Dimensi Psikologis-HumasitikÂ
Pada bagian keempat dari tulisan sebelumnya, kita telah membahas tentang beberapa isme yang memiliki ciri, keunikan serta pendirian dan konsep yang berbeda dalam menyimpulkan suatu periswa yang kemudian kesimpulan tersebut berubah menjadi sebuah sistem kepercayaan atau agama.
Pada bagian yang kelima ini, kami akan mencoba untuk menguraikan secara sesederhana mungkin dan juga apa adanya, tentang salah satu alasan mengapa manusia beragama melalui pendekatan Psikologis-Humanistik.
Kita sering mendengarkan perkataan yang menyebutkan bahwa beragama adalah bagian dari karekteristik manusia yang bersifat bawaan, yang kemudian dalam istilah keagamaan dalam Islam disebut sebagai fitrah manusia, (perlu untuk diingat, bahwa pada bagian-bagian ini, kita belum memfokuskan pembahasan kepada suatu ajaran agama tertentu, karena fokus kajian kita saat ini masih membahas alasan-alasan rasional mengapa manusia beragama tanpa memandang benar dan salahnya suatu ajaran agama).Â
Dalam neuro science dan kognitif science, sebuah penelitian mengungkapkan faktah menarik terkait keadaan seorang anak yang masih berusia dibawah lima tahun, bahwa ketika seseorang yang masih berusia dini seperti itu, dia telah mempunyai insting ketuhanan meskipun belum pernah diajarkan kepadanya sama sekali tentang tuhan.Â
Lebih lanjut, perasaan seseorang ketika berada dalam suatu pengalaman dan kesendian mendorongnya untuk merenungkan setiap kejadian baik yang terjadi pada dimensi internal dalam dirinya maupun diluar dari pada dorinya.
Selain itu dia akan mencari suatu ketenangan batin sebagai tempat untuk mengadukan segala sesuatu yang berkaitan dengan segala isi hatinya.Â
Keadaan itu kemudian mendorongnya untuk berinteraksi dengan sesuatu apapun yang bersifat immateri terlepas dari apapun namanya. Hal semacam itu merupakan sebuah konsekuensi logis dari seseorang yang memiliki dimensi psikologis dan humanistik dalam dirinya.
Secara umum, ada beberapa hal yang dapat kita telisik untuk mengungkapkan alasan mengapa manusia memerlukan suatu agama melalui pendekatan psikologis humanistik, hal-hal tersebut diantaranya adalah sebagai berikut ;Â
1. Ketakutan (Fear).
Secara psikologis-humanistik, rasa takut merupakan sebuah hal yang bersifat bawaan oleh setiap maususia. Karena hal ini adalah manusiawi, maka pada saat seseorang yang berada pada suatu keadaan yang menakutkan seperti misalnya dia berada dalam kegelapan, ketinggian, diancam bunuh, dan sejenisnya, maka seseorang itu akan mencari suatu perlindungan agar terhindar dan dapat menghilangkan semua perasaan takut tersebut, sekaligus sebagai sebuah institusi moral yang dapat mendorongnya melakukan sesuatu berdasarkan etos-etos yang wajar.Â
2. Panik (Panic).Â
Ketika seseorang akan tenggelam di lautan bebas, maka dia akan berpegang kepada segala sesuatu berupa benda-benda yang terapung di sekelilingnya, hal ini karena secara psikologis-humanistik, manusia mempunyai sifat bawaan yaitu rasa panik ketika dilerhadapkan pada sebuah situasi yang mencekam. Maka seperti orang yang akan tenggelam tadi, dia kemudian mencari apapun yang ada di dekatnya sebagai upaya untuk setidaknya mengapung untuk menarik nafas dan memberikan harapan hidup kepadanya.Â
3. Harap (Hope)
Harapan merupakan bagian dari hudup manusia yang dapat memberikan ketegaran dan keberanian tersendiri kepada seseorang dalam menjalankan setiap keinginannya. Seseorang yang ingin betlayar dengan menggunakan sebuah kapal di atas samudera yang luas dan membiru, ditambah lagi dengan deras dan besarnya ukuran gelombang disertai cuaca yang tidak bersahabat.
Atau seirang pilot yang akan mengendarai sebuah pesawat terbang yang memuat barang dan jasa ke suatu tempat dalam situasi cuaca yang buruk. Disaat-saat seperti itu, secara psikologis-humanustik, manusia kemudian menyandarkan harapannya kepada sesuatu yang berada di luar dimensi dirinya untuk senantiasa bertindak sebagai penjaga yang kemudian dapat menjamin keselamatannya.Â
4. Kekaguman (Admiring)
Salah  satu faktor yang mendorong seorang manusia untuk masuk ke dalam suatu institusi atau sistem keagamaan dari dimensi psikologis-humanistik adalah adanya rasa kekaguman terhadap sesuatu yang menarik atau nemiliki nilai eksotis. Misalnya disaat terjadi hujan lebat yang kemudian mereda, di sela-sela hentapan embun dan langit yang berawan muncul sekelompok warna yang indah mengiasi sudut langit (pelangi).Â
Manusia ketika melihat hal tersebut, maka secara spontanitas kemudian mempunyai semacam 'insting' untuk memuji benda atau warna yang muncul itu. Karena kekaguman tersebut, sehingga seseorang mulai dengan tingkat dan kapasitas intelektualnya kemudian mencaritahu tentang pelangi tersebut bagaimana hal itu bisa terjadi dan dari mana hal itu berasal.Â
5. Perasaan Cinta
Motif lain yang mendorong seseorang untuk beragama ditinjau dari segi psikologis-humanistik adalah rasa cinta. Cinta merupakan sebuah kata yang tidak memiliki suatu defenisi yang permanen bagi semua orang karena berasal dari hati dan pengalaman yang berbeda. Seseorang yang mencintai sesuatu objek tertentu, maka secara naluriah dia akan melakukan segala sesuatu demi kecintaannya itu, sikap rela-berkorban demi mempertahankan apa yang dicintai membuat dia terkurung dalam suatu ruang gerak yang terbatas ketika apa yang dicintainya itu bersifat membelenggu. Karena rasa kecintaan manusia kepada suatu objek ini pula, maka kemudian muncul rasa kagum dan pada akhirnya akan bermuara kepada suatu bentuk puji-pujian.Â
Perasaan-perasaan pada dimensi psikologis-humanistik seperti yang kita sebutkan diatas itu, memiliki andil yang sangat besar, atau secara rasional mampu meyakinkan seseorang untuk melibatkan dirinya berkerumun, terjun serta mengabdikan dan menggantungkan hidupnya kepada suatu sistem kepercayaan (agama). Terlepas dari apapun sistem kepercayaan atau agamanya, pada intinya adalah semua manusia memiliki naluri untuk beragama.
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H