Kyai Ageng Selo memiliki nama asli Ki Ageng Ngabrurahman Sela dan nama kecil yaitu Raden Bagus Songgom. Beliau lahir dari pasangan suami istri yang Bernama Kyai Getas Pendawa Putra Bondan Kejawen atau biasa disebut Lembu Peteng Putra Brawijaya V dengan Putri Wandan Kuning. Diperkirakan Kyai Ageng Selo lahir pada akhir abad 15 atau awal abad 16. Ki Ageng Selo adalah keturunan daripada Raja Brawijaya, Raja yang terakhir dari Majapahit. Pada awal abad ke-16 tepatnya saat kepemimpinaan dari Sultan Trenggana Ki Agemg Selo menjalankan kehidupannya pada masa Kerajaan Demak
Saat masih remaja, Ki Ageng Selo pernah mendaftarkan diri untuk masuk sebagai Prajurit Tamtama Pasukan Penggempur Kerajaan Demak. Sayangnya, ia ditolak sebab gagal dalam ujian menggalahkan Banteng, padahal saat itu Ki Ageng Selo memalingkan wajahnya karena memukul banteng tersebut hingga memancarkan darah. Akan tetapi tindakannya itu dianggap sebagai kelemahan Ki Ageng selo yang mana Ki Ageng Selo dianggap takut dengan darah sehingga dapat dikatakan bahwa ia tidak memenuhi syarat dan akhirnya tertolak.
Setelah menelan rasa kekecewaan karena tertolak, Ki Ageng Selo berencana untuk mendirikan Kerajaannya sendiri, ia lalu pergi ke desa di Kabupaten Grobongan dan disana ia hidup menjadi seorang petani sambil mempelajari ilmu agama dan filsafat.
Alkisah, saat Ki Ageng Selo tengah memacul di sawah. Langit tiba-tiba berubah menjadi mendung dan tak lama kemudian turunlah hujan deras disertai petir. Lama-kelamaan petir tersebut kian menjadi-jadi, para warga yang masih di sawah pun takut dan akhirnya memilih untuk menyelamatkan diri. Namun Ki Ageng Selo masih melanjutkan aktivitasnya tanpa rasa takut. Tiba-tiba petir menyambar dirinya, tetapi Ki Ageng Selo berhasil menangkap petir itu dengan kesaktiannya. Konon petir itu berwujud seekor naga. Kemudian setelah menangkap petir tersebut Ki Ageng Selo mengikatnya ke pohon gandrik dan membawanya ke sultan Demak. Disaat Ki Ageng Selo sedang membawa petir itu ke sultan Demak tiba-tiba petir itu berubah menjadi seorang kakek. Sesampainya di kesultanan Demak kakek itu kemudian di tahan didalam jeruji besi dan dipertunjukkan di alun-alun. Tak lama kemudian datanglah seorang nenek-nenek yang menghampiri kakek yang ditahan tersebut lalu memberikan minum, setelah kakek itu meminum air pemberian nenek tersebut tiba-tiba petir menyambar dengan keras kemuadian kakek nenek itu seketika menghilang. Kisah tersebutlah yang membuat Ki Ageng Selo dijuluki sebagai Sang Penakluk Petir. Untuk mengabadikan peristiwa tersebut dibuatkanlah ukiran gambar petir yang dipasang di pintu depan masjid agung Demak. Ukiran tersebut dapat dilihat sampai saat ini.
Ki Ageng Selo terkenal memiliki sifat yang lemah lembut, baik hati, suka menolong, bijaksana, pandai berbahasa dan sastra. Selain itu, Ki Ageng Selo meninggalkan wasiat atau pepali. Pepali itu tertulis amat besar di depan pintu masuknya makam Ki Ageng Selo. Makam tersebut berada di Desa Selo, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobogan. Â Pepali tersebut berbunyi:
Pepaliku ajinen mbrekati
Tur selamet sarta kuwarasan
Pepali iku mangkene:
- Aja agawe angkuh
- Aja ladak lan aja jail,
- Aja ati serakah,
- Lan aja celimut,
- Lan aja mburu aleman,
- Aja ladak, wong ladak pan gelis mati,
- Lan aja ati ngiwo.
Yang artinya:
Pepaliku hargailah, (supaya) memberkati
Lagi pula selamat serta sehat
Pepaliku itu seperti berikut:
- Jangan berbuat angkuh
- Jangan bengis dan jangan jahil,
- Jangan hati serakah,
- Dan jangan Panjang tangan,
- Dan jangan memburu pujian,
- Jangan angkuh, orang angkuh lekas mati,
- Dan jagan cenderung ke kiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H