Namaku Jimmy, dan kalau ada satu kata yang bisa menggambarkan hidupku, itu adalah "ambisi." Dari kecil, papaku selalu mendorongku untuk bermimpi menjadi seseorang yang besar---punya nama, jabatan, dan pengaruh. Itulah yang selalu mendorongku, memberi bahan bakar untuk tetap berjalan meski kadang lelah menghantui.
Dan di sinilah aku sekarang, duduk di depan jendela besar sebuah kantor di Beijing. Gedung-gedung pencakar langit berbaris rapi di luar sana, kota ini selalu sibuk. Orang-orang berlalu-lalang seperti semut yang tak pernah lelah. Mereka semua sibuk mengejar sesuatu, seperti aku dulu. Tapi, semakin lama aku berada di sini, semakin aku merasa kehilangan arah. Seolah ada lubang di dadaku yang semakin hari semakin besar, dan aku tahu persis apa penyebabnya.
Ya, dia adalah alasan kenapa aku dulu bisa bertahan melewati hari-hari paling sulit. Kami bertemu saat kuliah, di sebuah kampus ternama di Yogyakarta. Dia selalu tahu bagaimana membuatku tertawa, bagaimana caranya bicara tanpa kata-kata. Matanya adalah pelabuhan yang selalu membuatku merasa aman, suaranya seperti lagu yang meredakan gelisah. Meski masih berpacaran, dia sudah berperilaku seolah seorang istri yang tulus melayani suaminya. Bersamanya, aku merasakan hidupku terasa begitu ringan.
Tapi ambisi dalam diriku selalu mengusik ketenangan. Ketika tawaran proyek besar datang dari Beijing, aku melihatnya sebagai sebuah batu loncatan yang sayang untuk disia-siakan. Sebuah pintu menuju kesuksesan yang selalu kuimpikan. Jadi, aku terpaksa meninggalkannya. "Tenanglah nduk, ini hanya sementara," kataku saat itu. "Nduk" adalah panggilan mesraku untuknya, mempertegas darah keturunan asli Jawa yang mengalir di tubuhnya. Sementara dia menyapaku mesra dengan panggilan "Koh", sebagai seseorang yang terlahir sebagai suku minoritas di negeri ini, Tionghoa.
Singkat cerita, kami lalu bersepakat untuk menjalani hubungan jarak jauh, setelah berhari-hari bisa meyakinkan diri bahwa kami mampu mengatasinya. Kenyataannya? Jarak adalah musuh yang kejam. Sinyal yang putus-putus, pesan yang terlewat, panggilan video yang terasa canggung tanpa ada pelukan di akhir obrolan. Semua itu menumpuk menjadi dinding yang menebal di antara kami. Tiap kali pulang ke apartemen setelah bekerja, keheningan seolah menelanku bulat-bulat. Tak ada Kedasih di sana, tak ada tawa atau sentuhan hangatnya. Dan di tengah-tengah semua kesibukan dan prestasi yang kuraih, rasa kosong itu terus menghantui.
Sekuat tenaga aku bertahan, terus berjalan. Mengalihkan fokus pada proyek-proyek yang harus diselesaikan, ada target yang harus kucapai. Itu yang selalu kukatakan pada diriku sendiri setiap kali muncul keraguan. Lagipula, karirku berkembang pesat di sini. Dalam waktu setahun, aku sudah mendapat dua kali promosi jabatan, dengan gaji yang meningkat berkali-kali lipat. Teman-teman Cina sekerja sering menjulukiku sebagai 'bocah hoki', sebutan untuk pria dengan keberuntungan. Tawaran pekerjaan dari perusahaan-perusahaan lain pun terus berdatangan, seolah seluruh dunia ini berada di bawah kakiku.
Tapi... semakin tinggi mendaki, semakin aku merasa kesepian dan sendirian.
Jujur, di negeri komunis ini ada banyak wanita cantik yang bisa kubeli. Bahkan kumiliki sepenuhnya jika aku mau. Tapi tidak! Mereka terlalu murah. Ini bukan soal materi, tapi mereka tak  seperti Kedasih yang satu rupiah pun tak pernah mau kukirim uang. Bahkan ketika ibunya sakit sementara dia masih terjebak cicilan hutang. "Kamu mau membeliku, Koh?" tanyanya dengan nada marah. Kalimat itu jelas tak mampu kuhapus dari memori.
Ada satu malam, ketika aku sedang menyelesaikan laporan proyek yang paling krusial. Lekat sekali di ingatan bagaimana hujan deras mengguyur jendela kantorku, sementara aku masih sibuk berkutat dengan angka-angka dan diagram yang entah kenapa, hari itu terasa begitu kosong. Mataku terpaku pada kaca jendela, tetapi pikiranku melayang jauh ke Yogyakarta. Membayangkan Kedasih duduk di teras kost-nya seperti dulu, menunggu aku datang dengan setia.
Hatiku mulai dirundung keraguan atas semua yang telah kulakukan. Apa gunanya kesuksesan kalau aku tak bisa membaginya dengan orang yang kucintai? Apa artinya semua pencapaian ini kalau setiap malam aku pulang ke ruang apartemen mewah yang sepi, bukannya ke pelukan Kedasih?
Pada malam itulah, aku menyadari satu hal yang tak pernah benar-benar kuakui sebelumnya. Aku terjebak dalam ambisiku sendiri. Aku terus mengejar sesuatu yang tak pernah benar-benar bisa mengisi kekosongan di dalam diriku. Aku pikir, dengan jabatan dan uang, aku akan bahagia. Tapi semakin jauh aku melangkah, semakin aku kehilangan diriku.
Dan semakin aku kehilangan Kedasih.
Beberapa hari setelah itu, proyek besar yang kami garap akhirnya rampung. Semua orang di kantor merayakan keberhasilan dengan pesta besar di salah satu hotel paling mewah di Beijing. Berbagai makanan mewah tersaji, juga berbotol-botol anggur bermerk yang dengan kualitas terbaik. Aku harusnya bahagia, kan? Tapi ternyata aku hanya merasakan hampa. Bahkan saat CEO perusahaan datang dan menawarkan jabatan yang lebih tinggi dengan paket gaji yang lebih fantastis, aku cuma tersenyum datar.
Sesuatu dalam diriku pecah malam itu. Aku melihat diriku sendiri, berdiri di puncak kesuksesan yang dulu kuimpikan, tapi dengan hati yang kosong.
Ketika pesta selesai, aku memilih pulang kembali ke apartemen, alih-alih tidur dengan perempuan-perempuan cantik yang bebas dipakai. Sempoyongan aku duduk di tepi ranjang dan memegang ponsel. Namanya, "Kedasih," tertera di layar. Aku tak ingat kapan terakhir kali kami benar-benar berbicara panjang lebar. Rasanya sudah berabad-abad.
Aku menekan panggilan video.
Setelah beberapa nada tunggu, akhirnya muncul juga wajah di layar kaca. Ia sedang duduk di ruang tamu rumahnya yang sederhana, dengan daster bermotif batik dan wajah yang selalu membuatku tenang. Matanya berkaca-kaca melihatku, tapi ada senyum di wajahnya.
"Jimmy... kamu kelihatan capek," katanya pelan.
Aku mengangguk tapi berkata, "Bukan, aku mabuk."
"Kamu...?" suaranya terputus, ada jeda yang panjang setelahnya. Kami sama-sama tahu, ada banyak hal yang tak selalu bisa terucap. Matanya tampak kembali berkaca-kaca.
"Kedasih...," aku berucap segera. Menarik napas panjang, lalu mengatakannya, "Aku... mau pulang."
Raut muka Kedasih berubah seketika, jelas terlihat dia terkejut. Matanya membesar, mencari penjelasan dalam wajahku. "Maksudmu?"
"Aku mau pulang. Ke kamu. Aku nggak bisa terus-terusan begini. Apa gunanya semua ini kalau aku harus jauh dari orang yang paling aku cintai?"
Dia terdiam, tapi seulas senyum muncul kembali di wajahnya, kali ini lebih lebar dan lebih hangat. Air mata yang tadinya tertahan di sudut matanya akhirnya jatuh juga. "Aku... aku sudah lama nunggu kamu bilang itu, Koh"
Aku tertawa kecil, lega. "Aku bodoh ya? Lama banget baru nyadar."
"Kamu bukan bodoh," jawabnya lembut, "Kamu cuma terlalu sibuk mengejar sesuatu yang kamu kira penting."
Benar. Itu dia. Aku terlalu sibuk mengejar dunia yang kupikir bisa membahagiakan, sementara kebahagiaanku yang sejati selalu ada di sana, di Yogyakarta, bersama Kedasih.
Seminggu setelah percakapan itu, aku benar-benar pulang. Aku menolak tawaran promosi besar itu, dan rekan-rekan kerjaku menganggap aku gila. Papaku juga marah-marah via telepon begitu tahu itu. Tapi Mama terdengar buru-buru menenangkannya. Aku tak peduli! Untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir, aku merasa ringan. Seperti beban yang selama ini kupikul akhirnya menguap begitu saja.
Saat pesawat mendarat di Jogja, dadaku dipenuhi rasa yang tak bisa kugambarkan. Ada gugup, ada bahagia, dan yang paling kuat: kerinduan yang sudah tak tertahankan.
Dan ketika akhirnya aku melihat Kedasih di bandara, berdiri di sana dengan senyum yang paling kurindukan, aku tahu, tak ada kesuksesan di dunia ini yang lebih berarti daripada memeluknya lagi.
Dia berlari menghampiriku. Dan saat kami berpelukan, aku tahu satu hal dengan pasti: rumahku bukanlah Beijing, bukan karir yang menjulang, melainkan dia---Kedasih. Dan kali ini, aku tak akan pernah pergi lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H