Mohon tunggu...
Lyfe

Kahlil Gibran & Max Weber; Soal Cinta & Cita

15 Februari 2016   11:19 Diperbarui: 15 Februari 2016   11:29 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kahlil Gibran menyiratkan perihal penting umat manusia, katanya berkesimpulan. “Hidup tanpa cinta laksana pohon tanpa bunga dan buah. Dan cinta tanpa keindahan laksana bunga tanpa keharuman dan buah tanpa biji.. Hidup, cinta dan keindahan adalah tiga perkara dalam satu, yang tak dipisahkan ataupun diubah.”

Semua orang mendambakan tiga prihal penting di atas. Dalam arti, hidup belum sempurna bila tak ada cinta, dan cinta pun tidak akan mewangi bila tak ada keindahan yang menghembus dari cinta itu sendiri. Semua orang sejatinya sudah sadar perihal ini. Kekurangan dan kesepian dalam hidupnya mendorongya untuk berjuang dan berkorban, dan keindahan yang didapatkan dalam cinta itu menjadikan alasan membuatnya terus bertahan.

Namun, tak semua berjalan mulus dan mudah didapatkan. Sebab di sisi lain, kegagalan menjadi teman meraih ketiga itu. Entah kegagalan bercinta, dan tak menemukan keindahan itu sendiri. Cinta tak bisa dipaksakan, keindahan pun tak bisa dibuat-buat.

            Tapi perlu diingat, kegagalan terjadi karena ada kesalahan. Entah tehnis, paradigma dan memposisikan diri dalam proses itu. Kegagalan yang disebabkan kesalahan itu pun sering membuat pelakunya menjadi sedih, galau, kecewa, marah, sebal, jengkel, kesal dan pusing pasti muncul ketika menemui kegagalan dan menghadapi kekalahan lebih-lebih memperebutkan orang spesial (kekasih pujaan).

 

Paradigma cinta Kahlil Gibran

            Kegagalan dalam bercinta paling banyak disebabkan oleh dua faktor penting di antaranya; salah paradigma dan tak siap menghadapi kegagalan itu sendiri. (a). Kesalahan paradigma, hal ini harus diakui sebab merupakan pondasi awal memandang cinta itu sendiri seperti apa. Dalam hal ini ada paradigma yang sangat bagus dari penyair Kahlil Gibran yang merupakan gurunya Ariel Noah dalam perjalanan manusia menemukan cinta, dan kisah muda-mudi di panggung cinta. Pandangan Gibran dalam hal cinta yang ditulis dengan judul “Nasihat Ruhku” seperti ini; “sebelum ruhku menasihatiku, cinta yang ada dalam hatiku laksana benang kecil yang terkait di antara dua pasak. Tetapi sekarang cinta telah menjadi sebuah lingkaran cahaya yang awalnya adalah akhirnya, dan akhirnya adalah awalnya. Lingkaran cahaya itu mengelilingi setiap makhluk dan meluas dengan perlahan memeluk semua yang hidup.” Artinya, cahaya cinta yang tidak memiliki ujung (awal adalah akhirnya dan akhir adalah awalnya) itu tidak akan putus-putus dan terus berputar, bukan seperti benang merah yang tersangkut di pasak yang sering ada di benak sebagian orang.

            Dengan begitu, semua harus optimis dan santai sambil memperlihatkan keindahan yang ada pada dirinya karena cinta itu sudah mengelilinginya. Agar lebih paham dan yakin secara mendalam cermatilah lirik-lirik lagu Band Noah yang dentuman musiknya terus-menerus mengelilingi lingkaran cahaya cinta itu bak rel kereta api tanpa putus-putusnya. Maka tak heran bila Ariel dan Band Noah dijuluki “Seruling Bandung.”

Paradigma kemajuan Max Weber

Setelah memahami paradigma yang bagus, tinggal menemukan paradigma untuk sebuah kemajuan untuk melengkapi ketiga unsur penting di atas. Dalam arti, kesalahan paradigma yang menyebabkan orang gagal dan tidak maju bisa ditemukan tali-temalinya di tulisan ini. Sebab, sebagian besar seseorang mengalami kesalahan dua kali (doble paradigma). Kegagalan dan tidak bisa maju. Apalagi di kampung-kampung. Hal ini sudah dikemukakan oleh Mangun Wijaya dengan pernyataan. “Orang miskin, lemah, labil, dan agraris belum mengalami kesadaran pencerahan, dan karena itu masih sempit horizonnya, primordial, dan emosional cita rasanya.” Untuk itulah perlu diberikan pemahaman yang progresif prihal keterbelakangannya agar lebih maju sebab manusia unggul menurut Mangun selalu liberal dan sangat suka pada demokrasi liberal, pada kebebasan dan sebagainya. Karena ia punya kemampuan dan modal untuk bertarung dalam medan pergulatan dan kompetisi politik, ekonomi dan kultural.

            Kedua paradigma di atas, lalu disempurnakan secara mendasar oleh sosiolog Jerman Max Weber dengan menawarkan etika Protestan. Max Weber sebenarnya bukan teolog tapi sosiolog yang ingin mengubah dunia dari keterbelakangan menuju kemajuan, kesejahteraan dan kemakmuran. Ia menawarkan agama itu jangan dilihat dari asketisme yang bicara soal nanti atau akhirat. Sebab, agama pada sejatinya harus mendorong kemajuan umat manusia. Sehingga agama bukan soal nanti tapi sekarang. Tentang rill kehidupan sehari, HAM dan kemiskinan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun