[caption id="attachment_334294" align="aligncenter" width="614" caption="layanan pendidikan_kelompok kecil_di desa hutan_koleksi pribadi"][/caption]
Ramainya program pemerintah soal pendidikan gratis itu ternyata ditelan mentah-mentah oleh sebagian masyarakat kita khususnya mereka yang masih memiliki kecenderungan pola pikirnya ortodok alias ngga mau tau yang ada pokoknya sekolah itu gratis, memang benar animo kesadaran masyarakat kita terkait pentingnya pendidikan itu jelas ada peningkatan, tapi berbeda bagi kalangan masyarakat level menengah ke bawah, katakanlah mereka yang basis keluarganya dari buruh tani dan kerja serabutan yang belum jelas besok mau makan apa dari mana ??? dan belum lagi berpikir anak-anaknya besok bisa berangkat sekolah apa harus absen karena belum tau mau dapat 1.000-5000 rupiah dari mana untuk bekal anaknya belajar gratis katanya, tapi bagi mereka (masyarakat desa) yang jelas secara geografis jauh dari fasilitas persekolahan karena kondisi yang terpencil dan akses yang cukup sulit.
BOS (bantuan operasional sekolah) tidak menjamin masyarakat kita terbebas dari belenggu kebodohan, karena bicara pendidikan pasti bicara sosial-ekonomi. Dan menurut saya sekarang bagaimana strategi dunia pendidikan kita juga harus memiliki program yang benar-benar mampu merovolusi mental masyarakat kita yang ortodok itu, agar bisa membangun pola pikir bahwa pendidikan itu bukan saklek tanpa embel-embel yang lain bahwa gratis dalam artian bukan gratis tis tis..tapi bicara pendidikan itu (mahal) menurut saya, dan karena mahal yang harus kita bangun adalah mental bagaimana masyarakat kita tetap animo menyekolahkan anaknya tinggi, dan dilain sisi juga kesadaran untuk memperjuangkan nasib generasi kedepan juga terjamin, tanpa harus putus sekolah di tengah jalan (banyak drop out di daerah desa hutan dan pesisir) di Jawa Tengah.
Study kasus di Kabupaten Banyumas Jawa Tengah (data belum final) 21 Oktober 2014, sampling data yang disampaikan 1 kecamatan di Banyumas hasil pendataan yang dilakukan oleh muspika atas kebijakan dinas pendidikan kabupaten, hasilnya usia sekolah SD tidak sekolah mencapai angka 350 anak, usia sekolah SMP 400 anak, dan usia SMA 900 anak, artinya keberanian untuk menguak persoalan pendidikan ternyata juga harus dibekali dengan keberanian bagi para pemangku kebijakan diranahnya masing-masing.
Menjadi ironi dan saya yakin indek pembangunan manusia yang selalu digemborkan oleh pemerintah kita baik level kabupaten atau pun wilayah pasti selalu menyampaikan meningkat, ya itu benar dalam sudut pandang yang berbeda tentunya, tapi kalau mau dikaji benar, itu akan menjadi terbelangak dan barangkali dunia pendidikan kita akan shok ketika masing-masing SKPD mampu berani fulgar atas data sebenar-benarnya, dan yang ada pasti semua itu berresiko yang tidak kecil buat dunia pendidikan kita, tapi itu bisa menjadi langkah strategis untuk revolusi mental dunia pendidikan kita.
Ketemulah angka 1.650.000 anak tidak sekolah pada 3 level tersebut, ini pasti akan menjadikan geger dunia pendidikan kita, coba bandingkan kalau itu terjadi di daerah kecamatan yang desanya lebih terpencil dan terisolir (desa hutan dan pesisir) pasti data yang ditemukan pasti akan lebih dari sampling yang saya sampaikan dan kalau itu mau kita ambil rata-rata setiap kecamatan, berapa data anak-anak kita yang tidak bisa sekolah 1 kabupaten, belum lagi kalau mau dikalkulasi sampai tingkat wilayah bahkan nasional, ternyata jumlah yang fantastic bukan, dan ternyata masih banyak anak-anak generasi nanti yang kurang beruntung karena dengan berbagai persoalan yang itu bukan mutlak persoalan pendidikan saja, melainkan itu rantai kehidupan yang benar harus direvolusi mental, mau memulai dari mana ?
Kembali lagi kedunia pendidikan kita yang terus digembor-gemborkan bahwa sekolah itu gratis, itu SALAH BESAR menurut saya, dan seharusnya prinsip yang harus terus kita upayakan ketika bicara filosofi mau apalah nasi sudah menjadi bubur ??? harusnya kita harus berpikir setelah menjadi bubur, bagaimana kita berpikir menganalisa dan mencari jalan keluar atas bubur yang bisa dimanfaatkan lebih dan memiliki value, dan lagi-lagi tidak diterima mentah-mentah kemudian malah blounder persoalan tersebut.
Apa yang akan dilakukan, bicara extreem, lebih baik tidak ada sekolah saja he he he...di luar sana yang ada ada berbagai layanan pendidikan yang kontennya menyesuaikan dengan kearifan lokal yang ada, misal layanan pendidikan bagi masyarakat desa ya barangkali pasnya sekolah khusus apa yang dipelajari terkait dengan apa yang menjadi persoalan desa dengan segala potensinya. Di luar sana lagi ada layanan bagi masyarakat perkotaan juga memberikan layanan pendidikan yang kontennya juga menyesuaikan dengan karakter masyarakat perkotaan. Dan tentunya nilai-nilai ideologi bernegara, berwawasan kebangsaan dan pendidikan budi pakerti, kepemimpinan, berwirausaha itu menjadi menu wajib menurut saya, dan mulai diperankan dalam bentuk tanggungjawab di berbagai layanan-layanan pendidikan yang ada.
Endingnya persoalan pendidikan itu memang bukan persoalan yang sepele, bukan soal selesai ketika dengar GRATIS, salah menurut saya karena sebagian besar masyarakat kita itu tadi pendidikan itu harus kita tanamkan bahwa tidak ada yang gratis apalagi bicara belajar, kita harus tanamkan kemandirian bagi masyarakat kita, bahwa anak harus belajar dan belajar itu harus berani berkorban karena tidak ada yang gratis di dunia ini, kalau bicara GRATIS itu sebenarnya tidak ada, di lain hal sebenarnya kita juga dituntut kelak nanti untuk mempertangungjawabkan atas kehidupan kita pada Tuhan kita.
Jadi semua anak usia sekolah harus belajar dimanapun itu, tidak harus di dunia persekolahan yang membosankan (clasikal) tapi bagaimana menciptakan suasana belajar yang membuat anak-anak kita tetap memiliki hiroh untuk terus belajar dan belajar sampai bisa mewujudkan walaupun hasilnya belum maksimal.
Artinya tugas dan tanggungjawab kita bersama bahwa bukan lagi hanya mengurai benang yang kusut saja, tapi membuat sebuah rajutan baru atas dunia pendidikan kita agar sehat dan benar-benar sehat bukan dalam artian sehat secara fisik jelas ada sekolahan tetapi mati suri isi dunia pendidikan kita, mari kita merevolusi mental dunia pendidikan kita untuk bisa sehat dan mampu membangun dirinya untuk membentengi diri dan lingkungannya dengan terus bersama melakukan sampai pada mampu berani menelorkan sebuah gagasan yang mampu teraktualisasi pada lingkungan terdekat kita untuk sampai pada dunia pendidikan kita harus banyak pilihan layanan yang mampu membelajarkan yang didalamnya terjadi proses being humanis karena kemajemukan masyarakat kita.
Untuk itu tidak sekolah tidak apa-apa karena itu tidak wajib menurut keyakinan saya, tapi yang menjadi wajib adalah belajar (menuntut ilmu) dimanapun yang penting anak usia sekolah harus belajar dimanapun itu, ngga bisa belajar di formal ya di non formal dan kalau tidak bisa lagi ya berikan kesempatan anak untuk mengenyam layanan pendidikan informal dari lingkungan terkecil dari keluarga kita.
Salam pembelajar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H