Mohon tunggu...
Selamet afrian
Selamet afrian Mohon Tunggu... Penulis - Saya Mahasiswa Prodi Filsafat

Berkarya Tanpa Batas

Selanjutnya

Tutup

Money

Beberapa Praktik Keagamaan yang Secara Gender Bermasalah

22 Juni 2020   11:51 Diperbarui: 22 Juni 2020   12:04 662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Oleh: Selamet Afrian

****

1).
         Sejatinya islam adalah agama yang benar-benar sangat jelas dalam ajarannya selalu memberitahukan kepada pemeluknya akan pentingnya “kesetaraan”, sudah jelas dalam hal ini islam tidak mempermasalahkan perbedaan-perbedaan atau diferensiasi dari latar belakang pemeluknya. Entah itu pemeluk tersebut merupakan seorang yang kaya ataupun seorang yang miskin dari segi harta, seorang raja atau masyarakat biasa dalam segi tingkat kedudukan atau jabatan secara umum, tidak peduli seseorang yang berpendidikan tinggi ataupun seseorang yang berpendidikan rendah, tidak peduli seseorang itu gemuk atau seseorang itu kurus dari segi kondisi fisik, tidak peduli seseorang itu laki-laki ataupun perempuan dari segi jenis kelamin, dan lain sebagainya. Pada dasarnya klasifikasi tersebut dalam kacamata agama islam, bahkan dalam penilaian dimata Allah SWT tidak berarti apa-apa, akan tetapi yang dituju dalam hal ini adalah kepada nilai ketakwaannya terhadap Allah SWT sang maha pencipta.
        

     Namun dalam hal ini ternyata masih ada saja atau masih sering kita temukan sesuatu yang katakanlah menyimpang terhadap ajaran agama islam terkait dengan yang sudah jelas telah sedikit dijelaskan diatas. Salah satunya yang dalam hal ini penulis contohkan praktik yang berkaitan dengan permasalahan gender, dimana masih terdapatnya orang yang masih belum memahami secara jelas makna gender tersebut. Dimana gender ini jika kita lihat sebenarnya berkaitan dengan peran, dimana peran bukan soal jenis kelamin yang berhubungan kaitannya dengan suatu kodrat yang tidak dapat diubah, sedangkan gender merupakan suatu peran yang kapanpun dapat diubah tergantung dengan kesepakatan diantara dua belah pihak, dan biasanya terjadi didalam hubungan rumah tangga. Dimana tugas mengurus anak, memasak, mencuci, menyapu, dan mengepel bukan semata-mata tertuju pada perempuan saja, namun laki-laki pun dalam hal ini dapat melakukannya. Namun sering kali kita kadang larut dalam peristiwa historis, yang mana perempuan (istri) dalam kacamata laki-laki (suami) tertuju kepada seseorang yang harus nurut, patuh, taat, kepada laki-laki (suami) apaupun itu. Yang mana praktik tersebut tertuju pada praktik perbudakan yang pada masa lalu diterapkannya hal tersebut. namun dalam hal ini terkait dengan perbudakan, bukan menyoal nurut, patuh, taatnya perempuan (istri) kepada laki-laki (suami) dalam hal ini, melainkan perbudakan disini ialah ketika seorang laki-laki (suami) bersikap sewenang-wenang dan menganggap bahwa laki-laki (suami) dalam hal ini memiliki otoritas dan kebijakan penuh atas perempuan (istri) yang sifatnya mutlak tidak dapat diganggu gugat. Maka dalam hal ini pula yang mengakibatkan akhirnya sesorang perempuan (istri) terkekang dan secara tidak langsung harus menuruti apapun yang diperintahkan oleh seorang laki-laki (suami), tanpa adanya kebebasan untuk memilih dan bernegosiasi terkait kehendak yang dimilikinya, dan pada akhirnya seorang perempuan (istri) dalam hal ini harus mengalami determinis (keterpaksaan).
        

       Fenomena diatas tersebut menunjukan masih marak ataupun sering sekali seorang laki-laki (suami) melihat seorang perempuan (istri) dalam kacamata sebelah maksudnya ha ini merujuk kepada ketidak puasan laki-laki (suami) apabila melihat perempuan (istri) memiliki pendidikan yang tinggi, pekerjaan yang tinggi, ataupun finansial yang tinggi ketimbang dirinya sendiri, karena hal tersebut menurutnya yang akan mungkin dapat merebut peran dari laki-laki (suami) didalam keluarga. Sebenarnya terkait soal peran ini mengacu kepada bisa atau tidaknya, dan mampu atau tidaknya melakukan segala tugas sesuatunya baik dari laki-laki (suami) ataupun perempuan (istri), karena hal tersebut mengacu kepada peran gender itu sendiri, yang sifatnya dapat dirubah tergantung kesepakatan dua belah pihak.
       

      Dengan adanya fenomena peristiwa tersebut yang mengakibatkan tak ayal masih adanya suatu bentuk perilaku yang bermasalah, bukan hanya dinilai tertuju secara umum saja, namun juga ada praktik yang menurut segi agama dalam hal ini agama islam juga bermasalah terkait dangan gender ini, beberapa diantaranya ialah sebagai berikut:

     Kekerasan yang dilakukan laki-laki  terhadap perempuan seperti merendahkan, menghina, dan menjelekkan martabat dari seorang perempuan tersebut. seakan-akan seorang laki-laki tidak mengingat betapa istimewanya seorang perempuan dalam pandangan islam, yang merupkan tonggak kokohnya suatu negara. Hal tersebut pun dapat dibuktikan dengan terdapatnya ungkapan yang menyatakan bahwa “ seorang ibu adalah madrasatul ula, atau madrasah petama bagi anak-anaknya”.

      Disisi lain kita juga sering menemukan studi kasus praktik lain diantaranya, masih adanya anggapan pelabelan bahwa seorang perempuan (istri) tugasnya hanya untuk bekerja mengurus rumah tangga seperti mencuci, menyapu, memasak, mengepel, mengurus anak, dan terlebih lagi hanya sebagai pemuas reproduksi bagi laki-laki (suami) belaka, tanpa sedikitpun diberi keluasan bagi perempuan (istri) untuk bekerja melakukan hal di luar hal tersebut. seperti bekerja di kantor yang dewasa ini sering kita sebut sebagai wanita karir.

     Ada juga praktik yang berkaitan dengan harta warisan, bahwasanya didalam hal ini katakanlah seorang laki-laki mendapatkan 2 bagian, sedangkan disisi lain seorang perempuan mendapatkan 1 bagian dari harta warisan yang diberikannya. Dimana alasan sederhananya karena dalam hal ini mengapa laki-laki mendapat 2 bagian karena sebagian harta yang di dapat dari laki-laki ini disinyalir nantinya akan digunakan untuk menghidupi istri dan anak-anaknya alias sesuai dengan kebutuhannya. Dalam kasus praktik ini terkait dengan alasannya sendiri memang bisa saja tidak ada masalahnya, akan tetapi disisi lain juga bisa saja hal tersebut bermasalah. Namun yang jelas bila di lihat dengan kacamata sudut pandang secara umum terkait dengan gender, hal tersebut tak ayal sering kali masih menjadi suatu permasalahan.

      Disisi lain ada juga kasus yang menyatakan bahwa seorang laki-laki (suami) boleh menikahi dan mempunyai hingga 4 orang perempuan (istri), yang mana alasannya bagi mereka kaum laki-laki tertuju dalam segi sejarah bahwasanya dahulu pun nabi memiliki beberapa istri (banyak istri). Namun disisi lain yang perlu diketahui jika kita lihat dalam peristiwa nabi, pada saat itu nabi memiliki banyak istri karena memang nabi memiliki perasaan yang amat kasihan. Melihat pada saat itu banyak istri yang ditinggal mati oleh suaminya akibat dari peristiwa peperangan yang terjadi di bangsa Arab pada masa itu. Dengan banyaknya istri yang ditinggal mati oleh suaminya tersebut juga degan meninggalkan beberapa orang anak, yang entah bagaimana seorang istri tersebut nantinya dapat mencukupi kebutuhan anak-anaknya atau tidak. Akhirnya dengan hal tersebut nabi pun menikahi beberapa perempuan tersebut yang niatnya tiada lain hanya untuk menolongnya, dan beberapa perempuan yang dinikahi nabi adalah perempuan-perempuan janda, dan dalam hal ini pun nabi mampu bersifat sangat adil. Maka melihat peristiwa ini, jika masih ada ataupun terdapat laki-laki yang menganggap boleh menikahi beberapa perempuan untuk dijadikan istri dengan dalih mendapatkan beberapa perempuan-perempuan yang masih perawan dan sangat cantik, hal ini patut dan perlu dipertanyakan. Bisa saja hal itu hanya sebagai pemuas hawa nafsu belaka saja semata, dan belum tentu juga dapat memberlakukannya dengan sangat adil.

      Dan juga ada lagi praktik yang menjelaskan bahwa seorang istri harus didampingi oleh suaminya apabila keluar rumah, yang mana hal ini merupakan praktik  salah satu mazhab fiqih dalam islam. Dimana dalam hal ini pun seakan-akan seorang istri tidak memiliki suatu kebebasan dalam hal gender, namun disisi lain mungkin ada sebab lain mengapa hal tersebut di praktikan oleh seseorang yang menganut mazhab tersebut.
        

       Dengan demikian, beberapa contoh praktik diatas tersebut merupakan praktik keagamaan (islam) yang bermasalah secara gender.

2).
        Terkait dengan dampak dari masalah praktik-praktik diatas bisa dikatakan dalam hal ini semuanya tidak menguntungkan bagi perempuan, dimana perempuan seakan-akan terkekang, tidak memiliki kebebasan, mengalami determinis (keterpaksaan), termarjinalkan (terpinggirkan) dan juga mengalami suatu kekerasan terkait dengan salah satu contoh praktik diatas. Namun beberapa hal tersebut juga dapat diatasi apabila bisa dan mampu melakukannya, juga apabila dibekali dengan ilmu pengetahuan, sains, teknologi, dan agama. Sementara disisi lain laki-laki selalu memiliki kewenangan, memiliki otoritas dan kebijakan penuh, yang sifatnya mutlak tidak dapat diganggu gugat baginya.

3).
       Terkait dengan kasus praktik-praktik yang secara gender memiliki permasalahan tersebut, disinyalir penyebabnya adalah kerena kurangnya ilmu pengetahuan, sains, teknologi, dan agama yang mengakibatkan kaum perempuan termarginalkan, dan disisi lain juga tidak jarang karena faktor pendidikan yang tinggi, faktor pekerjaan yang tinggi, faktor finansial yang tinggi, faktor bisa dan mampu yang dimiliki oleh kaum perempuan pun juga menjadi faktornya, dikarenakan adanya sifat iri yang dimiliki kaum laki-laki maka sifat kekerasan pun masih bisa dilakukan. Dan masih sering kali larut kedalam peristiwa historis seperti budaya perbudakan yang memiliki konotasi negatif, yang mengakibatkan kacamata sudut pandang laki-laki terhadap perempuan masih memandang sebelah mata akibat dampak tersebut.

4).
       Pada intinya tidak ada suatu agama manapun yang dalam praktik ajarannya terutama dalam hal gender menyuruh agar pemeluknya melakukan sifat ketidak adilan, mengekang lawan jenis, menghalangi kebebasan lawan jenisnya, menerapkan upaya kekerasan, dan sesuatu yang membuat termarginalkan, bersikap tidak humanis, dan beberapa hal lainnya yang konotasinya negatif.

Selamet Afrian, 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun