Mohon tunggu...
tri bawonoaji
tri bawonoaji Mohon Tunggu... Wiraswasta - wiraswasta

Saya adalah manusia biasa saja seperti yang lainnya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Fragmen Kenangan

9 Oktober 2024   02:03 Diperbarui: 9 Oktober 2024   02:36 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ilustrasi dibuat dengan Canva

Aku duduk di sudut kafe yang sepi, menatap ke luar jendela yang dipenuhi titik-titik hujan. Suara gemuruh dari jalanan di luar tampak jauh, seperti suara-suara yang pernah kurasakan begitu dekat, tapi kini terasa asing. Di depanku, secangkir kopi hitam yang sudah dingin. Dan di depannya, adalah Mirna.

Kami tidak berbicara, hanya terdiam di antara kekosongan yang mulai terasa begitu familiar. Namun, di keheningan itu, kenangan-kenangan menyeruak ke permukaan, memenuhi ruang di antara kami yang tidak lagi bisa disatukan oleh kata-kata. Masa kini terasa kabur, sementara masa lalu berteriak minta diingat.

"Apa kamu percaya bahwa kita bisa bertahan selamanya?" Mirna bertanya sambil menghempaskan punggungnya di sandaran kursi, dercit suaranya memecah sunyi. Langit senja menciptakan semburat oranye yang menari di atas laut, dan angin membawa aroma asin yang menenangkan. Aku mengangguk, tersenyum kecil. Kala itu, aku tidak pernah meragukan apapun tentang kami. Semuanya terasa begitu benar.

"Aku tidak tahu apa yang akan terjadi besok," jawabku, "tapi selama kita ada di sini sekarang, kurasa itu sudah cukup."

Dia tertawa kecil, suara yang saat itu membuatku merasa menjadi orang paling beruntung di dunia. Kami berdua tahu bahwa dunia kami penuh dengan ketidakpastian. Tapi kami selalu merasa bahwa kami bisa menghadapinya bersama---bahwa apa pun badai yang datang, kami bisa bertahan.

Di meja kafe ini, aku masih bisa mendengar tawa Mirna yang dulu. Tapi sekarang? Sekarang hanya ada keheningan dan sisa-sisa yang tak lagi bisa kami rangkai kembali.

"Apa yang kita lakukan di sini, Ben?" Mirna akhirnya membuka suara, suaranya terdengar pecah dan rapuh. Pertanyaannya sederhana, tapi sarat dengan kelelahan.

Aku tidak langsung menjawab. Sebagian dari diriku ingin marah, ingin mengangkat topik-topik lama yang menjadi penyebab luka-luka. Tapi yang muncul adalah pertanyaan yang sama, bergema di dalam diriku. Apa yang kita lakukan di sini?

Mirna menatapku. Matanya masih sama seperti dulu---indah, penuh keteguhan. Namun, sekarang ada jarak yang tidak bisa lagi kami jangkau.

"Mungkin...," suaraku lirih, "mungkin kita hanya bertahan pada kenangan. Fragmen-fragmen dari masa lalu yang... sekarang tak lagi ada."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun