Mohon tunggu...
selamat martua
selamat martua Mohon Tunggu... Penulis - Marketer dan Penulis

Hobby: Menulis, membaca dan diskusi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Be Young Care Rock (Kerja-kerja [2])

17 Oktober 2020   08:57 Diperbarui: 17 Oktober 2020   09:12 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sejak pertemuan terakhir dengan pak Boss Kecil, Aku merasa gamang. Ada rasa bersalah yang mendalam, karena membiarkan suasana keruh ini terjadi.

Sebenarnya antara Aku, mas Agus dan mas Iwan adalah The Dream Team perusahaan di Departemen Penjualan. Kami bertiga adalah sosok yang solid, saling mengisi dan sudah terbangun chemistry yang sangat kuat.

Aku adalah yang paling senior, disusul mas Iwan sedangkan mas Agus Junior Kami. Aku mengajak mas Iwan bergabung setelah Ia menyelesaikan pendidikan S1 Pemasaran.

Mas Iwan seorang pekerja keras, serus, bicara apa adanya, sangat gigih dan terkadang cenderung memaksakan kehendak. Sedangkan Mas Agus adalah anak muda yang bersemangat, supel, sangat cerdas dan kreatif. Kalau menurutku sih Mereka itu kombinasi yang bisa saling mengisi.

Setahun setelah mas Agus bergabung, Aku dan mas Iwan ikut Assessment untuk promosi menjadi Sales Leader. Entah kenapa, Aku tak begitu tertarik menjadi Sales Leader dan lebih nyaman menjadi pendukung tim saja. Bukan karena tidak punya ambisi, tetapi Aku ingin membantu mas Iwan agar sukses dan bisa jadi contoh baik di keluarga.

Itu sebabnya ketika pak Idrus sebagai manejer bertanya Siapa kira2 yang tepat sebagai Sales Leader menggantikan posisi Beliau, spontan Aku menyebut mas Iwan. Karena Aku senang dengan pencapaian mas Iwan dan sangat respect terhadap cara kerjanya.

Mas Iwan adalah anak sulung dari keluarga sederhana. Mereka terkenal sebagai keluarga pekerja keras. Ia menjadi tumpuan keluarga karena Ayah Beliau sudah sakit-sakitan dan Ibunya hanya seorang buruh cuci. Ia ingin adik-adiknya bisa sukses seperti dirinya. Saya sangat memahami kenapa mas Iwan memiliki karakter keras dan tangguh seperti itu.

Karir mas Iwan tergolong sukses dan Ia termasuk Top Talent dan sudah berada di Fast track. Dua tahun kemudian mas Iwan promosi menjadi Sales Manager menggantikan pak Idrus yang memasuki masa Purnabhakti. Beliau menginginkan Aku yang menggantikan posisinya sebagai Sales Leader. Tetapi Aku justru lebih memilih mas Agus, karena menurutku mas Agus lebih energik, spartan dan supel dalam berinteraksi dengan anggota tim.

Ternyata hasil sidang jabatan juga memutuskan mas Agus yang menjadi Sales Leader. Keputusan ini ternyata mengecewakan mas Iwan dan sikap kurang senang itu Ia tumpahkan kepadaku.

"Apa sih Maumu? Dipromosikan jadi Sales Leader menolak. Emang senang begini terus!" tanya mas Iwan suatu Pagi.

"Sudahlah mas Iwan, ga papa. Biar anak muda yang memimpin, karena Dia punya energy yang besar dan Kita butuh itu" Ungkapku mencoba beralasan.

"Aku merasa gak enak sama Kamu. Mosok sebagai kawan baik Aku ga bisa bantu Kamu jadi Sales Leader" kata mas Iwan berdalih.

Aku memilih bersikap seperti biasa. Tetap berperan sebagai anggota tim dan teman yang baik. Hanya sikap mas Iwan terhadap mas Agus mulai berubah. Kalo rapat mas Agus selalu merasa tertekan dan segala pencapaian tim enggak pernah diakui sebagai keberhasilan mas Agus.

"Saya merasa ada yang berubah dari mas Iwan, sejak Saya diangkat menjadi Sales Leader" kata Mas Agus setelah Kami selesai Evaluasi penjualan.

"Berubah?" kataku berusaha untuk lebih tahu.

"Iya, mas Iwan berubah" katanya mengulang.

"Berubah gimana?" tanyaku kemudian.

"Ga' begitu ramah. Ga'ada ruang untuk bercanda, serius banget. Setiap hari kerjanya ngepush terus. Lama-lama bisa sutris Saya" ungkap mas Agus.

Memang Kalau rapat, Aku juga merasakan ada perubahan sikap mas Iwan, namun Aku tepis perasaan itu jauh-jauh. Mungkin Aku saja yang Baper, ato itu Ia lakukan karena tuntutan tugas. Terkadang dalam diskusi Aku melihat Mas Agus lebih dewasa dalam melihat permasalahan dan memberikan solusi yang simple tetapi mengena. Mungkin karena Mas Agus berpendidikan lebih tinggi dari mas Iwan. Mas Agus adalah tamatan Magister Manejemen dari sebuah Perguruan Tinggi ternama di Jakarta.

"Ga begitu ramah seperti apa?" tanyaku ke mas Agus.

"Ya kalau orang lain sedang menjelaskan sesuatu, Kita harus beremphaty, menyimak dengan sungguh-sungguh" kata mas Agus menjelaskan.

"Emang Apa yang mas Agus rasakan ketika itu?" tanyaku lebih lanjut.

"Garing! Saat Saya menjelaskan eeeh Dianya maenin HP, namun ketika Dia yang ngomong semuanya harus memperhatikan. Enggak fair banget," jawab mas Agus.

Terkadang Aku juga suka terlena dengan masa lalu, sehingga perubahan status orang lain tidak membuatku lebih sensitif dalam berinteraksi dan bisa membuat orang tersebut merasa tidak nyaman. Hal ini terjadi ketika Kami bertiga sedang Ngopi Sore (lebih tepatnya malam) setelah selesai rapat dengan pak GM. Sebenarnya Aku bukanlah tim yang diundang untuk menghadiri rapat penting perusahaan. Namun entah kenapa pak GM selalu memintaku untuk mendampingi Beliau disetiap rapat.

"Wuah, hebat sekali pemikiran pak GM tadi yaaa. Bisa-bisanya pak GM melihat peluang setajam itu!" Aku sengaja membuka percakapan sambil menunggu pesanan Kopi datang.

"Iya, betul Mas. Saya juga belum kepikir sampe sejauh itu," sambut mas Agus.

"Menurut mas Iwan gimana?"tanyaku ke Mas Iwan yang masih asyik dengan HPnya.

"Jangan panggil Mas donk! Aku khan atasan kalian, panggil Pak Iwan kek?" katanya (jujur Aku kaget).

"Maaf pak Iwan" kataku pendek.

"Gitu dooooong, Khan lebih enak," katanya bangga.

Ternyata hubungan antara Mas Agus dan Pak Iwan semakin hari kurang harmonis. Perseteruan semakin meruncing dan Aku tidak tahu apakah pak GM menangkap situasi ini.

Suatu ketika pak Iwan mendatangiku dan mengeluhkan prilaku mas Agus yang mengusik kenyamanannya Sebagai Manejer Penjualan.

"Saya khan ga punya banyak waktu untuk mendengar celotehan Anak Muda yang langitan gitu" kata Mas Iwan.

"Celotehan gimana maksudnya Pak Iwan?" tanyaku penasaran.

"Sudahlah, Aku ngerti dia Sekolah Master dan sementara Aku cuma Sarjana. Emang Aku ga pernah belajar tentang strategi? Aku khan lebih berpengalaman dari Dia. Pake ngajarin segala, Aku ga urusan sama strategi. Yang penting sales tercapai" pak Iwan menjelaskan kepadaku.

"Mungkin mas Agus ingin berdiskusi dan bertukar pikiran untuk mendapatkan masukan dari Bapak" ucapku berusaha netral.

"Kamu lagi, bukannya ngebelain Teman. Dasar kompor" kata Pak Iwan mengagetkanku (Aku sempat terdiam).

"Terus, apa yang Pak Iwan harapkan dari mas Agus?" Lanjut Aku bertanya.

"Kerja yang baik, pimpin tuh anggota biar lebih perform," katanya tegas.

"Mungkin ada yang lebih dari itu?" Tanyaku lagi

"Udah, itu aja bagiku lebih dari cukup," jawab Pak Iwan.

"Kalo harapan itu tercapai, truss seperti apa Pak Iwan melihat diri mas Agus," kataku spontan.

"Yaaa, Dia sudah bisa menjadi Leader yang baik," kata mas Iwan.

"Hmmm Leader yang baik."

"Udah pernah diomongin dengan mas Agus?" Aku mencoba tahu lebih jauh.

"Alaaaaaah gitu aja kok harus Saya, Ya Anda sajalah yang ngomongin," katanya ketus.

"Hmmmmmm, apa ini biang keroknya?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun