Mohon tunggu...
Selamet
Selamet Mohon Tunggu... Wiraswasta - Indonesia

Manusia yang ingin SELALU menulis segala sesuatu yang BERMANFAAT.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

NU Kembalilah ke Khittah, Politik NU Itu Politik Tinggi

24 Desember 2018   21:17 Diperbarui: 24 Desember 2018   21:39 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nadlatul Ulama (NU) dalam peran Politik Indonesia cukup punya andil. Baik tingkat daerah maupun nasional. Sebagai organisasi yang besar tentu menjadi sesuatu yang perlu dipertimbangkan dengan baik jika membawa NU ke ranah politik praktis.

KH Ahmad Mustofa Bisri atau yang lebih dikenal Gus Mus, mengingatkan kembali warga Nahdliyin agar mengingat khittah Nahdlatul Ulama dalam hal berpolitik.

"Bahwa NU secara organisatoris tidak ada kaitannya dengan partai politik, dan tidak berurusan dengan politik praktis. Istilahnya Pak Kyai Sahal dulu, Rais Aam itu, politik NU itu politik tinggi, bukan polkik rendah. Maksudnya politik kebangsaan, politik kerakyatan, itu yang dianggap oleh NU. Bukan politik kekuasaan atau politik praktis," Jelas beliau dirujuk dari sumber.

"Kalau warga NU itu sama dengan warga negara lainnya, punyai hak politk, ya silakan. Yang tidak boleh itu kalau Anda sudah menjadi pengurus NU secara struktural, jangan bawa NU (ke ranah politik). Sampean (secara) pribadi saja (kalau ke ranah politik)," tegas Gus Mus yang pernah menjadi Rais 'Aam PBNU 2014-2015 ini.

Gus Mus (dok.nu)
Gus Mus (dok.nu)
Merujuk dari website NU dengan artikel berjudul pedoman politik NU, berikut sembilan pedoman berpolitik warga NU hasil Muktamar ke-28 NU tahun 1989 di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta:

Ketika NU Kembali ke Khittah 1926 di mana NU tidak lagi menjadi partai politik atau bagian dari partai politik dan tidak terikat oleh partai politik manapun, dengan sendirinya masyarakat yang selama ini cara berpolitiknya ditentukan oleh pimpinan pusat organisasi mengalami banyak kebingungan. Mengingat adanya perubahan politik dari stelsel kelompok atau organisasi menjadi stelsel individual ini, NU merasa perlu memberi petunjuk agar warganya tetap menggunakan hak politik mereka secara benar dan bertangung jawab. Karena itulah, lima tahun setelah keputusan Muktamar Situbondo 1984, Muktamar NU tahun 1989 merumuskan pedoman berpolitik bagi warga Nahdliyin dengan menekankan akhlaqul karimah, baik berupa etika sosial maupun norma politik.

Dengan demikian keterlibatan warga NU dengan partai politik yang ada bersifat individual, tidak atas nama organisasi, karena NU telah kembali menjadi organisiasi sosial keagamaan yang mengurusi masalah sosial, pendidikan dan dakwah. Namun demikian NU mengimbau pada warganya agar melakukan politik secara benar dan bertanggung jawab dan dengan citacita menegakkan akhlaqul karimah dan dijalankan dengan proses yang selalu berpegang pada prinsi pakhlaqul karimah.

Mengingat pentingnya politik sebagai sebuah sarana perjuangan, di samping sarana sosial dan pendiikan, maka warga Nahdliyin diberikan tuntunan yang mudah dipahami dan sekaligus mudah dilaksanakan. Melalui sembilan pedoman berpolitik warga NU ini diharapkan kaum Nahdliyin bisa menjadi teladan dalam menjalankan politik, di mana norma dan etika selalu dikedepankan.

Walaupun untuk mencapai cita-cita itu penuh halangan, terutama dengan tumbuhnya pragmatisme dewasa ini. Namun demikian prinsip perlu ditegakkan walaupun mungkin dianggap tidak relevan, tetapi ini merupakan misi abadi yang harus ditegakkan bersama dengan menegakkan agama, karena warga Nahdliyin telah berikrar untuk mengintegrasikan perjuangannya dalam perjuangan bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Dengan mempertimbangkan arah pembangunan politik yang dicanangkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), sebagai usaha untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan diarahkan untuk lebih memantapkan perwujudan Demokrasi Pancasila, Muktamar merasa perlu memberikan pedoman kepada warga Nahdlatul Ulama yang menggunakan hak-hak politiknya, agar ikut mengembangkan budaya politik yang sehat dan bertanggung jawab agar dapat ikut serta menumbuhkan sikap hidup yang demokratis, konstitusional serta membangun mekanisme musyawarah mufakat dalam memecahkan setiap masalah yang dihadapi bersama, sebagai berikut ini:

1. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD1945.

2. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya mamsyarakat adil dan makmur lahir dan batin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akhirat.

3. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah pengembanagan nilai-nilai kemerdekaaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.

4. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika dan budaya yang berketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijakasanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

5. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati, serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama. 

6. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional, dan dilaksanakan sesuai dengan akhlakul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah.

7. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama, dengan dalih apapun tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecahbelah persatuan.

8. Perbedan pandangan di antara aspirasi-aspirasi politik warga Nahdlatul Ulama harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu' dan saling menghargai satu sama lain, sehingga dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama.

9. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisiasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan. 


Berita tentang pengurus NU mengajak untuk memanfaatkan jaringan NU yang ada mulai dari PCNU, Lembaga atau Banom NU sampai ranting memenangkan salah satu calon tentunya tak sejalan dengan Khittah NU.

NU adalah organisasi yang besar. Mengakar sampai ke pelosok negeri. Jumlah Nahdliyin pun bisa ajdi melebihi mereka yang memiliki Kartu tanda Anggota NU atau kartanu. Semoga NU kembali pada Khittah-nya. Maaf bila ada yang kurang berkenan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun