Desa Tunjungtirto, Kecamatan Singosari menjadi tuan rumah studi lapang tata kelola pemerintahan desa, Kamis (29/10/2015). Kegiatan ini diinisiasi oleh Balai Besar Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (BBPMD) dan diikuti oleh puluhan perwakilan yang berasal dari Kabupaten Toraja Utara, Wakatobi dan Banggai Laut. Studi lapang kali ini mengambil tema “Tata Cara Penyusunan Peraturan Desa”.
Harapannya, para peserta yang sebagian besarnya adalah para perangkat desa dapat menjadi lebih paham dan memiliki pengalaman dalam penyusunan Perdes. Menurut Antonius, salah satu peserta pelatihan yang juga menjabat sebagai Kepala Desa di Kabupaten Toraja Utara, menyatakan bahwa dengan mengikuti pelatihan dan studi lapang di Tunjungtirto ia merasa menjadi lebih mengerti dalam penyusunan Perdes dan kewenangan desa.
[baca juga: Studi Lapang Pembuatan Perdes dan Sekilas Peraturan Desa]
Satu bulan sebelumnya, Desa Tunjungtirto juga menjadi lokasi studi lapang pelatihan “Manajemen Keuangan Desa”. Selain dianggap memiliki tata kelola pemerintahan yang baik dan dipimpin oleh seorang perempuan, Desa Tunjungtirto selama 7 bulan terakhir ini juga sedang mengembangkan praktik Pemetaan Apresiatif Desa (PAD).
[baca juga: Keuangan Desa ]
Pendekatan PAD yang dikembangkan lewat kerjasama dengan Infest Yogyakarta ini, bertujuan untuk menghasilkan suatu metode perencanaan pembangunan desa berbasis pada perbaikan data dan aset. Sekaligus juga mendorong perencanaan pembangunan yang memiliki prioritas pada kepentingan kelas sosial marginal.
Dalam praktiknya, PAD didahului dengan melakukan perbaikan data lewat sensus kesejahteraan sosial dengan menggunakan indikator lokal. Dengan sensus ini, validasi jumlah kelompok sosial marginal menjadi lebih terpetakan dengan baik. Selanjutnya, dengan data tersebut, prioritas pembangunan yang akan tertuang di rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJMDesa) akan lebih menitikberatkan kepentingan kelas sosial marginal.
Membangun Praktik Partisipasi
PAD juga memiliki tujuan untuk meningkatkan praktik partisipasi, khususnya kepada kelompok-kelompok yang selama ini tidak mendapatkan ruang dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, seperti kelas sosial miskin, perempuan, dan kelompok marjinal lainnya.
Namun dalam praktik PAD di Desa Tunjungtirto, terdapat beberapa tantangan yang patut digarisbawahi. Salah satunya adalah seperti yang diungkapkan oleh Yulianti, Tim Pembaharu Desa (TPD) Tunjungtirto. Ia mengungkapkan bahwa data sensus kesejahteraan yang telah disusun belum dapat dikatakan memiliki hasil yang sempurna apabila belum terverifikasi dengan keterlibatan kelas sosial marginal.
Tim Infest Yogyakarta juga menemukan kondisi yang sama. Data sensus yang dihasilkan juga harus mampu mendorong kelas sosial marginal menjadi subjek dalam perencanaan di desa. Dengan demikian, makna partipasi tidak hanya menjadi sekedar jargon, melainkan menjadi nyata menumbuhkan praktik berdesa menjadi lebih baik dan secara perlahan bisa menggeser praktik dominasi dan hirarki yang selama ini kerap menjadi hambatan dalam mewujudkan kesetaraan.
Terkait temuan ini, rencananya sebelum penyelenggaraan Musdes untuk melihat kembali RPJMDesa, TPD Tunjungtirto akan melakukan beberapa persiapan, diantaranya memfinalisasi data kesejahteraan sosial, menggelar beberapa pertemuan di tingkat dusun dan memperluas ruang dialog antar warga. Persiapan ini ditujukan agar arah pembangunan Desa Tunjungtirto benar-benar memiliki “ruh” yang berbeda karena hadirnya nilai partisipasi di dalam perencanaannya. Sehingga secara sederhana “partisipasi” yang seringkali ditafsirkan secara sempit dengan makna “kehadiran semata” benar-benar berubah menjadi bermakna yang “menggerakkan”.
Sumber: http://sekolahdesa.or.id/mencari-kembali-makna-partisipasi/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H