatu kewajiban dalam komunitas tertentu. 

Dalam tulisan kami yang sebelumnya pada bagian pertama, telah kami angkat sebuah contoh bagaimana negara Indonesia ini bisa terbentuk atau "diadakan dan dibuat". Ketika kita merujuk kepada sejarah bangsa Indonesia, negara ini sebenarnya pada awalnya hanya sebuah ilusi belaka yang timbul dalam benak beberapa orang yang mempunyai kesamaan nasib dan keadaan.

Indinesia pada masa penjajahan Portugis dan Belanda adalah sebuah wilayah dengan atau kawasan yang pada waktu itu tidak diketahui kecuali dengan nama Nusantara. Karena orang-orang yang hidup pada daerah di seluruh kawasan nusantara waktu itu mendapatkan sebuah perlakuan yang sangat tidak manusiawi dari para penjajah, maka timbul solidaritas diantara pemimpin-pemimpin yang pada saat itu merupakan raja-raja dari kerajaan-kerajaan untuk melakukan perlawanan. 

Lebih jauh kemudian, situasi dan kondisi yang ada pada saat itu sangat memungkinkan para pejuang tersebut untuk membentuk suatu komunitas agar dapat memadukan kekuatan secara bersama-sama demi melawan para kolonial yang berbuat sewenang-wenang terhadap mereka. Maka karena mereka berangkat dari ketertindasan yang sama, rasa sakit yang sama, penderitaan yang sama, kemauan untuk bebas secara bersama-sama, sehingga pada akhirnya muncul solidaritas diantara mereka untuk mendirikan sebuah institusi yang dapat menampung seluruh dari masyarakat yang memikiki perasaan yang sama pula. 

Kejadian semacam itu sebagaimana yang dimaksudkan oleh Durkheim diatas, merupakan konsekuensi logis yang natural terjadi pada suatu komunitas tertentu sebagi bagian dari upaya pemenuhan hidup bersama dalam sebuah tatanan kehidupan yang mapan dan mempunyai platform hidup secara komunal. Salah satu faktor yang memunculkan adanya suatu keyakinan yang kemudian dikemas dalam sebuah institusi agama adalah dengan cara yang demikian dalam tinjauan atau perspektif sosiologis. 

Hal itu lebih lanjut menurut Emile Durkheim, masyarakan yang hidup dalam suatu tempat bisa mengkonsolidasikan diri mereka untuk membentuk suatu ajaran agama karena ada yang diperintah dan ada yang dilarang, dan perintah dan larangan ini kemudian dikonseptualisasikan dalam suatu komunitas bagi orang-orang tertentu karena memiliki kesamaan pandangan. 

Sebagai contoh agar mudah dipahami, jika dalam suatu kehidupan masyarakat ada orang-orang yang tidak suka memakan daging hewan, maka orang-orang tersebut kemudian berhimpun dan membentuk suatu komunitas tertentu agar ketidak-sukaan mereka kepada daging hewan itu dapat tersalurkan dengan baik dan lebih teratur. 

Contoh lain adalah jika dalam suatu kehidupan masyarakat ada sekumpulan manusia baik dalam jumlah besar maupun kecil suka menggunakan jenis kain wol untuk berpakaian, maka orang-orang tersebut kemudian membentuk sebuah kelompok untuk berkumpul agar keserasian pakaian mereka itu bisa diatur dalam suatu tata aturan tertentu.

Nah, karena adanya faktor kesamaan dalam pandangan (platform) hidup secara komunal tersebut, maka mereka kemudian membentuk komunitas-komunitas tertentu sebagai sebuah wadah untuk hidup bersama pula dalam suatu aturan yang bersifat mengikat. Jadi dalam faktor sosiologis ini, bukan apa yang menjadi tujuan atau pandangan dan platformnya yang penting, tetapi yang terpenting adalah komunitas yang dibuat itu. 

Agama pun demikian, lanjut menurut Durkheim, karena adanya faktor-faktor yang disepakati secara bersama-sama baik dalam bentuk perintah dan larangan maupun orientasi hidup, maka faktor-faktor kesamaan tersebut kemudian diinstitusikan dan disakralkan. Nah, kesakralan itulah yang kemudian kedepannya berubah menjadi sebuah norma yang menjadi landasan hukum dalam komunitas-komunitas tertentu. 

Jadi yang paling penting dan menjadi standing poin dalam tulisan kami pada bagian keenam ini adalah, bagaimana suatu kesamaan pandangan atau platform hidup dapat berubah menjadi suatu komunitas. Sehingga bukan isi dari komunitas itu yang penting, tetapi yang paling penting adalah komunitas itu sendiri. Jadi society makes religion (masyarakatlah yang membuat agama). 

Yang berikutnya, jawaban yang bisa diberikan untuk menjawab pertanyaan mengapa manusia beragama ini jika ditinjau dari perspektif sosiologis, ada juga pandangan lain yang menyebutkan berikut 'ketika anda percaya bahwa tuhan melihat anda meskipun tidak ada orang lain yang melihat anda, maka akan bersifat sosial, dan atau berbuat baik kepada orang lain (memiliki kepekaan sosial) dimanapun anda berada. Karena kemanapun anda melangkah, disitu ada tuhan yang selalu menyertai anda'. 

Jadi menurut pandangan ini, karena seseorang itu meyakini bahwa tuhan senantiasa bersamanya baik dalam kesendirian maupun berkelompok, dia akan menjadi manusia yang bermoral atau etik. Sehingga lebih jauh menurut pandangan ini, agama itu berfungsi sebagai suatu institusi moral. Hanya saja, perlu diketahui bahwa agama sebagai sumber moral ini adalah jenis agama yang muncul belakangan, sedangkan sebelumnya ada agama-agama yang bersifat netral yang juga menjadi inatitusi moral yang eksistensinya sudah ada jauh-jauh hari sebelumnya. Sehingga harus ada penjelasan lebih lanjut tentang hal ini. 

Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun