Mohon tunggu...
Sekolah Desa
Sekolah Desa Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Teguh Haryanto Ubah Kotoran Ternak Menjadi Sumber Energi

22 Mei 2015   21:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:42 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="alignnone" width="330" caption="kandang kambing terintegrasi dengan instalasi biogas. (sumber: www.sekolahdesa.or.id)"][/caption]

Teguh Haryanto tidak sampai menempuh pendidikan tinggi. Kesehariannya adalah seorang petani salak dan peternak kambing. Kondisi tersebut tidak membatasinya untuk berinovasi. Pengalaman kesehariannya di kandang dan ladang mengajarkan banyak ilmu. Kini, ia mampu menginspirasi desanya untuk menjadi desa mandiri energi.

Di halaman samping rumahnya di Desa Kesenet, Kecamatan Banjarmangu, Kabupaten Banjarnegara, Teguh membangun instalasi pengolahan biogas (digester) sederhana dan murah. Teknologi tepat guna ciptaan Teguh ini, memanfaatkan plastik, pipa peralon, ember, tong, dan kapur tulis untuk mengolah kotoran kambing miliknya menjadi biogas. Menurutnya, biaya untuk membangun instalasi sederhana ini tidak lebih dari setengah biaya untuk membuat instalasi biogas pada umumnya.

Teguh sendiri mengenal teknologi pengolahan Biogas pada 2012. Ia pernah diikutkan oleh Pemerintah Kabupaten Banjarnegara dalam sebuah pelatihan pengolahan Biogas di Malang, Jawa Timur. Sepulang dari Malang, ia langsung mempraktikkan ilmu yang ia dapat. Hanya saja, ia tidak mematuhi teori selama proses di Malang.

“Kalau ukuran teori, dibutuhkan 40 ekor kambing dan setiap hari diisi.,” terang Teguh.

Kambing milik Teguh tidak sampai 40 ekor. Di kandang samping rumahnya hanya ada empat ekor saja. Namun demikian, Teguh tak patah arang. Ia tetap mencoba. Teguh mampu membuktikan bahwa dengan empat kambing miliknya dapat diolah menjadi biogas.

Menciptakan teknologi sederhana dan murah

Teguh membuat lubang berukuran lebar setengah meter dan panjang sekitar 3-4 meter. Lubang ini digunakan untuk meletakkan plastik sebagai penampung kotoran kambing. Ia memasukkan kotoran kambing ke dalam plastik, dicampur dengan air dan dekomposer. Setelah 10 hari, gas akan mulai keluar. Lubang kecil dibuat di atas plastik dan dipasang pipa peralon untuk mengalirkan gas keluar.

“Selain murah, plastik itu tidak berpori, sehingga proses penguraiannya bisa maksimal,” terang Teguh.

Pipa disalurkan ke dalam tiga tong plastik yang diisi air. Bagian atasnya ditaruh ember dalam kondisi terbalik. Alat ini digunakan sebagai indikator untuk mengetahui gas yang keluar.

“Untuk mengeluarkan gas, ujung yang lain sudah dibuat lubang yang terpasang pipa setinggi 2 meter dan pipa tersebut masuk ke dalam tong yang ditempatkan terbalik di dalam kolam. Jika tong naik, berarti gas masuk,” katanya.

Pada uji coba pertamanya, ia langsung menyalurkan gas ke kompor. Hanya saja, wujud api berwarna kemerahan dan mengeluarkan aroma tidak sedap. Kondisi tersebut diakibatkan karena kandungan uap air masih terlalu tinggi. Ia pun menambahkan 4 botol kecil yang diisi kapur tulis. Fungsinya, sebagai menyerap uang air dan menetralisir gas yang keluar. Setelah dari penetralisir, gas baru disalurkan ke dapur.

Keuntungan menggunakan Biogas

Menurut Teguh, ada dua keuntungan yang diperoleh dari pengolahan kotoran kambing ini, yakni hemat energi dan pupuk. Dengan menggunakan biogas, kebutuhan dapur untuk membeli gas LPG bisa dikurangi. Dari pengolahan biogas miliknya, Teguh bisa menghemat satu tabung LPG ukuran 3 kilogram selama tiga bulan.

“Kalau aktivitas biasa, satu tabung (ukuran 3 kg) habis dalam satu bulan. Kalau dengan biogas ini, pemakaian tabung LPG bisa sampai tiga bulan,” ujar Teguh.

Selain itu, Teguh juga memanfaatkan pupuk dari sisa pengolahan biogas untuk kebun salak miliknya. Teguh membuat perbandingan, untuk 1200 pohon salak bisa diselesaikan dalam waktu empat bulan saja tanpa harus mengeluarkan biaya. Pemupukan ia lakukan setiap empat hari sekali.

“Untuk pupuk organik kita harus bisa menghitung waktu dan kebutuhan pupuk. Keuntungannya, kita tidak perlu membeli pupuk kimia sintetis,” terangnya.

Sementara, apabila menggunakan pupuk kimia sintetis, waktu pemupukan dilakukan dua kali dalam setahun. Untuk pemakaian pupuk kimia sistetis, dibutuhkan 2 ons untuk setiap pohonnya. Dengan harga 5 ribu rupiah per kilonya, tidak cukup biaya 5 juta rupiah untuk membeli pupuk kimia sintetis.

Imam Purwadi, Kepala Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Banjarnegara mengatakan bahwa daerah atas di Banjarnegara merupakan sentra peternakan. Pemerintah Kabupaten Banjarnegara berencana akan bekerjasama dengan Teguh untuk menularkan temuannya ke desa-desa yang lain.

“Sentra peternakan akan kita kembangkan untuk desa mandiri energi dan mandiri pupuk. Rencana akan kita kembangkan di babadan, jatilawang dan empat desa lainnya. Pak Teguh yang akan membagi ilmunya kepada para peternak dan petani salak,” terang Imam. []

Artikel ini sebelumnya pernah dimuat di www.sekolahdesa.or.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun