Membenarkan kebiasaan atau membiasakan kebenaran ???
Kalimat itu memang secara bahasa dan tulisan memang beda tipis, ya katakanlah 11-12 lah..lantas apa yang menjadi pembeda tipis itulah sebenarnya mungkin jauh lebih banyak bahkan ada sesuatu yang tersembunyi dan itu sesuatu yang besar maknanya.
Banyak hal memang dalam kehidupan kita, yang notabene sebagai makhluk sosial. Dan kalau ngomongin makhluk sosial tentunya kita tidak mau-kan dapat lebel orang yang tidak mau gaul atau ngga mau digauli...hee.
Coba kita intip yuk, mulai dari kata kebiasaan kita.
Coba list mana saja yang masuk daftar kebiasaan baik kita, dan saya yakin semua makhluk sosial dengan berbagai background masa lalunya pasti punya kebiasaan yang baik. Lalu apa hubungannya dengan kata kebenaran. Ya jelas ada hubungannya lah..bukan lagi 11-12 beda tipisnya, tapi menurut saya kebiasaan dan kebenaran itu bedanya mungkin kalau di ukur, jaraknya selisih 2 gunung kali yah, boleh berpersepsi lain tentunya.
Ini barangkali bisa menjadi sedikit terbuka pikiran kita.
Memang yang namanya kebiasaan yang baik itu sampai kapan pun akan tetap baik. Tapi bisa menjadi tidak baik kebiasaan itu ketika tidak pas pada waktu atau pun tempatnya, iya nda ???
Bisa saja, misal nih...ada seorang lelaki yang begitu ringan tangan atau suka menolong ketika melihat temannya dalam kesusahan atau butuh bantuan. Dan suatu ketika orang tadi menolong orang yang kondisinya sedang pada posisi berjuang/kompetisi, kira-kira kebiasaan orang yang baik suka menolong itu menjadi benar atau tidak ? tentunya nda sepakat kan.
Itu yang menyangkut masih pribadi kita sebagai makhluk sosial, belum lagi kita sebagai warga negara Indonesia dengan mayoritas masyarakatnya beragama Islam. Lantas apa hubungannya membenarkan kebiasaan atau membiasakan kebenaran???
Selamat tahun baru Islam atau Hijriyah 1437 H, coba bandingkan dengan tahun baru masehi yang lalu atau yang akan datang. Pasti jelas berbeda jauh kan? Mungkin bedanya sangat jauh seperti antara orang miskin dan orang kaya. Kenapa berbeda jauh, ya karena perbedaan itu juga diciptakan oleh kedua belah pihak baik si miskin atau pun si kaya.
Coba kita lihat dari sisi dunia glamour-nya, kalau tahun baru nasional/masehi pasti identik dengan pesta yang begitu meriah, iya ngga ?? ya iya lah nda usah ditutup-tutupi, walaupun party nya versi kita masing-masing, bisa karena kapasitas kita belum se mewah mereka. Lantas bagaimana coba tahun baru Islam/Hijriyah ??? masih juga banyak yang glamour tapi tidak seperti tahun baru masehi.
Dan menurut saya yang penting sekarang adalah, mari kita mencoba ikut selektif pada diri kita sendiri, mana kebiasan-kebiasaan yang baik, dan mana yang memang sudah dari sananya sudah benar tanpa harus dibenar-benarkan, tinggal kita bagaimana mampu membumikan yang sudah benar-benar saja agar bisa menjadi pembiasaan dalam kehidupan kita dan jangan karena kebiasaan baik kita terus dianggap baik selamanya, karena saya yakin tidak selamanya baik pada waktu yang kurang tepat.
Jadi, ilmunya bersabarlah karena berbuat baik itu memang sulit, dan karena disetiap titik kesulitan itulah ada peluang kita untuk berbuat baik.
Dan Barangkali ini yang harus terus kita lakukan sepanjang kehidupan kita, banyak bersyukur atas karunia yang berlimpah, banyak-banyak intropeksi diri/muhasabah (seberapa banyak kebaikan yang kita torehkan dan seberapa banyak kita melanggar aturanNya,banyak-banyak lah membersihkan diri/muatabah dengan hati nurani kita, yang ke empat mari kita bermurokobah/meyakinkan diri kita untuk terus optimis untuk super visi bahwa kita punya masa depan yang lebih baik.
Selamat tahun baru Islam 1437 Hijriyah, semoga kita menjadi segolongan umat yang mampu Hijrah kekehidupan yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H