Mohon tunggu...
Politik

HPN 2016 dan Pembekuan “Media” Unram

5 November 2015   13:24 Diperbarui: 9 Februari 2016   17:55 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Secara bersamaan berita keputusan akan dilaksanakannya Hari Pers Nasional (HPN) 2016, di Nusa Tenggara Barat pada Februari mendatang, dengan kasus pembekuan pers mahasiswa Universitas Mataram (Unram) yang bernama Media pada hari Senin (2/11) lalu.

Pada edisi Selasa (3/11), ketiga media cetak yang akrab dibaca oleh masyarakat NTB  memberitakan hajjatan besar para insan pers di tanah air tersebut. Misalnya, harian nasional Kompas menulis judul “Kontrol Pers Akan Menjamin Pemerataan.” Harian nasional Republika menulis judul “NTB Siap Jadi Tuan Rumah Hari Pers Nasional”, sementara harian Lombok Post menulis judul “HPN 2016, Bakal Terbaik Dalam Sejarah.”

Di saat ketiga media itu berbeda dalam kepemilikan dan judulnya, isi dan maksudnya pun jelas berbeda. Kendati sumbernya sama yakni diskusi yang diselenggarakan di Jakarta, dengan narasumber utama Prof Dr. Bagir Manan selaku Ketua Dewan Pers dan Dr TGH. Muhammad Zainul Majdi selaku Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB).

Harian Republika dan Lombok Post memprioritaskan dalam leadnya kepada apa yang dikatakan oleh Gubernur NTB atas kesanggupan dan keyakinannya sebagai tuan rumah dan acara ini nantinya akan berlangsung sukses dan semarak-mengesankan sepanjang sejarah. “Daerah kami ini merupakan daerah yang memiliki akselerasi pembangunan yang paling baik. Kami membuka lebar bagi para insan pers yang hendak berkunjung ke kami,” ujar TGB sebagaimana dikutip Republika, “Saya berikhtiar hari Pers Nasional tahun depan akan menjadi hari pers terbaik yang pernah ada,” pernyataan TGB sebagaimana diberitakan Lombok Post.

Sebagai pembaca ketiga media cetak di atas, penulis penasaran tentang bagaimana pemberitaan peristiwa diskusi tersebut di harian Kompas tentunya setelah membacanya sampai selesai duduk perkaranya di Republika dan Lombok Post. Penulis pergi ke kios langganan “Pisang Tiga” tapi sudah tutup, ke perempatan yang biasa tempat saya beli sudah habis, maklum sudah jam 5 sore, dan mau ke kandangnya yang mewah Toko Buku Gramedia Lombok, enggak jadi, masak mau beli Koran Kompas seharga Rp 45.00 harus masuk toko buku lantai dua dan bayar parkirnya permenit. Nyalah lalo’ meton.., bahasa Lombok Timurnya.

Besok siangnya hari Rabu, saya cari edisi Selasa ke warung Koran majalah langganan “Warung Pisang Tiga” Kompas edisi Selasa penulis temukan dan langsung bayar Rp. 6.000. Saya lihat bolak balik halaman pertama, kedua dan seterusnya enggak ketemu-ketemu berita diskusi HPN 2016. Rupanya harian ini tidak memuat berita itu, padahal ini tentang pers?! Kata saya kepada Ibu yang jualan. Baca-baca sudah semua Koran di sini saya mau masuk dulu, kata Ibu yang berasal dari Penede Gandor Labuhan Haji itu sambil menunjuk tumpukan Koran yang terserak di atas meja jualannya.

Rupanya setelah baca satu persatu dari yang paling penting dan menarik menurut hemat penulis, berita diskusi HPN di Jakarta yang bertema “Pers, Laut, dan Kesejahteraan Daerah” saya temukan di halam “5” (POLITIK & HUKUM). Dengan judul “Kontrol Pers Akan Menjamin Pemerataan”.

Bedanya dengan pemberitaan Republika dan Lombok Post di atas, nama Gubernur NTB-Dr TGH. Muhammad Zainul Majdi tidak ada, dan pernyataannya tidak dimuat. Berita Kompas itu berisi penegasan pers sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam pembangunan nasional, selain sebagai pendorong pembangunan yang merata di semua daerah, pengawasan pers yang sarat “kritik” akan membantu menjaga proses pembangunan sebagaimana mestinya tanpa penyimpangan.

“Kendati demikian, pers Indonesia diingatkan untuk tetap berhati-hati dalam memberitakan dan “mengkritisi” kebijakan. Pers harus berpegang teguh pada fakta dan etika agar tidak melewati batasan kesantunan dalam menyampaikan “kritik”.

Penegasan ini disampaikan oleh Ketua Dewan Pers Bagir Manan sebagaimana dikutip Kompas. Lalu bagaimana dengan kasus pers mahasiswa Media Universitas Mataram (Unram) yang dibekukan sampai Desember 2015?

Pak Gub.., dan Pak Rektor

Apapun alasan pembekuan Media Unram itu akan merusak nama baik NTB yang akan menjadi tuan rumah HPN 2016 mendatang, apalagi berita tentang pengusiran para awak kampus Unram itu dari lantai 2 di gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Unram PKM yang selama ini menjadi markas Media sudah menyebar ke seantero insan pers dan masyarakat Indonesia. Mereka diusir dan harus mengemasi barang-barangnya. Padahal, para pengurus pers kampus itu masih beraktivitas di gedung tersebut. Dan saat ini, redaksi pers kampus dikabarkan masih menunggu surat keputusan pembekuan kepengurusan Media periode 2015. Dan apabila Pemimpin Redaksinya Marlinda Ramdhani berupaya menggalang dukungan moral dari alumni Media dan sesama pers kampus lain, dengan harapan Media tetap bisa terbit sebagai kontrol dengan tetap mengedepankan kode etik jurnalistik, kiranya dipermudah.

Sebab, jangan sampai daerah kita yang dipercaya sebagai provinsi ramah pers dan terbuka terhadap pemberitaan kritik kontruktif dikelaim sebagai daerah yang membatasi keberadaan pers kampus sebagai kontrol kebijakan kampus, dan sebagai pilar keempat kehidupan berdemokrasi di era reformasi ini.

Janji Gubernur “Saya berikhtiar hari pers nasional tahun depan akan menjadi hari pers terbaik yang pernah ada” semestinya komitmen ini dimulai dari sekarang sebelum hari H pada bulan Februari 2016 mendatang. Lebih-lebih pembekuan pers mahasiswa ini terjadi di Perguruan Tinggi termuka NTB Universitas Mataram.            Kesempatan bagi NTB sebagai tuan rumah adalah tahun 2016 mendatang, kendati hal ini jauh sebelumnya jadi impian Bapak Gubernur, dan kesempatan menyelesaikan masalah ini secepatnya dengan rektor bersangkutan dan menasehati para awak Media sekarang ini adalah kesempatan yang pas sebelum hari H nantinya, sehingga janji itu bukan sekadar janji tanpa bukti yang akan disaksikan oleh tamu insan pers tanah air.

Dan kepada rektor Unram bersangkutan, janganlah dengan mengucurkan dana Rp 4 juta sebagai dana penerbitan menjadikan pihak Unram membatasi sikap kritis pemberitaan Media menyangkut kebijakan kampus. Dilihat dari kacamata Orde Baru sebagaimana dikatakan Daniel Dhakidae pemimpin umum dan pemimpin redaksi Prisma; kepala Litbang Kompas 1995-2005 mengatakan, dengan modal yang ada bisa mengerjakan tindakan diktatorial dengan lebih leluasa. Mahasiswa sudah dikandangkan di kampus; surat kabar kampus tidak boleh terlalu kritis. Diskusi politik dilarang di kampus atau boleh berlangsung dengan izin tertulis rektor. Dengan begitu, rektor menjadi otoriter di kampus. 

Membentuk publik argumentatif

Pengajar Filsafat di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Rocky Gerung menegaskan, “masyarakat politik dibentuk oleh pers. Pers menghadirkan politik sebagai menu publik untuk memelihara kesehatan demokrasi. Artinya, melalui pers pikiran publik dipertaruhkan pada suhu akal sehat, yaitu suhu kemungkinan percakapan dan perselisihan politik berlangsung terbuka, tanpa manipulasi, tanpa distorsi. Di situlah letak kecerdasan pers. Sebaliknya, kedunguan pers segera terlihat ketika duduk perkara publik ia pahami (dan manfaatkan) sebagai lahan transaksi. Mengikuti nalar Rocky Gerung di atas, jadi, bila kondisi publik (masyarakat/mahasiswa) memperlihatkan defisit argumentasi publik dan sebaliknya surplus retorika doktriner, kepada perslah tanggung jawab itu harus ditagihkan.

Kasus pembekuan Media Unram dikabarkan dalam pemberitaannya tidak dilakukan melalui check and recheck dan alasan kedua “ketua pengurus pers Media Unram hanya memiliki indeks prestasi (IP) di bawah 3,00. Padahal peraturan Rektor Unram Nomor 1 Tahun 2015 mensyaratkan pengurus Unit Kegiatan Pers Kampus Mahasiswa (UKPKM) harus memiliki IP 3,0.”

Syarat ini rupanya sangat bagus. Akan tetapi, persoalan IP mahasiswa bisa direkayasa oleh dosen bersangkutan, tergantung dosennya, patut atau tidak mahasiswa itu mendapatkan nilai di bawah dan di atas 3,00-bila dalam proses diskusi dan tulisannya di media yang mereka pimpin dan kelola merugikan (memusuhi) kampus atas pemberitannya yang dibiayai penerbitannya oleh kampus.  Di sini, yang membiayai tak mau dirugikan dan dikritik blak-blakan, persyaratan, peraturan kampus, dan alasan, dioreantasikan agar pers tunduk pada rezim kampus. Tak ada lagi publik yang argumentatif kalau begini persoalannya. Dan untuk itu, kepada para pemegang kepentingan yang sangat berharap menjadikan NTB sebagai tuan rumah Hari Pers Nasional Februari 2016 mendatang, sekarang adalah momen yang paling tepat untuk membicarakan permasalahan di atas, sebelum acara nasional insan pers itu dilaksanakan, serta janji Bapak Gubernur menjadikan hari itu sebagai yang terbaik sepanjang sejarah pelaksanaannya dari daerah-daerah lain menjadi terkesan dan maujud secara subtansial. Wallah A’lam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun