Ia mengkritik tulisan menonjolkan PNPM Mandiri Perdesaai) di antara belasan program pemberdayaan. Relevansi tulisan memang demi pemerintah dan masyarakat desa. Ia menyalahkan sebutan “pendamping internasional”, tetapi kenyataannya dokumen utang seluruhnya menulis “pendamping” sebagai consultant. Penerjemahan berorientasi swasta dan pasar ini berlawanan dari misi partisipasi dari-oleh-untuk masyarakat, sebagai awal konsep pendamping (fasilitator) menurut Mubyarto dan Sajogyo (1993) kala membedakan dari “penyuluh”.
Ia menyangsikan ketiadaan efektivitas utang Bank Dunia pada PNPM-MP. Efektivitas PNPM secara nasional terkuak sejak BPS menyampaikan data seluruh desa 2011. Keseluruhan PNPM hanya bermanfaat bagi 14 persen warga miskin.
Biaya pengurangan kemiskinan memang kian mahal sejak pelaksanaan PNPM pada 2007 (Kompas, 12/4/2014). Dari situs Kementerian Keuangan dan BPS diketahui, pengurangan 1 persen orang miskin semula Rp 26 triliun (2000), meningkat pesat Rp 45 triliun (2007), terus meningkat kini Rp 257 triliun (2013).
Artinya, data nasional makin menguatkan hilangnya efektivitas program pemberdayaan. Untuk itu, saya mengusulkan pemerintah pusat dan daerah tidak berutang lagi kepada donor. Justru pemerintah desa punya kekuatan dari alokasi dana yang sudah melimpah, akan membayar pendamping atau memilih melakukan pembangunan mandiri.
IVANOVICH AGUSTA Sosiolog Pedesaan Institut Pertanian Bogor
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H