Mohon tunggu...
sela agapramistya
sela agapramistya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

saya suka membaca dan membuat konten

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Grebeg Maulud atau Sekaten

4 Juni 2024   12:43 Diperbarui: 4 Juni 2024   13:12 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Islam kejawen adalah perpaduan budaya jawa dan agama islam yang terus-menerus yang berasal dari masa kerajaan demak dan disebarkan oleh para walisongo agar masyarakat menganut agama tersebut. Yogyakarta adalah salah satu daerah di mana sebagian besar penduduknya masih menganut agama Islam kejawen. Ini adalah tempat di mana masyarakatnya terus mempertahankan dan melestarikan budayanya untuk dinikmati oleh generasi berikutnya. Karena grebeg maulud merupakan upacara adat khas Yogyakarta yang mengandung unsur kejawen, masyarakat dan pemerintah provinsi Yogyakarta terus melestarikan dan mempertahankannya sebagai bagian dari kebudayaan mereka. Dari perspektif nilai pancasila, grebeg maulud sangat cocok karena mengajarkan kebaikan yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari melalui ajaran agama dan budaya mereka. Menjaga dan melestarikan budaya setempat sangat penting agar generasi berikutnya dapat mempelajarinya dan berpartisipasi dalamnya.

Istilah grebeg mungkin sudah tidak asing lagi ditelinga di Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya, mereke sering juga menyebutnya dengan Sekaten. Masyarakat sekitar akan menerima berbagai hiburan "gratis" setiap kali kegiatan digelar, ada banyak makanan dan arak-arakan. dalam acara Grebeg Maulud ada dua acara yang berpotensi menarik banyak wisatawan, yaitu Sekaten dan Grebeg Maulud. Sekaten memiliki pasar malam di alun-alun Kota Surakarta untuk menghibur masyarakat. Selain itu, gamelan yang dibawa ke Masjid Ageng dan dimainkan selama sepuluh hari berturut-turut. Banyak pengunjung sampai berdesak-desakan hanya untuk melihat para Abdi Dalem memainkan musik jawa. Dikeluarkannya gunungan makanan dari kompleks kraton dan dibawa ke Masjid Ageng Kraton adalah tanda Grebeg Maulud. Masyarakat Surakarta akan berebutan mengambil makanan dari gunungan tersebut.

Tradisi grebeg maulud di Yogyakarta
Keraton Yogyakarta memiliki tiga kali pelaksanaan tradisi Grebeg dalam setahun. Upacara-upacaranya meliputi Grebeg Syawal, Grebeg Maulud, dan Grebeg Besar. Grebeg Syawal dilakukan untuk memperingati selesainya bulan puasa atau bulan Ramadhan, dan kedatangan bulan Syawal. Grebeg Maulud dilaksanakan sebagai bentuk peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Grebeg Besar dilaksanakan sebagai bentuk peringatan bulan Dzulhijah. Upacara Grebeg dianggap sebagai tanda kemurahan hati dan perlindungan raja terhadap kawulanya. Simbol itu diwujudkan dengan perarakan gunungan yang dikawal kesatuankesatuan prajurit keraton yang disebut bregada. Prajurit Wirabraja, Daeng, Nyutra, Mantrijero, Patang Puluh, Bugis, Ketanggung, Jagakarya, Prawiratama, dan Surakarsa adalah sepuluh pasukan dari Keraton Yogyakarta yang mengikuti perarakan ke gunungan. Sebelumnya ada bregada atau pasukan lain, seperti Sumaatmaja, Jager, dan Langenastra.


Rangkaian acara sekaten atau grebeg maulud

Acara pertama adalah Miyos Gangsa, di mana gamelan kyai Guntur Madu dan kyai Nogowilogo dikeluarkan dari keraton ke masjid Gedhe Kauman. Dua gamelan ini adalah gamelan keraton. Gamelan dibawa dari bangsal kotak ke bangsal pancaniti sebelum dibawa ke latar masjid Gedhe Kauman. Acara sekaten dimulai dengan gamelan berbunyi.

Acara berikutnya dalam acara sekaten adalah Numplak Wajik. tepat di tempat tidur pareden magangan. Proses pembuatan gunungan dimulai dengan numplak Wajik. Terdapat tujuh gunungan, yaitu Gunungan Lantang, Gunungan Wadon, Gunungan Pawuhan, Gunungan Darat, Gunungan Bromo, dan Gunungan Gepak, yang pada akhirnya akan dibagikan pada acara grebeg maulud nanti. Segala sesuatu yang terjadi selama acara Numplak Wajik ini disiapkan oleh para abdi dalem.
Gamelan Kyai Gunturmadu dan Kyai Nogowilogo dibawa kembali dari masjid Gedhe Kauman untuk prosesi Kundur Gangsa. Namun, ini akan dimulai dengan Miyos sultan, atau hadirnya sultan untuk menyebarluaskan udik idik. Setelah itu, Sultan akan duduk di serambi masjid untuk mendengarkan kisah Nabi Muhammad. Berbeda dengan grebeg maulud yang biasanya dilakukan pada tahun Dal, yang dilakukan setiap delapan tahun sekali, Sultan akan menjejakkan kaki ke tembok bata di pintu selatan Masjid Gedhe sebelum kembali ke keraton. Prosesi ini disebut sebagai Njejak Beteng.

Pesowanan garebeg sebagai acara selanjutnya, diadakan di kagungan dalem bangsal kencana. Selama prosesi, nasi yang telah dimasak di bethak pusaka Nyai Mrica diberikan kepada Sri Sultan unnak dalam bentuk balatan bulatan kecil. Nasi ini kemudian dimasukkan ke dalam pusaka kanjen kyai Blasong (berwad piring besar).

Masyarakat Yogyakarta dan orang lain juga sangat menantikan peristiwa grebeg maulud dan kundur gunung Bromo. Sebanyak tujuh gunungan akan diarak dari bangsal stinggil, alun-alun utara, dan ke pakualaman. Gunungan Bromo telah diarak melalui Alun-Alun Utara bersama Gunungan Wadon, Gunungan Gepak, Gunungan Darat, Gunungan Pawuhan, dan Gunungan Lanang. Mereka percaya bahwa mereka akan mendapatkan berkah, kemakmuran, dan ketenangan jika mereka mendapatkan gunungan yang diberikan oleh sultan dalam penyerbuan gunungan.

Upacara bedhol songsong adalah penutupan acara grebeg maulud atau sekaten. Diadakan di bangsal pagelaran. Salah satu acara utama yang menandai selesainya acara grebeg maulud adalah pagelaran wayang kulit selama semalam suntuk. Prosesi ini dilakukan setelah Songsong atau Payung Agung untuk memperingati Grebegan yang dibedol atau dicopot dar Kagungan Dalem Pagelaran, yang dibawa ke Kraton Yogyakarta pada waktu sore hari. Untuk memberikan siraman rohani positif kepada masyarakat umum melalui pagelaran wayang kulit, Sri Sultan akan mengutus Abdi dalem dalang wayang kulit. Untuk hidup sesuai dengan titah Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat umum akan mendapat bimbingan rohani. Ini akan membantu mereka memilih cara hidup yang baik dan benar.

Ketika orang melihat Kirab Grebeg Maulud saat ini, mereka lebih cenderung berfokus pada hiburan dan seni yang sensasional. Pertunjukan ini didasarkan pada kepuasan penontonnya. Ini termasuk arak-arakan gunungan yang diikuti oleh prajurit dari berbagai kelompok (bregada), dan ritual rayahan atau rebutan sesaji gunungan oleh penonton.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun